Aku tidak tau dorongan dari mana yang menyuruhku untuk datang ke kantor suamiku. Mungkin, instingku benar-benar meyakinkan diriku kali ini.
Aku datang.Tetapi, aku tak pernah masuk ke dalam kantor suamiku. Aku hanya berdiam diri di dalam mobil dalam diam. Memperhatikan pria yang seharusnya suamiku sedang menciumi wanita yang selalu membuatku merasa tak aman.Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan saat melihat semesra apa mereka di lahan parkir yang sepi, seolah tak perduli jika ada mata manusia yang melihat.Pelukan, pagutan, ciuman yang membuatku sakit.Namun, aku tak mampu mengalihkan pandanganku!Rasanya ... aku bahkan tak berkedip meski aku bernafas karena itu hal wajar untuk kulakukan.Bernafas!Brukk!!Aku bahkan baru sadar jika sudah berdiri di salah satu lobi hotel saat tubuhku menabrak sesuatu atau mungkin seseorang, entahlah.Aku seperti di sini tapi otakku melayang entah kemana. Bahkan, suara ramai kesibukan terasa samar di telingaku.Udara dingin yang terasa menusuk berkat pendingin ruangan tak berpengaruh apapun padaku yang diam terpaku, menatapi lobi tanpa perduli saat berpasang-pasang mata menatapiku heran.Mungkin mereka berpikir aku orang tersesat. Tapi, tak ada yang mendekat sekedar untuk bertanya. Mereka hanya menatapiku yang berdiri masih mencerna apa yang sedang aku lakukan.'Mariot hotel?'Ah, aku berada di salah satu hotel mewah yang membuatku merasa salah tempat, karena bukan hotel yang ingin kutuju tapi kantor suamiku.'Sedang apa aku di sini?'Tubuhku langsung kaku saat kesadaranku kembali. Mungkin, wajahku sudah seperti lembaran kertas putih yang pucat sampai seseorang menyapaku.Aku yang menoleh, bahkan tak jelas mendengar apa yang ia tanyakan sampai ia mengajakku duduk di sofa empuk yang rasanya membuat tubuhku menjerit dalam bisu.Detik berganti.Waktu berputar begitu lama dan mataku selalu memandangi lift yang berbunyi, berharap suamiku ada di antara lift yang terbuka.Namun, suamiku tak ada di sana begitupun wanita yang datang bersamanya.Wanita yang sejak pertama kali aku melihat potretnya di dalam kediaman suamiku, membuat diri merasakan perasaan tidak enak.Wanita dengan kecantikan yang akan membuat semua mata menoleh dengan rasa iri dan kagum.Wanita yang bisa memiliki segalanya hanya dengan menunjuk apa yang ia mau.Aku terus menunggu, tidak perduli pada tatapan resepsionis yang sesekali bertukar pandang dengan satpam.Mungkin, di hotel ini aku bukan wanita pertama yang menunggu suaminya turun setelah selesai dengan apa yang mereka lakukan.Mungkin dua orang yang saling melirik itu juga menungguku menyerah, atau mungkin mereka menunggu waktu yang tepat untuk mengusirku sebelum aku melakukan hal yang akan membuat hotel mewah ini malu.Tapi, aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan karena aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kurasakan kini. Kecuali tanganku bergetar dalam pangkuan."Minumlah."Suara itu membuatku menoleh. Tapi, aku bahkan tak melihat wajah orang yang meletakan sebotol air mineral di tanganku. Yang kutahu, tangannya besar dan terlihat bisa diandalkan.'Apa aku mengucapkan terima kasih?'Kurasa iya, karena ia mengangguk dengan senyum yang membuatku bisa melihat baris giginya yang rapi saat ia tersenyum lalu berdiri.Manusia yang wajahnya jadi tak jelas mondar-mandir silih berganti. Tapi, orang yang kutunggu tetap tidak keluar dari dalam lift yang berkali-kali terbuka dengan bunyi yang sudah kuhafal.Ding!Namun, aku terus menunggu, bahkan saat langit cerah menggelap. Aku tetap duduk di tempat sama. Memegangi botol air mineral yang masih tersegel.PING!Suara ponselku terdengar, dengan mata tak yakin aku membaca sebaris pesan yang dikirim suamiku.Yang, aku tidak pulang malam ini. Maaf ya ibuk mendadak minta aku pulang. Have a sweet dream. Love you.Tanganku bergetar, tapi jemariku tetap memenceti layar ponsel karena aku tahu suamiku masih memegangi ponselnya. Ia tahu aku sudah membaca pesannya.Send.Apa yang kukirim padanya membuatku merasa kalah seketika. Mataku perih dan panas, penglihatanku jadi berbayang, bibirku bergetar dan aku tak lagi bisa menahan tangisku.Meski, aku masih tidak paham dengan apa yang sedang kurasakan kecuali rasa sakit yang rasanya begitu menyesakkan, aku menangis tanpa perduli sedang di mana diriku.Aku terisak memegangi ponselku karena balasan "terimakasih ,Sayang." Yang rasanya begitu tak berjiwa.Di lobi hotel bintang lima, tidak perduli apa yang di pikirkan orang tentangku, aku tersedu sendirian, aku terisak sendirian, aku menangis sendirian.Aku hanya terus menangis.Tapi, tidak ada yang berani mendekatiku. Begitupun satpam juga resepsionis yang sudah berganti. Mereka hanya saling menatap, berkata dalam bisu dan aku hanya terus menangis sampai airmataku tidak lagi keluar.Apa yang sudah kukirim pada suamiku adalah satu kata singkat yang membuatku merasa aku mengizinkannya melukaiku.Apa yang kukirim pada suamiku adalah satu kata yang membuatku merasa aku mengizinkannya melakukan apa yang sedang ia lakukan dengan wanita yang potretnya selalu membuatku merasa kecil.Apa yang kutangisi adalah karena aku mengirimkan balasan 'ya' untuk suamiku yang kini sedang bersama wanita itu.Yang kutangisi adalah karena Aku seorang istri yang memberi izin suaminya untuk berselingkuh.'Aku bodoh, bukan? aku bodoh sekali, bukan?'Tapi, apa yang harus kulakukan? saat yang kumiliki hanya suamiku.Aku adalah anak yang dibuang di tempat sampah saat bayi.Aku adalah anak yang tumbuh di dalam panti asuhan sampai besar karena tak seorangpun ingin mengadopsiku.Aku adalah wanita yang tidak diinginkan keluarga suaminya karena statusku tidak jelas.Aku adalah wanita yang tidak pandai bersosialisasi dengan orang lain.Aku adalah wanita yang tumbuh dengan berbagi segala hal bersama anak lain yang tinggal bersamaku.'Tapi, membagi suamiku?'Aku tak pernah berpikir harus menjalani hidup seperti itu. Tak sekalipun. Karena itu, aku hanya bisa menangis sendiri di lobi hotel yang dinginnya menusuki kulit.Sementara pandangan dan tatapan baik dari mereka yang hidup ataupun benda mati menilaiku, 'sungguh-sungguh menilai diriku.'Kupikir, setelah menangis rasaku akan menjadi ringan. Rasa burukku akan menghilang. Tapi, saat tangisku berhenti aku malah seperti orang yang kehilangan tujuan. Meski, setelah sadar suamiku tidak akan pernah kulihat di dalam pintu lift yang terbuka, aku memilih keluar lalu pulang ke rumah. Rumah kami.Aku masuk ke dalam rumah sepi yang kupandangi dalam bisu.Tiap sisi yang sudutnya kuhafal terasa asing seketika.Dan potret itu, potret pernikahan kami seolah mengejekku.Senyum lelaki yang merangkulku mesra jadi terlihat palsu.Tanganku yang meraba potret kami rasanya ingin membanting potret yang kupegangi.Namun, tanganku yang sudah terangkat tinggi turun dengan sendirinya. Dan, aku berjalan masuk ke dalam kamar yang penuh dengan aroma suamiku.Kuharap saat esok hari datang, apa yang kurasakan ini hanya mimpi buruk yang akan kutertawakan saat bangun.Namun, aku tak bisa memejamkan mataku sama sekali sampai kuambil obat tidur yang kutelan tanpa rasa.Tidak butuh waktu lama, aku jatuh dalam buaian mimpi buruk yang membuatku gelisah. Tapi, aku tak bisa bangun.'Aku tak pernah bangun lagi dari mimpi burukku lalu hidup di dalamnya.'***Hari masih begitu gelap saat lelaki yang terbangun dengan tangan melingkar di tubuh seorang wanita tanpa busana memilih turun dari ranjang.Pakaiannya yang tergeletak di sofa ia pakai cepat, tanpa menyadari wanita yang bangun tanpa sehelai benang pun memperhatikan."Apa kamu harus pulang secepat ini?"Suara yang terdengar manja itu membuat lelaki yang sedang mengancingkan kemejanya menoleh."Ya."Jawaban singkat itu membuat wajah cantik nan menggoda sang wanita berubah, "apa kamu akan terus seperti ini. Pergi setelah kamu puas memakaiku lalu meninggalkanku sendiri?""Jangan berkata seperti itu, Nggit, aku sudah merasa cukup bersalah karena tak bisa berhenti menginginkanmu dan kita berakhir seperti ini.""Kalau begitu ceraikan istrimu. Semua orang tau kau mencintaiku, Ken.""Tapi istriku tidak tau, dan akan selamanya seperti itu.""Selamanya!? kau bilang selamanya kita akan terjebak seperti ini? jika kau berpikir aku mau, maka kau sudah kehilangan akal sehatmu, Ken!""Kau yang memulai semua ini Anggita dan aku yang kalah dengan nafsuku.""Apa kau menyesal?"Ken tidak menjawab, ia menarik nafasnya dalam lalu mendekat pada Anggita yang wajahnya siap menangis."Jika rasa bersalahku lebih besar dari nafsuku. Aku tak akan berahir di sini semalaman menyentuhmu, Nggit.""Kau curang, Ken, curang sekali," ucap Anggita memeluk tubuh Ken."Ken, katakan padaku dengan jujur, apa kau pernah mencintai istrimu?"Ken diam beberapa lama lalu memeluk erat wanita yang tubuhnya dipenuhi dengan kissmark yang ia tinggalkan, "aku selalu berusaha mencintainya, Nggit. Setiap hari. Setiap waktu. Aku selalu berusaha."Anggita menatap wajah Ken, tidak ada kebohongan di sana, "kalau begitu tetaplah seperti itu, karena hatimu hanya boleh untukku. Hanya untuk aku."Ding!Lelaki yang akhirnya muncul saat lift terbuka itu menatap sofa di lobi ketika ia melakukan check out. Aroma parfum yang rasanya samar tercium di hidung, membuat manik hitamnya berkeliling. Matanya mengawasi tiap sudut ruangan dengan dada berdetak kencang."Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"Ramah resepsionis bertanya pada Ken yang akhirnya fokus kembali. Mulutnya yang terbuka tertutup lagi, ia menelan tanya pada wajah terlatih yang meski terjadi sesuatu akan bersikap tenang."Tidak mungkin.""Maaf, Pak?"Ken menatap resepsionis yang heran, "bukan apa-apa, tolong kirim paket breakfast untuk kamar saya. Tidak perlu mengetuk pintu, teman saya pasti masih tidur.""Baik, Pak." Jawab resepsionis yang menunduk saat Ken berjalan meninggalkan lobi, lelaki yang meninggalkan temannya dalam keadaan telanjang dan di penuhi kissmark. Sedang di jari manisnya sendiri melingkar cincin pernikahan yang berkilau setiap terkena cahaya lampu.Pintu lobi yang terbuka, tidak hanya untuk Ken.Di saat yang sama, lelaki berperawakan tinggi dengan barisan gigi rapi memberinya senyum ramah juga anggukan. Sementara Ken hanya mengangguk tanpa senyum."Apa kau kira lelaki itu yang ditangisi wanita tadi?""Yang mana?""Huh, jangan pura-pura lupa. Kau ingatkan, wanita yang di gosipkan anak-anak sejak siang tadi.""Aku hanya bersyukur wanita itu keluar tanpa membuat masalah untuk kita.""Kau juga berpikir ia akan mengamuk dan mencari suaminya?""Siapa yang tidak? Ia selalu melihat pintu lift yang berbunyi, tapi ujung-ujungnya menangis lalu pergi dengan wajah kalah.""Hush!""Apa sih?""Saya tidak tahu kalian terlihat begitu hidup saat bergosip ria. Tapi, bisakah lakukan itu setelah jam kerja kalian usai?""Pa--Pak Arga!?""Ma--maaf, Pak."Yang di panggil pak hanya mengangkat tangan dengan senyum yang menunjukan barisan gigi rapi.Sementara Arga tidak perduli pada pipi-pipi bersemu setelah melihat pesonanya. Dan, ditatapnya sofa dingin yang membisu."Apa gadis itu sudah pulang?" ucap Arga begitu pelan lalu berjalan memasuki lift yang tertutup rapat di dini hari yang melelahkan.*Bab awal, lanjut ya ❤️***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men