Share

2. || Kesendirian ||

Sepuluh tahun telah berlalu dengan kesan yang biasa-biasa saja. Dari dahulu sampai sekarang tetap saja sama, tidak ada yang spesial di hidup Anya. Masih dengan kemalangannya yang dibenci oleh keluarganya sendiri. 

Kella dan Kelly tidak pernah berhenti menyiksanya, Anya selalu memikirkan apa kesalahannya sehingga mereka amat membencinya. Dari umur tujuh tahun hingga empat belas tahun, kedua kakak kembarnya itu selalu berulah, tetapi Anya tidak pernah mengadukannya kepada Oma Stefi, apalagi ayahnya. Bohong jika Anya tidak pernah kesal dengan perlakuan mereka yang menyerupai setan, tetapi ia tidak pernah bisa membenci Kella dan Kelly.

Anya bersiap-siap untuk ikut Opa Bram dan Oma Stefi menjemput kedua kakak kembarnya di bandara. 

"Anya sudah siap?" tanya Oma Stefi mendatangi kamar Anya dengan senyuman di wajah anggunnya.

"Sudah, Oma."

"Yuk, turun ke bawah, nanti opa kamu marah-marah lagi," kekehnya pelan.

Anya tersenyum mendengarnya, opa juga kerap kejam terhadapnya. Tetapi Anya tetap menyayangi mereka, keluarga yang dia punya sekarang. Ayahnya sudah tidak peduli lagi terhadapnya, dia selalu pergi ke luar kota semenjak penceraiannya dengan Diana.

"Jangan sengaja dilambat-lambatkan, aku tidak mau kedua putriku harus menunggu hanya karena kamu," ucapan Opa Bram selalu saja membuat Anya merasa sakit hati. "Lebih baik kamu tidak usah ikut saja," lanjutnya membuat Anya gelisah.

"Iya, Opa. Maaf kalau Anya lama, tapi Anya bener-bener pengin ikut jemput Kak Kella sama Kak Kelly," jelas Anya berharap agar Opa Bram membiarkannya ikut serta.

"Biarkan Anya ikut, Bram," pinta Oma Stefi membuat Anya tersenyum lebar mendengarnya. 

Bram mendecih pelan sambil menatap Anya penuh kebencian. Kakinya melangkah hendak menghidupkan kemudi mobilnya.

Anya sudah tidak sabar untuk bertemu kedua kakak kembarnya. Tidak peduli jika dia dicaci, karena ikut menjemput, yang penting ia bisa bertemu dengan Kella dan Kelly setelah tiga tahun berpisah.

"Kak Kella, Kak Kelly! Anya kangen," teriak Anya riang saat melihat kedua kakaknya turun dari pesawat yang baru saja landing.

Kella mendesis, dan Kelly mengumpati Anya. 

"Kamu kenapa ikut ke sini, hah?" sinis Kella menatap tajam Anya sembari berpangku tangan di depan dada.

"Makanya itu, dasar anak aneh," Kelly menimpalinya.

"Anya kangen sama kakak kembar Anya," gadis itu tersenyum lebar, hendak memeluk keduanya, tetapi sebelum itu, Kella dan Kelly menghindarinya.

"Gak usah peluk-peluk sembarangan, jijik tau!" maki Kelly membawa kopernya mendekati Kella dan bundanya yang sedang asyik berpelukan.

Anya masih tetap tersenyum meski dicaci maki oleh kedua kakaknya. Dia sudah terbiasa, malah ini adalah perlakuan terbaik mereka kepadanya. Biasanya lebih parah daripada ini, memukulnya dengan gagang sapu, mencambuknya, bahkan mengurungnya di gudang bekas.

"Yey! Anya percaya kalau Kak Kella sama Kak Kelly udah berubah. Mereka udah lebih baik dari biasanya," tersenyum lebar sembari meloncat riang.

Anya berlari dan langsung menubruk Kella dan Kelly, sebenarnya ingin memeluknya, namun karena terkejut, kedua kakaknya terjatuh.

"Ish! Kamu ini apa-apaan, sih? Jangan dorong-dorong, dong!" marah Kelly menjambak surai indah cokelat Anya.

Sang empunya meringis pelan, sungguh, ini belum seberapa. 

Kella ikut menamparnya keras hingga pipi kiri Anya memerah. "Ini balasan buat anak yang suka cari gara-gara sama kami!"

Oma Stefi yang baru saja datang membeli air mineral cukup terkejut dengan tindakan kedua putrinya kepada cucu semata wayangnya. "Bram! Seharusnya kamu hentikan Kella dan Kelly melakukan itu," ucap Stefi kepada suaminya yang hanya menonton Anya disiksa seperti itu. 

"Biarkan saja, biar anak itu jera. Sudah dilarang untuk tidak ikut, masih saja ngeyel," sahut Bram tak peduli.

"Anak sama bapak sama saja. Sama-sama kejam," ujar Stefi sebelum melepaskan Anya dari amukan kedua putrinya.

"Kella, Kelly, stop! Kalian gak malu dilihatin orang-orang?" ucapan Stefi membuat Kella dan Kelly tersadar dengan tempat. Di sana banyak orang yang menontonnya, maklum ini masih di kawasan bandara yang ramai.

"Anak baik, itu ibu peri kamu udah datang. Habis ini ngadu, ya," Kella membisikan kalimat tepat di telinga Anya dengan menekankan kata 'Anak baik'.

"Yuk, Kelly," Kella merangkul bahu kembarannya menuju mobil, meninggalkan Anya yang sudah berantakan.

"Anya gak apa-apa?" tanya Stefi khawatir.

Bohong jika Anya mengatakan dirinya baik-baik saja. Dia hanya menggeleng pelan, "Ini masih permulaan," batin Anya meringis.

Anya merasa dirinya tidak dianggap sama sekali di sana, memang begitulah kenyataannya, keluarganya tidak pernah menganggapnya ada. Lihat saja, mereka berjalan mendahului Anya dengan jarak yang cukup jauh, Oma Stefi juga ada di depan sana membuat Anya semakin merasa tidak dianggap. Tetapi Anya mencoba untuk mengerti, mungkin Oma Stefi sedang melepas rindu dengan kedua kakak kembarnya. 

Mereka tertawa riang tanpa memperhatikan keberadaan Anya yang tertinggal cukup jauh. Anya ingin seperti itu, tertawa lepas tanpa adanya beban yang menghimpit dadanya. 

Kella menengok ke arah Anya dengan senyum mengejek, membuat gadis itu segera menunduk sambil meremas jemarinya pelan.

"Anya, kok ketinggalan jauh? Sini," ajak Stefi meneriaki Anya dari depan sana.

"Biarin aja, Bun. Biar dia ditinggal di sini sendirian, terus jadi gembel, deh. Haha," ejek Kelly dengan tawanya yang diikuti oleh Kella dan Bram.

Sayup-sayup dari kejauhan, Anya mendengar semua itu. Hatinya terasa nyeri, tetapi tidak apa. Anya tetap menampakkan senyumnya kepada mereka yang sedang menertawainya.

•●•

Di meja makan, mereka mengelu-elukan prestasi Kella dan Kelly yang luar biasa. Anya turut senang mendengarnya, kedua kakaknya memang memiliki otak yang mumpuni, tidak seperti dirinya yang selalu mendapat nilai seadanya. Tak jarang Opa Bram menghinanya, membeda-bedakannya dengan kedua kakak kembarnya yang berbeda darinya. Anya hanya bisa tersenyum mendengar hinaan itu seperti sekarang.

"Tuh, contoh kedua putri saya. Mereka selalu bisa membanggakan keluarga, tidak seperti kamu yang bisanya hanya membuat kekacauan," ujar Bram disela-sela menikmati makannya.

Anya menunduk mendengarkan ucapan Opa Bram yang sepenuhnya benar. Ia memang selalu membuat kekacauan di sekolah, berkali-kali masuk ke ruang BK. Oma Stefi pasti selalu menanggung malu saat mewakilinya di panggil ke ruang kepala sekolah. Kenakalan Anya juga ada batasannya, ia berbuat ulah karena terpaksa, bukan karena kemauannya yang egois.

"Setiap orang punya kelebihan sendiri, Bram. Mungkin Anya gak terlalu pandai dalam menyerap materi pembelajaran, tapi dia sangat mahir dalam menari balet," sahut Stefi membela Anya. 

Meskipun Anya tergolong bandel di sekolahnya, tetapi dia kerap mewakili sekolahnya dalam ajang menari balet.

"Bun, Kelly mau bikin butik sendiri. Boleh, gak?" Kelly merupakan lulusan mahasiswi yang mengambil beasiswa universitas luar negeri dengan gelar desainer yang tak main-main. Berulang kali dia memenangkan ajang pencarian bakat mendesain gaun.

"Kella juga mau dibikinin galeri melukis sendiri, Yah," sahut Kella cepat. Jika Kelly menonjol di bidang desain fashion, maka Kella terkenal dengan lukisannya yang selalu menarik perhatian pengunjung selama di luar negeri. Tak jarang dia memenangkan kompetisi melukis dengan lawan yang tak bisa dianggap remeh.

"Selamat ya, Kak Kella sama Kak Kelly. Anya bangga punya kakak yang berbakat semua," ucap Anya mengundang tatapan sinis dari si kembar itu.

"Anya nanti malem siap-siap, ya," ujar Stefi mengundang pertanyaan di benak Anya.

"Siap-siap kemana, Oma?" tanya Anya penasaran.

"Itu, dua kakakmu diundang dalam acara peresmian perusahaan tersohor di bidang desain. Kamu ikut juga, ya." 

"Wah, keren banget," takjub Anya bertepuk tangan antusias yang lagi-lagi dibalas tatapan sinis dari Kella dan Kelly.

Anya menelan ludah pelan saat melihat ekspresi kedua kakaknya yang tidak suka dengan keantusiasannya, padahal Anya benar-benar tulus mengagumi keduanya.

Lagi-lagi mereka meninggalkan Anya sendirian di meja makan, gadis itu tersenyum menyemangati dirinya sendiri. "Gak apa-apa, Anya."

Daripada berdiam diri di meja makan, Anya memutuskan untuk pergi ke kamarnya. 

Saat membuka pintu kamarnya, gadis itu dikejutkan dengan satu totebag bunga-bunga yang isinya gaun berwarna peach yang terlihat sangat indah. Anya mencobanya di depan cermin, sangat cocok dengan tubuhnya yang molek. "Bagus banget, ih!" pekik Anya senang.

Anya tersenyum, membayangkan dirinya akan tampil cantik dengan gaunnya malam ini. Oma Stefi memang selalu bisa membuatnya bahagia. 

Pintu kamar Anya dibuka tanpa diketuk membuat Anya terlonjak kaget. Siapa lagi yang berani menerobos kamarnya tanpa mengetuk pintu, selain Kella dan Kelly? 

Kelly langsung menatap sinis ke arah Anya yang sedang memeluk gaun indahnya. "Kayaknya ada yang seneng banget karena baru dapet gaun," sindirnya sinis.

"Iya, tuh, berasa menangin lotre kali. Iya, gak, Anya?" tanya Kella yang berdiri tepat di depan Anya dengan raut mengejek.

"Iyaa, bagus banget gaunnya, Anya suka. Oma emang tau apa yang disukai Anya," sahutnya tersenyum.

Kella dan Kelly saling bertatapan kemudian berdeham pelan. Anya yang melihat itu merasa heran sendiri.

"Cukup seneng-senengnya. Percuma juga kamu dapat gaun baru kalau nanti malem gak jadi ikut," ujar Kelly mengejek.

"Acaranya dibatalin?" tanya Anya mengerjap polos.

"Dih, dibatalin? Sok tau," cibir Kella mendecih.

"Terus?"

"Kami semua tetap akan ke sana malam ini," jawab Kella dengan wajah datar. "Tapi, tanpa kamu," lanjutnya penuh penekanan.

Anya tak bergeming setelah Kella mengatakan itu. Dirinya tidak ikut serta? Mengapa? Batin Anya bertanya-tanya. "T-tapi kenapa?" tanya Anya meminta penjelasan kepada mereka berdua yang sedang tersenyum tipis ke arahnya.

"Karena—," ujar Kelly terpotong saat Kella menyenggol lengannya. "Ya, karena kami gak mau kalau kamu ikut. Enak aja, ini, kan acara khusus buat kami berdua," lanjutnya.

Anya hanya menghela napas berat. Mengapa selalu saja ada yang mengusik kebahagiannya? Anya hanya bisa tersenyum pasrah. "Tapi Anya juga ingin ikut," ujar Anya dengan suara bergetar. Ia berharap agar kedua kakaknya berubah pikiran dan mengijinkannya untuk ikut serta.

"Dih, kamu siapa berani menolak kehendak kami?" sinis Kella tertawa kencang. "Kalau dibilang enggak ya enggak," lanjutnya menatap Anya tajam.

"Kalau oma nanyain gimana?"

"Tinggal bilang kalau kamu ada tugas yang harus diselesaikan malam ini. Kan, besok kamu udah mulai masuk sekolah, jadi alasannya cukup masuk akal," ujar Kelly memikirkan alasan yang tepat.

Mereka berdua keluar dari kamar Anya setelah mengatakan itu. Anya hanya bisa tersenyum getir.

Gadis malang itu memutuskan untuk tidur sampai pagi mendatang jika saja pintu kamarnya tidak diketuk dari luar. Itu pasti Oma Stefi, batin Anya.

"Loh, Anya belum siap-siap?"

"Emmm, ada tugas yang harus Anya selesaikan malam ini. Besok, kan sekolah, Anya juga gak mau bangun kesiangan," ujar Anya merasa tak enak hati karena sudah berbohong kepada Oma Stefi.

"Masa gak ikut? Beneran gak apa-apa di rumah sendirian?" Stefi bertanya dengan raut cemas. 

"Gak apa-apa, kok. Oma berangkat aja, pasti Kak Kella sama Kak Kelly udah nungguin dari tadi," ujar Anya berusaha meyakinkan Oma Stefi.

"Ya udah, oma berangkat duluan, ya," pamit Stefi yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Anya.

Sendirian di rumah tentu bukanlah hal yang menyenangkan. Baru ditinggal beberapa menit, Anya sudah merasakan kesepian. Seharusnya tidak, karena selama ini ia sudah terbiasa dalam kesendirian.

"Ayah kapan pulang? Dulu ayah pernah janji gak bakal ninggalin Anya sendirian. Tapi kenapa ayah bohong? Apa salah Anya?" gumam Anya sambil menatap figura ayahnya di meja belajar.

Jika sendirian seperti ini, yang selalu diingat oleh Anya adalah janji ayahnya yang tidak akan membiarkannya sendirian. Tetapi, janji tinggal janji, ayahnya tidak pernah menepatinya. 

Anya berusaha menyelesaikan permainan rubiknya dengan tenang meskipun dalam pencahayaan remang-remang. Di luar sana hujan deras disertai angin kencang, Anya khawatir dengan keluarganya, apakah mereka kehujanan di luar sana? Bunyi petir menggelegar di telinga Anya membuat jantungnya berdegup kencang.

Baru hendak menuju ke kamar mandi, tiba-tiba saja listrik padam. Semuanya gelap, Anya bingung harus meminta tolong kepada siapa, pasalnya tidak ada orang lain di rumah selain dirinya. Anya tidak takut gelap, hanya merasa tidak tenang dalam kesendirian.

Setidaknya nyala flash ponsel Anya sedikit mengurangi kegelapan. Udara begitu dingin membuat sekujur tubuh Anya meremang. Gadis itu memutuskan untuk memejamkan matanya perlahan.

"Siapa?" gumam Anya saat pintu kamarnya dibuka tiba-tiba. Sungguh, Anya sangat takut dengan makhluk astral.

Penampakan wajah Kella yang basah kuyup membuat Anya terheran-heran sendiri. Mereka sudah pulang? Mengapa Kella langsung menemuinya di kamar dalam kondisi seperti itu, setidaknya bersih-bersih terlebih dahulu, pikir Anya.

"Kak Kella?"

Kella tampak gelagapan menjawab. 

Wajah Anya dirundung kebingungan saat melihat Kelly juga memasuki kamarnya dengan langkah tergesa. "Kak Kelly juga di sini?" tanya Anya untuk yang kedua kalinya.

"Kamu ngapain?" Kelly balik bertanya kepadanya.

"Anya tidur," sahut Anya bingung sendiri. Apakah mereka ke kamarnya hanya untuk menanyakan sedang apa dirinya? Sepertinya tidak, tapi entahlah.

"Oh," timpal Kella sebelum menghilang dari balik pintu bersama kembarannya.

Anya menggaruk pelipisnya bingung. "Mereka kenapa sebenarnya, sih?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status