Share

PUTRANYA MEMANJAKAN BENALU

"Beruntung?" Tanyaku lebih pada diriku sendiri.

"Iya, Nyonya, suami anda sangat beruntung karena saat saya pulang tidak ada istri cantik yang menunggu saya di rumah. Hanya ada sepi dan bantal dingin."

Aku tahu lelaki di sampingku bercanda. Tapi, aku bahkan tak bisa tertawa dan hanya mengamati tautan jemariku sendiri yang terlihat gelisah.

Aku tak ingin berpikir apa yang sedang di pikirkan tetanggaku ini tentangku. Tapi, ia nampaknya bukan tipe manusia yang suka mencampuri urusan orang lain, ia juga tak keberatan aku hanya menjawab seperlunya.

Ah, bukan begitu. Sejak dulu aku memang orang yang tak terlalu bisa bercengkrama dengan orang lain. Hanya bicara seperluku.

Kurasa, aku hanya orang yang tidak menyenangkan untuk diajak bergosip.

"Apa anda sudah harus kembali?"

Aku yang berdiri dari kursi besi bercat hijau mengangguk.

"Apa suami anda sudah pulang?"

Aku menatap jajaran gigi rapinya yang terlihat menunggu jawabanku. Tapi, sekali lagi aku menggeleng, "saya hanya ingin bersiap karena harus bertemu seseorang hari ini."

Aku tertegun sendiri dengan apa yang kuucapkan pada lelaki asing di hadapanku.

"Saya harap urusan anda berjalan lancar, Nyonya."

Aku kaget saat tangan besarnya menyentuh tanganku. Tapi, ia yang tahu aku tak merasa nyaman menarik tangannya menjauh dengan senyum masih mengembang.

"Saya juga harus bersiap-siap untuk bekerja, Nyonya. Tapi, meninggalkan suasana sejuk dan ramai dengan celoteh anak-anak sungguh mematahkan hati."

Aku menoleh pada keramaian anak-anak kecil yang bermain di segala penjuru taman.

Rasanya sudah lama sekali aku tak menikmati apa yang kulihat.

Tawa polos anak-anak yang giginya belum sempurna tumbuh, keceriaan remaja yang papan skatenya terlempar dari kaki yang menapaki.

Tawa-tawa jujur itu ..., 'sejak kapan terlihat dan terasa berbeda untukku? Sejak kapan penghiburan murah dan gratis itu terasa asing untuk ku nikmati? Sejak kapan-'

"Nyonya?"

Aku kembali dari lamunan lalu menoleh pada lelaki yang menatapiku dari tempatnya duduk.

Kurasa, aku tersenyum karena bisa merasakan garis tercipta di antara bibir, meski aku sama sekali tidak tertawa, "saya kembali duluan, Tuan. Semoga hari anda lancar."

Ucapku lalu menunduk pamit dan meninggalkan taman, kembali ke rumah sepi yang ku tinggalkan sejak dini hari.

Apa aku merasa lebih baik? aku tidak tahu.

Yang ku tahu, aku hanya harus bersiap untuk apapun yang akan terjadi saat aku bertemu dengan Anggita nanti.

Aku terkejut saat masuk sepatu suamiku sudah tergeletak di lantai. Tak beraturan seolah dilepas buru-buru. Dan, saat aku sedang memasukan sepatunya ke dalam lemari, pintu kamar terbuka.

Kurasa kami sama-sama terkejut sampai Ken menghampiriku cepat.

"Kamu dari mana, Yang?"

Aku hanya diam, memandangi Ken yang rambutnya masih basah.

'Apa ia baru pulang? Atau sudah sejak tadi?'

Kurasa Ken baru pulang dan membersihkan diri. Hal yang selalu ia lakukan setelah pulang dari rumah ibu. Meskipun, ini bukan hari minggu seperti biasanya.

Kurasa saat-saat ia pergi ke rumah ibu akan lebih dari satu malam dalam seminggu mulai kini.

Ah, aku bahkan tak bisa membuat komentar apapun dalam pikiranku saat ini.

[Ken tidak mau meninggalkanmu]

Pesan dengan Vidio yang masuk dalam chat, kembali terngiang meski aku memilih untuk tidak melihat apa isi Vidio yang wanita itu kirim untukku.

Belum lagi, rasa sakit di perut kembali timbul. Tapi, aku tetap bergeming lalu menutup lemari berisi sepatu dan sendal kami.

"Yang?"

Aku berjalan melewati Ken yang hendak menyentuhku, ia tampak terkejut sampai aku duduk di atas sofa, berharap rasa sakit di perutku berkurang.

"Ri?"

"Kamu baru pulang?" Tanyaku pada akhirnya saat Ken duduk di sampingku, ia terlihat ragu saat menggenggam tanganku yang lalu diciumnya.

"Maaf."

Aku tidak mengerti ucapan maaf yang Ken ucapkan untuk apa. Tapi, otakku sudah terlalu lelah berpikir dan bergelut dengan kekeras-kepalaanku sendiri.

Aku hanya sudah terlalu lelah untuk menerka banyak hal.

"Ken?" Suamiku menoleh sementara aku menatap potret pernikahan kami. Wanita dan pria yang tersenyum di dalam potret itu terlihat begitu asing. Tapi itu, tak mungkin kukatakan pada suamiku, bukan?

"Apa kamu ingat pertama kali kita bertemu?"

Tak perlu berpikir, Ken langsung menoleh padaku yang masih menatapi potret pernikahan kami, "tentu saja, kamu sedang mencatat barang-barang yang masuk dari donatur untuk panti asuhan."

Aku berusaha mengingat. Tapi, memori yang terdengar nyata itu tampak berkabut di ingatanku.

Aku menoleh saat tawa pelan Ken terdengar, ia melirikku dengan senyum yang terlihat sama persis dengan potret dalam pernikahan kami.

Senyum kekanakan yang membuatku bertanya, 'apa senyumnya selalu sama seperti ini? Jika iya, sejak kapan ia membagi hati dan tubuhnya dengan wanita itu? Ataukah sejak awal kami bersam-'

Cup!

Kecupan ringan yang membuatku membeku, mendarat begitu sempurna di bibirku yang tak siap.

"Aku pikir, kamu anak panti bukan salah satu pengurus. Jika ada yang berkata kamu anak SMP saat kita pertama bertemu, aku pasti percaya."

Aku masih terdiam sementara Ken menyandarkan kepalanya pada pahaku, ia memainkan jari-jariku dengan kalimat yang terasa begitu jauh.

Kami bertemu 5 tahun lalu. Keluarga Ken adalah salah satu donatur tetap untuk beberapa panti asuhan. Mungkin, sudah takdir karena pada akhirnya kami menikah.

Saat itu, aku yang senggang diminta menjadi pengurus yang mencatati sumbangan masuk, baik dari perorangan maupun korporasi.

Acara tahunan yang biasanya tak kuhadiri mengingat rumah pertama tempatku tumbuh dan besar bukanlah tempat yang menyenangkan. Sampai akhirnya aku dan 10 anak yang tumbuh di bawah satu atap dipindahkan ke panti lain kecuali satu orang yang tertinggal karena tak lagi bisa pergi.

Rumah kedua yang berbeda-beda, entah dengan pertimbangan apa orang-orang dewasa memutuskan hal itu.

Kami ber-9 yang sudah lulus SMP tidak lagi saling berkomunikasi.

Beberapa anak memilih mengubur masa lalu untuk menjalani kehidupan tanpa mengingat masa itu.

Beberapa pergi meninggalkan pulau, sampai tak tersisa seorang pun.

Aku? meski tak aktif, terkadang aku masih berhubungan dengan orang-orang yang merawatku di panti.

Bukan panti tempat aku di temukan. Tapi, rumah kedua yang terasa lebih bersahabat bagi anak-anak yang dikatai kurang beruntung dan terbuang.

Anak-anak seperti diriku yang ditemukan dalam keadaan hidup meski semut menggerayangi badan adalah sebuah mukjizat. 

"Hei, apa kamu tak mendengarkanku?"

Aku menunduk saat jemari Ken menyentuh pipi. Mata kami bertemu dan suamiku tersenyum saat aku mengusap kepalanya, "tangan kamu nyaman sekali, Ri. Rasanya sudah lama sekali kita tidak seperti ini."

Ken memiringkan badan dan memeluk pinggangku erat, rasa menusuk di perutku sudah berkurang meski sesekali aku bisa merasakan sakitnya.

"Aku tak ingin kerja."

Ucapan Ken membuatku diam beberapa saat. "Kalau begitu ambilah libur, Ken, lalu beristirahat, kamu pasti lelah."

"Aku tidak lelah, aku hanya ingin bersamamu seharian."

'Bersamaku seharian?'

Itu akan menyulitkan saat aku harus bertemu dengan Anggita. Entah apa yang ingin ia bicarakan. Tapi, mungkin dengan kami bicara, aku bisa menemukan penutupanku sendiri.

Penutupan untuk semua tanyaku selama ini.

Pada akhirnya Ken berangkat kerja.

Aku tidak tahu wajah seperti apa yang aku tunjukan padanya, sampai ia memelukku begitu erat sebelum benar-benar pergi.

"Aku sayang kamu, Arini, sungguh."

Aku bahkan tak mampu membalas ucapan sayangnya dan hanya diam.

Ken yang terlihat menunggu balasan, memelukku makin erat sampai aku bisa merasakan tangannya bergetar.

Seluruh tubuhnya menyalurkan rasa hangat yang tak asing namun terasa asing disaat yang sama.

Seluruh diri Ken seakan menunggu reaksiku.

Namun, bibirku tetap terkunci rapat. Bahkan tanganku sama sekali tak bergerak untuk membalas pelukan suamiku sampai pintu rumah kami tertutup setelah Ken menciumku lembut dengan bibirnya yang bergetar.

Ia meninggalkan aku yang masih berdiri mematung dalam bisu lalu masuk ke dalam kamar kami.

Aku mengeluarkan semua bajuku, mencobanya satu-satu. Bahkan, beberapa kali mengganti pakaian dalam meski tidak akan terlihat.

Namun, aku merasa apa yang kupakai tidak pas.

Aku selalu bisa menemukan kekurangan pada bajuku. Bahkan saat Ranjangku penuh dengan pakaian yang berakhir sama. Kucoba dan kulepaskan lagi. Dan berahir dengan kaos dan jins yang terasa nyaman.

Aku menyambar tas, memastikan dompetku berisi uang juga kartu.  Mengambil kunci mobil dan bergegas keluar meninggalkan rumah yang kasurnya masih berisi penuh pakaianku.

Aku benar-benar jadi pelupa, bahkan tak melihat ponsel yang masih tergeletak di atas meja sejak aku meninggalkan benda pipih itu untuk mencari ketenangan di taman sepi, bersama nyamuk yang jadi berpesta menggigiti tubuhku.

Tempat pertama yang kutuju adalah toko pakaian.

Aku yang masuk, langsung memilih baju yang biasanya tak kupakai.

Sepatu tinggi yang terasa makin tak nyaman di kaki. Aku bahkan masuk ke dalam salon untuk melakukan perawatan yang biasanya tak kulakukan.

Tapi hari ini, aku ingin melakukan semua itu. Aku ingin tampil dengan tampilan baik. Bukan wanita yang bahkan lupa pada alas kakinya seperti kemarin saat aku datang ke rumah mertuaku.

Namun, kenapa dunia begitu sempit?

Di salon yang sama, aku bertemu dengan ibu mertuaku. Ia terlihat enggan saat aku salim padanya.

Ibu tidak datang tak sendiri, ia bersama wanita paruh baya yang masih terlihat ayu dan memperhatikanku begitu lekat.

"Berapa umurmu, Ndok?"

Aku tak mengira pertanyaan bernada ramah itu keluar dari wanita yang datang dengan mertuaku. Apalagi ia ibu dari Anggita, wanita paruh baya yang tawanya terlihat saat putrinya duduk di samping suamiku kemarin. 

"Saya 23 tahun, Bu."

Mendengar itu, bu Nita terdiam. Ia seolah berpikir, bahkan saat pegawai salon melepas mesin krimbat dari kepalanya. Pikirannya seolah melayang ke tempat yang tak bisa kuterka.

"Benar usiamu segitu, Ndok?"

Aku merasa sedikit heran ia mengulang tanya, apalagi wajah yang ia perlihatkan sangat-

"Siapa yang tahu, Jeng, bisa jadi usianya lebih tua dari yang tercantum, mengingat ia anak yang dibuang di tempat sampah."

Lelaki gemulai yang sedang menyisir rambutku, melirik dengan pupil membesar. Ia terlihat kaget mendengar ucapan ibu mertuaku yang tak perduli pada lirikannya.

Sementara wanita ayu yang datang bersamanya melihatku dengan tatapan-- entahlah, menilaiku. Tapi, terasa begitu mengusik hatiku.

Aku tahu ibu tak pernah menyukaiku, ia pun tak menutupinya sama sekali.

Jelas terlihat jika ibu tidak ingin berlama-lama dalam satu ruangan bersamaku.

Tatapannya saja cukup membuat orang-orang di sekitar kami tak nyaman setiap melihatku.

Ku rasa, tinggal adalah hal yang akan membuat harinya buruk begitupun salon dan pegawainya. Lagipula salon tak hanya ada satu, bukan?

Aku hanya meminta rambutku di rapikan, setelah itu aku pamit pada ibu juga wanita yang terus memperhatikanku dengan penuh penilaian.

Ibu tampak lega aku keluar dari ruangan, "kenapa buang-buang uang hanya untuk memotong sedikit rambutmu. Kurasa putraku terlalu memanjakanmu, bukan?"

Aku hanya bisa mengangguk, tak ingin membantah.

"Seharusnya anakku memilih wanita yang bisa menghasilkan uang sendiri, bukannya benalu."

'Benalu?' Mungkin itu yang ibu lihat dariku sejak awal.

Wanita yang datang saat putranya sudah mapan dan mampu menghidupi dirinya sendiri. Tapi, jika aku adalah wanita yang akan kalah dengan ucapan tajamnya, aku tak akan berdiri di sini mendengarkan ucapan sepenuh hati dari wanita yang melahirkan suamiku, bukan?

Aku tak ingin membalas, itu hanya akan memperparah keadaan. Lagipula, aku sedang tidak ingin menghabiskan energiku untuk ibu yang jelas-jelas tak menyukaiku. Dan semua orang dalam salon tahu akan itu kini.

Aku keluar dengan tatapan kasihan dan menilai, padahal bukan tatapan seperti itu yang kuharapkan.

Tapi, dengan diamku, akulah yang memberi berpasang-pasang mata itu kesempatan untuk menilaiku. Menilai hubunganku dengan wanita paruh baya yang wajahnya jadi masam meski aku sudah keluar dari ruangan yang sama dengannya.

"Aku lebih suka putraku bercerai dengan benalu itu, lalu menikah lagi dengan wanita yang lebih pantas mendapatkannya."

Aku bahkan belum menjauh saat ibu berkata seperti itu, kurasa ia memang sengaja ingin aku mendengar dan tak hanya telingaku. Tapi, semua orang yang ada di dalam salon termasuk wanita paruh baya ayu yang tatapannya masih kurasakan di punggung.

'Ken, apa aku bisa mengambil hati ibu? Kurasa kita sama-sama tahu jawabannya, bukan?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status