Share

3. || Sisi Kedua ||

Pagi ini, Anya bersiap ke sekolah dengan sedikit tergesa karena bangun kesiangan. Tadi malam dirinya bergadang hingga jam setengah tiga, bodoh memang. Pikirannya kacau semenjak Kella dan Kelly mendatangi kamarnya dengan langkah tergesa. Anya memikirkan semua dugaan hingga tidak sadar jika sudah melewatkan jam tidurnya.

"Aish! Dasinya ngumpet dimana lagi, sih?" gerutu Anya berkacak pinggang sembari mencari dasi abu-abunya yang semula ia simpan di laci.

Gadis itu mencak-mencak sendiri, menyalahkan dirinya yang teledor, sesekali menggerutu pelan.

"Anya sarapan!" teriak Oma Stefi dari bawah membuat Anya sedikit tergesa.

"Iya, Oma," sahutnya sebelum turun ke bawah tanpa dasinya.

 Anya melangkah cepat, sesekali memperbaiki ikatan rambut sepunggung yang kurang kencang. Ia tidak menggunakan polesan apapun di wajahnya, benar-benar polos natural.

Setibanya di meja makan, Anya menemukan seluruh anggota keluarganya sudah menyantap sarapan paginya masing-masing dengan tenang. Tatapan sinis Kelly menyambutnya saat dirinya mendudukkan dirinya di kursi dekat Kella. Anya menghiraukan tatapan itu, ia meraih sepotong roti dengan selai nanas dan menuangkan susu di gelasnya.

"Anak cewek kok bangunnya siang. Mau jadi apa kamu nanti?" sindir Opa Bram terang-terangan. Anya tidak menyahutinya, ia hanya diam menghabiskan sarapannya yang tinggal sedikit lagi.

"Makanya itu, Yah. Begadang pasti, tuh anak," celetuk Kelly disela-sela menyantap sereal dengan campuran buah apel hijau segar. 

Ucapan Kelly memang benar, jadi Anya tidak berniat menyangkalnya.

"Begadang karena teleponan sama pacarnya, iya, gak, Anya?" ujar Kella memanas-manasi suasana yang semula tenang.

Anya langsung melotot tidak terima. Tuduhan macam apa itu? Dekat dengan lelaki saja tidak pernah, bagaimana bisa mempunyai kekasih? 

"Sekolah yang bener, jangan main-main apalagi pacaran. Kamu ini hanya menumpang di sini, jangan bertingkah seenaknya," ucapan Opa Bram membuat Anya kehilangan selera makannya. Mengapa harus diungkit secara jelas jika dirinya hanya menumpang di rumah ini? Hati Anya sedikit sakit mendengarnya.

"Dengerin, tuh," sahut Kella tersenyum miring, lebih tepatnya mengejek.

"Ya ampun, pagi-pagi begini meributkan apa lagi, heh?" tanya Stefi yang baru saja muncul dari dapur dengan sepiring nasi goreng untuk Opa Bram.

"Cucu kesayangan bunda bangun kesiangan, tuh," adu Kelly melirik Anya yang menunduk memainkan jemarinya.

"Udah-udah, Anya berangkat sama kalian, ya," pinta Stefi kepada dua putri kembarnya.

"What? Enak aja numpang sama kami," sela Kelly tidak suka.

"Lagian kenapa, sih? Kalian juga ngelewatin sekolah Anya, kok. Supir gak bisa datang hari ini, gak ada salahnya Anya numpang sampai sekolahnya," ujar Stefi.

Setelah menghabiskan waktu sepuluh menit untuk mendebatkan tumpangan Anya ke sekolah. Akhirnya, Kella dan Kelly mau memberi tumpangan untuk Anya meski disertai gerutuan yang terdengar jelas di telinga Anya. 

Anya lebih baik jika menaiki angkutan umum saja jika tidak dipaksa ikut oleh Oma Stefi. Satu mobil dengan dua kakak kembarnya adalah kesalahan terbesar yang Anya pilih. Menengok ke arah mereka sedikit saja langsung dipelototi dan dicibir secara terang-terangan.

"Apa liat-liat?!" 

Suara Kelly yang terdengar jengkel membuat Anya merasa canggung di dalam mobil.

"Kepalanya gak usah kebanyakan gerak, mobilnya hampir oleng gara-gara kamu!" ketus Kella yang mengendarai mobil dengan menggerutu.

Berlebihan sekali, menggerakan kepala sedikit saja langsung disemprot habis-habisan. Mana mungkin mobil bisa oleng jika Anya menggerakan kepalanya pelan, kecuali Anya berjoget-joget di dalam mobil sambil menggoyangkan kepalanya kencang.

"Turun cepet! Gak sudi banget nganterin kamu sampai depan gerbang. Awas ngadu sama bunda!" ancam Kelly sambil mendorong-dorong Anya untuk keluar dari mobil.

"Makasih tumpangannya, Kak," ucap Anya tulus diiringi dengan senyumannya.

Mobil biru yang baru ditumpangi berlalu begitu saja dari hadapannya. Anya menghela napas berat sambil melangkahkan kaki menuju sekolahnya. Mereka menurunkannya tak jauh dari gerbang sekolah, mungkin sepuluh langkah lagi menuju gerbang depan.

"Oy, Anya!" teriakan itu berasal dari dua siswi yang mengendarai mobil berwarna kuning stabilo, terlihat mencolok dan sakit dilihat mata.

Mereka berdua adalah sahabat Anya, nama panggilnya Rani dan Shasa. 

Anya tidak menyahut, ia hanya ingin cepat-cepat sampai di kelas tanpa gangguan dari siapapun.

Rani dan Shasa langsung mengejar Anya setelah memparkirkan mobilnya. "Tungguin, oy!"

"Masih pagi, loh. Teriak-teriak mulu, mau tali pitanya putus?" ujar Anya menghentikan langkahnya.

Tidak usah heran dengan sikap Anya di sekolah. Anya yang di rumah berbeda dengan Anya di sekolah. Dari yang lemah menjadi judes. Inilah sisi kedua Anya yang hanya berubah jika sedang tidak berada di rumah. Jangan mengira jika dimana pun Anya tetaplah Anya yang lemah. Anggapan itu salah besar.

"Lo jalannya kayak setan, kenceng banget," celetuk Rani yang sudah berada di samping Anya. Tinggi mereka sepadan, tetapi tidak untuk Shasa, anak itu memiliki badan mungil. Tak jarang menjadi bahan olok-olokan Rani yang sangat jahil.

"Apa, sih? Gak jelas," cibir Anya sinis.

"Ohoo, ini anak judes banget, ya," ujar Rani sambil menabok bahu Anya kencang.

"Ih, sakit!" Anya yang tak terima langsung berbalik mencubit lengan Shasa kencang.

"Kok gue yang dicubit, sih?" ujar Shasa tidak terima karena dicubit kencang oleh Anya.

Anya hanya meringis kecil karena salah sasaran. Matanya melotot kepada Rani yang sedang gencar-gencarnya menjulurkan lidahnya ke arah Anya. "Awas setan satu," gerutu Anya bersiap menerjang ke arah Rani.

"Duh, seneng banget ditubruk sama Beb Anya," ujar siswa lelaki yang tidak sengaja Anya tubruk saat hendak menerjang Rani. Namanya David, playboy cap sapi.

"Mati aja lo!" Anya menendang kaki David kencang membuat empunya mengaduh lebay.

"Sakit tau," lebay David mengedipkan satu matanya ke arah Anya yang sudah muak.

Anya tak menghiraukan panggilan playboy sekolah yang meminta pertanggungjawaban darinya. Salah sendiri masih gencar menggoda Anya meskipun sudah ditolak mentah-mentah. Wajahnya memang tampan, tetapi kelakuannya membuat Anya semakin muak melihat wajahnya.

"Apa liat-liat?! Matanya belum pernah dicolok pakai lidi?" judes Anya saat beberapa siswa lelaki menatapnya secara terang-terangan di koridor. Jika seperti ini, Anya tidak ada bedanya dengan Kella dan Kelly saat di mobil tadi.

Gadis itu paling tidak suka dengan yang namanya laki-laki, mau tampan, cool, atau apapun itu, Anya tidak akan pernah tertarik. Gadis itu paling alergi jika ditatap sedemikian rupa oleh kaum Adam. Tak heran jika siswa laki-laki di SMA Cakrawangsa sangat segan terhadapnya. Senggol sedikit, mendapat pelototan gratis dari Anya. 

Shasa yang sudah berjalan duluan di depan, berbalik lagi dan menyeret Anya yang sedang marah-marah tidak jelas di sana. "Udah, ayo!" tenaga kecil Shasa menyeret Anya yang lebih besar darinya.

Anya menurut saja saat ditarik paksa menuju kelas oleh Si Mungil Shasa. Mereka bertiga salah satu murid di kelas XI IPA 3. Anya termasuk siswi rajin meskipun sedikit sulit menyerap ilmu yang diberikan oleh gurunya.

"Kenapa lagi, Sha?" tanya Rani yang sudah duduk manis di kursi sambil memainkan ponselnya.

"Biasa, Si Demit Anya ngamuk-ngamuk lagi sama anak cowok," adu Shasa yang langsung dibalas senyuman geli dari Rani.

"Kenapa lagi, sih, Nya?" tanya Rani membuat Anya memutar bola matanya malas.

"Udahlah, biarin aja. Sahabat lo emang gitu," celetuk Shasa.

"Sahabat lo juga kali," sahut Rani tak terima.

Anya meletakan tas panda warna abu-abunya dengan sedikit hentakan. Baru saja masuk sekolah setelah berlibur, mereka sudah membuat Anya kesal setengah mati.

"Eh, Si Panda ngamuk."

"Kantin, yok!" ajak Shasa menoel-noel lengan Anya pelan.

"Males," sahut Anya datar.

Rani gregetan sendiri mendengar suara Anya yang terlampau dingin. 

Karena Anya tidak mau diajak, mereka tidak jadi pergi ke kantin. Satu tidak ikut, yang lain tidak boleh pergi. Begitu prinsip mereka.

"Tadi pagi berangkat jalan kaki, Nya?" 

Anya hanya menggeleng membalas pertanyaan dari Rani.

"Nebeng sama anak cowok Si Anya," sahut Shasa yang langsung dibalas pelototan oleh Anya.

"Ngawur," judes Anya. Ia paling sensitif jika sahabatnya membahas tentang spesies lelaki.

"Naik apa lo? Oh, ya, pasti sama supir," tanya Rani untuk yang kedua kalinya.

"Dianter."

"Ya, sama siapa?" greget Shasa.

"Kak Kella, Kak Kelly," sahut Anya yang langsung ditertawai oleh kedua sahabatnya.

Anya diam saja mendengarkan kedua sahabatnya tertawa berlebihan hingga mengundang tatapan bingung dari teman sekelas mereka. Sungguh, Anya sangat malu berada di dekat mereka jika sudah tertawa seperti ini. Menggebrak meja, menghentakkan kaki, sungguh gila.

"Udah puas ketawanya?" tanya Anya saat mereka berdua menghentikan ketawanya meskipun sedikit sulit. "Cih, dasar aneh," lanjutnya mencibir.

"Lo bercanda kali, ah. Yakali kakak kembar lo itu mau nganterin lo ke sekolah. Bangun, Nya, bangun, jangan mimpi," Rani melanjutkan tertawanya, sesekali menabok lengan Anya.

Rani dan Shasa memang mengenal kedua kakak kembar Anya, mereka juga tahu jika Kella dan Kelly sangat galak, sebab mereka pernah kena semprot oleh kakak kembar Anya. Kedua sahabat Anya tidak pernah absen mendengarkan curhatan Anya tentang kedua kakaknya yang sangat perhatian meskipun galak. Hanya itu yang mereka tahu, karena Anya tidak pernah menceritakan kebenarannya kepada mereka. Tentang dirinya yang selalu dicibir dan disiksa dengan kejam oleh anggota keluarganya sendiri, terutama Kella dan Kelly. Anya tidak mau kehidupan nyatanya diketahui oleh orang lain, meski sahabatnya sendiri.

"Terserah kalau gak percaya," ketus Anya menatap luar jendela yang baru saja gerimis.

"Gimana ceritanya lo bisa dianterin mereka?" kini giliran Shasa yang bertanya dengan raut serius.

"Oma Stefi maksa mereka buat anterin gue, karena supir gak bisa nganterin," jelas Anya membuat mereka mengangguk mengerti.

"Mereka masih galak?" 

"Masih, lah," sahut Anya tertawa hambar. 

"Kok, lo tahan, sih?" jiwa kepo Rani mulai meronta-ronta. Dia sudah lama memendam pertanyaan ini, namun belum pernah tersampaikan.

"Ya, mau gimana lagi. Tahan gak tahan, sih. Tapi aslinya mereka perhatian banget, kok," ujar Anya tersenyum masam.

"Sebahagia lo aja, deh."

•●•

Seluruh murid SMA Cakrawangsa berhamburan keluar dari kelas kala mendengar bel istirahat berbunyi nyaring. Sebagian ada yang menepi di koridor, atau mengadem di perpustakaan. Tetapi, sebagian besar dari mereka memilih berdesak-desakan di kantin untuk mengisi perut mereka yang minta diisi.

Rutinitas itu juga terjadi pada Anya, membeli makan di kantin bersama kedua sahabatnya.

Anya, Rani, dan Shasa mendudukkan dirinya di kursi paling pojok, alasannya karena tidak ingin berbaur dengan bau keringat murid yang sedang berdesak-desakan.

"Ini pesanan kalian, jangan lupa uang anternya," canda Rani.

"Makasih, sayang Rani banyak-banyak, deh," ujar Shasa mengedipkan satu matanya genit.

"Thanks, Ni," ucap Anya setelah menerima semangkuk baksonya.

"Anya, kalau manggil gue jangan Ni, dong. Berasa jadi nini-nini gue. Panggil Ran, Rani, atau cantik, gitu," ujar Rani setelah menyantap sesendok bakso yang paling besar.

"Suka-suka gue, lah. Lo siapa ngatur-ngatur?" sahut Anya yang menuangkan sambal di baksonya.

"Mampus, kena hujat Anya, lo. Haha," ledek Shasa dengan pipi mengembung karena terisi siomay kesukaannya. 

Rani terlebih dahulu menghabiskan makannya dalam waktu lima menit. Tidak seperti dua sahabatnya yang bisa menghabiskan waktu lima belas menit hanya untuk makan.

"Nya, kena skors lagi kemaren?" tanya Rani seusai mengelap bibirnya dengan tisu.

"Hm," gumam Anya sambil menyeruput jus jeruknya.

"Anya kena skors? Kok, bisa?" serobot Shasa dengan pipi yang masih mengembung.

"Biasa, bela adik kesayangannya," sahut Rani.

"Siapa? Emang Anya punya adik?" bingung Anya menggaruk pipinya yang tak gatal.

"Itu, loh, Si Tika," jelas Rani.

"Oh, adik kelas yang manis itu?" 

"Hm," guman Anya yang menyimak obrolan mereka berdua.

Anya memang punya adik kelas kesayangan di SMA Cakrawangsa, namanya Tika Andini. Dia tidak mempunyai hubungan darah dengan Anya, tetapi Anya sangat menyayanginya. Bahkan, Anya rela diskors selama tiga hari demi membela Tika.

"Si Maya sama Sherly buat ulah apalagi sama Tika?" 

"Mereka buang tas Tika di air kotor, terus dorong Tika sampai pingsan," jelas Anya menahan amarah.

"Wah! Keterlaluan, tuh orang," celetuk Shasa.

"Makanya pas itu gue emosi banget."

"Lo apain mereka?" tanya Rani was-was. Dia tahu seperti apa Anya ketika emosi, apalagi jika ada orang yang mengusik orang-orang kesayangnnya.

"Gak gue apa-apain. Cuman gue jotos satu-satu sampai wajahnya bonyok terus nangis-nangis." 

Rani hanya bisa menggelengkan kepalanya dan Shasa menutup mulutnya syok. "Lo sadis juga, ya."

Nah, sudah tahu betapa marahnya Anya, kan? Tetapi gadis itu tidak pernah menunjukkan kemarahannya di depan keluarganya. Jika saja iya, sudah baku hantam antara Anya dengan Kella dan Kelly.

"Gue gak peduli jika gue sendiri yang diusik, tapi jangan berani-beraninya usik orang-orang kesayangan gue," ujar Anya tersenyum sinis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status