Share

MENABUR GARAM DALAM LUKA

Rumah yang kumasuki masih sepi.

Aku yang akhirnya bisa menebus dua botol obat tidur setelah konsultasi pada dokter langsung membuka kulkas.

Meskipun tak memiliki selera makan, bagaimanapun juga aku harus makan bukan?

Kuambil apel yang langsung kugigit tanpa rasa. Lalu menyerah pada gado-gado yang baru kumakan tiga suap.

Aku merasa begitu lelah, meski saat memejamkan mata, kantukku tidak datang sama sekali.

Dengan sendal jepit yang kubeli di apotik, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelahnya langsung naik ke kasur dan meminum dua butir pil tidur yang membuatku mengangguk.

Tak butuh waktu lama, aku terlelap tanpa kemungkinan bangun seburuk apapun mimpiku.

'Tapi, setidaknya aku bisa tidur meski harus mengonsumsi pil terlebih dahulu, bukan?'

*

*

*

"Yang, aku pulang. Yang? Ri?"

Lelaki yang berlari masuk setelah melepas sepatunya cepat itu tertegun melihat ponsel sang istri di samping kotak makanan yang masih belum dibuka.

"Yang?"

Sepi, tak ada jawaban. Bahkan percuma jika ia ingin menghubungi Arini yang ponselnya tergeletak di atas meja.

Ken langsung membuka pintu kamarnya lebar. Ada perasaan lega saat mendapati istrinya lelap tertidur meski ini masih terlalu sore.

"Yang?" panggil Ken. Tapi, wanita mungil yang bahkan tak bergerak dalam tidurnya, sama sekali tak merespon.

"Aku pulang, nih. Kamu gak mau menyambutku seperti biasa?"

Arini tetap bergeming, bahkan saat Ken menariknya dalam pelukan.

"Kok, rasanya kamu jadi kurusan? Apa kamu makan dengan benar? Yang? Kamu gak lagi diet-dietankan? Kumohon jangan kurus-kurus. Mulai besok aku akan lebih memperhatikanmu, maaf Akhir-akhir ini aku jadi sibuk dengan urusanku sendiri ..., tapi, ini yang terakhir, Yang. Aku janji sama kamu, aku akan berusaha mencintai kamu, sungguh-sungguh mencintai kamu."

***

03:12

Aku bangun sendirian.

Sudah dini hari. Ranjangku terasa dingin. Sangat dingin sampai aku yang menarik selimut menutupi tubuh, sama sekali tak merasa hangat.

Ini bukan hari Minggu, ini sudah hari senin dan suamiku tak kembali ke rumah.

Ini pertama kalinya ia pergi ke rumah ibu di luar malam Minggu. Biasanya Ken sudah ada di rumah kami saat aku bangun.

'Sekarang Minggu dan senin, besok hari apa lagi ia akan pergi ke rumah ibu?'

Di kamar kami, aku duduk sendirian memeluk selimut yang penuh dengan aroma suamiku. Bantalnya pun begitu. seluruh ruangan mengeluarkan aroma Ken.

Namun, hanya aromanya saja. Tidak lebih dari itu.

Aku memilih keluar dari kamar, seluruh ruangan memancarkan kesunyian yang rasanya makin menyatu dengan diri.

Sepi, sunyi, dan terasa gelap meski lampu menyala pada tiap sudut ruangan.

Sejak kapan aku mulai merasa hal ini biasa? 'Ah, tidak.' Aku hanya membiasakan diri pada suasana rumahku yang jadi berbeda.

Tempat yang sudah kutinggali selama 3 tahun lebih 3 bulan dan 9 hari ini jadi terasa asing dan tidak menyambutku lagi.

Rumah ini, rumahku dan rumah suamiku terasa asing sejak tiga bulan lalu dan aku hanya membiasakan diri.

Ponselku masih tergeletak di tempat sama seperti saat kutinggalkan. Tapi, sudah tidak ada kotak makanan di atas meja. Makanan yang entah dikirim siapa, mungkin untuk menghiburku yang makan sendirian, sementara suamiku makan bersama keluarganya yang terlihat bahagia meski tanpa kehadiranku.

Apa hidupku akan terus seperti ini? Apa aku mampu hidup seperti ini seumur hidupku?

Membayangkan saja seluruh tubuhku kaku dalam bisu. Tapi, aku adalah istri yang mengizinkan suaminya berselingkuh sejak aku tahu ia sudah membagi tak hanya hati, namun juga tubuhnya di hotel mewah yang membuatku merasa kalah bahkan sebelum berperang.

Satu balasan chat dariku, seolah memberi izin untuk Ken menyakiti diriku yang terus mencari kesalahan diri sampai detik ini. Dan ini benar-benar membunuhku perlahan.

Aku bisa merasakan jati diriku mulai menghilang, seolah dimakan rasa buruk yang selalu bersarang dalam diri dan aku tak mampu berhenti.

Siapa diriku serasa dikaburkan.

Jati diriku dikikis perlahan namun pasti. Sampai rasanya, aku tak mengenali diriku sendiri juga semua yang ada di sekitarku.

Nyutt!!

Lagi, perutku seolah ditusuki. Rasa yang terasa semakin sakit jika aku fokus pada rasa sakitku.

Mungkin, seharusnya aku juga mengecekan diri saat konsul tadi. Tapi, kepalaku yang rasanya penuh namun kosong di saat yang sama, sibuk memikirkan hal lain, hal sama, hal yang menyangkut suamiku.

"Aku harus benar-benar makan walau sebagian besar keluar lagi. Kurasa, pasti ada yang tersisa untuk mengganjal perutku meski tak banyak."

Aku menghampiri kulkas. Kotak makanan itu ada di dalamnya.

'Apa aku sudah begitu pelupa sampai tak ingat memindahkan kotak ini ke kulkas?'

PING!!

Bunyi pesan membuatku terlonjak. Perasaanku buruk seketika, bahkan kupu-kupu terbang di perut saat aku berjalan mengambil ponsel.

Bukan suamiku yang mengirim pesan. Tapi, nomer tak terdaftar yang membuatku mengernyitkan dahi karena sang pengirim mengirimkan vidio.

Aku yang merasakan perasaan tak enak, tidak ingin melihat Vidio yang di kirim ke ponselku. Tapi, rasa penasaranku lebih besar.

Hanya saja akal sehatku lebih bisa diajak kompromi sampai aku hanya membaca sebaris kata maaf yang membuatku duduk di atas kakiku sendiri dalam beku.

PING : Apa kamu masih bersedia bicara denganku setelah melihat Vidio ini? Kamu pasti memiliki banyak pertanyaan dan aku akan menjawab semuanya besok. Kuharap kamu tak perlu berpikir karena rasanya aku tak akan mampu mengatakan apa yang akan kukatakan besok, Arini. Sungguh aku minta maaf harus sampai sejauh ini. Aku tak memiliki solusi lain karena Ken tak mau meninggalkanmu.

Aku bahkan tak bisa menangis lagi, rasanya lubang menganga yang tak akan tertutup lagi di dalam hatiku, malah makin besar dan tak hanya ada rasa sakit saja di sana kini.

---

----

-----

Aku duduk sendirian tak perduli pada nyamuk yang berpesta menunggu terang datang.

Kesibukan pagi makin terdengar dari segala penjuru. Bahkan, manusia-manusia pecinta tubuh sehat sudah berlari silih berganti dengan keringat membasahi kulit.

"Good morning, Onty."

Sapaan imut itu membuatku menoleh pada bocah kecil yang ternyata memang tak bisa berbahasa Indonesia.

Ia duduk menemaniku, berdua sang oma yang mencari kesegaran pagi dengan berjalan kaki menitipkan gadis kecil ini bersamaku.

"Onty, are you sad?"

Aku hanya bisa tersenyum menatapi gadis kecil berambut mangkuk yang begitu lucu dan suka bercoteh tentang sekolahnya, anjingnya, orang tuanya, Omanya, bukunya, game di ponselnya, dan masih banyak lagi dan itu semua terdengar menyenangkan.

"Am I look sad, Yuri?"

"He'em," Yuri mengangguk, ia berdiri di atas bangku besi yang kami duduki lalu memelukku, "it's ok, Onty, your sadness Will go away. It's ok to be sad, like my mommy said. If Onty want to cry, I won't tell anyone. I promise."

'Ah, setulus inikah anak-anak dengan ucapannya?'

Sampai aku yang menjulurkan tangan untuk memeluk Yuri, meneteskan airmata tanpa isak, tanpa syarat, tanpa beban yang selama ini kupikul sendiri?

'Ken, kita tidak baik-baik saja, bukan?'

'Aku dan kamu tidak baik-baik saja, bukan?'

'Aku tidak baik-baik saja, bukan?'

Aku tak bisa tidur tanpa dua butir pil kini, tidakkah itu satu dari sekian tanda aku tidak baik-baik saja?

Tapi, hanya itu yang kutahu.

Atau mungkin yang paling jelas kulihat.

Entahlah. Aku hanya tidak tahu sejauh apa diriku berubah. Dan sekarang, aku sedang menangis dalam pelukan gadis kecil berusia 4 tahun yang mengusapi punggungku, seolah ia sedang menenangkan anak kecil.

'Ken, kita bukan tak apa-apa, bukan?'

'Kurasa aku yang terlalu keras kepala, bukan?'

Ini semua menyakitkan, Ken. Sangat menyakitkan dan aku lelah menangis sendirian dalam sepi.

Aku lelah berpikir sendirian dalam bisu.

Aku lelah merasa sendirian meski kamu ada di dekatku.

Aku lelah mencari pembenaran akan sikapmu.

Aku lelah menemukan pembenaran dalam pilihanmu.

Dan aku lelah mencari salah pada diriku sendiri, Ken.

"Onty feel tired, Yuri. Really tired."

Aku yang merasa begitu lelah, makin memeluk erat tubuh kecil nan hangat yang terus mengusapi punggungku bahkan kepalaku sesekali ia cium.

Mungkin, aku harus bersyukur aku dan Ken belum dikaruniai putra ataupun putri. Atau mereka akan melihat selemah apa diriku yang bahkan hampir tak mampu menopang diriku sendiri. Apalagi menopang mereka?

Tuhan, apa ini saat bagiku untuk menyerah untuk kekeras kepalaanku? Dan gadis kecil ini yang kau datangkan untuk menolongku?

*

Aku membasuh wajahku di kamar mandi umum yang bersih dan terawat.

Apa aku merasa lega setelah menangis tadi? Entahlah. Aku sudah lama tak berpikir tentang apa yang kurasakan. Dan aku sedang lelah berpikir.

Saat keluar, Yuri sudah duduk dengan lelaki yang memberinya bakpao. Bukan lelaki jahat yang akan mengajaknya pergi dengan candy ataupun minuman, tapi tetanggaku yang tangannya melambai diikuti senyum lebar Yuri.

"Onty, come, come! Uncle Arga buy a lot of Bun for us!" seru Yuri semangat melambaikan tangannya untuk memanggilku yang berjalan lalu duduk di pinggir.

"Untuk sarapan, Nyonya."

"Terimakasih, Tuan," ucapku mengambil satu bakpao coklat yang terasa masih hangat di tangan.

Setelah menangis, aku merasa lapar meski masih tak berselera. Tapi, makan beramai-ramai terasa begitu berbeda dibandingkan makan sendirian di rumahku yang sepi.

"Lagi?"

Aku menggeleng karena perutku sudah terasa penuh. Sementara lelaki pemilik senyum ramah itu menawari Yuri yang dengan senang hati menerima bungkus bakpao yang ia peluk karena Arga berkata ia pun sudah kenyang.

Taman luas yang terletak di depan gedung apartemen makin ramai dengan pengunjung.

Yuri yang harus masuk sekolah bahkan sudah pulang dengan sang oma, sementara aku masih duduk di kursi sama dengan lelaki yang terlihat menikmati susanana di sekitarnya.

"Apa suami anda sudah berangkat kerja, Nyonya?"

Aku menoleh pada Arga sesaat lalu menggeleng.

"Oh, apa ia sedang tidak ada di rumah?"

Aku bisa merasakan tubuhku menegang.

"Maaf, karena setiap kita bertemu anda selalu terburu-buru pulang karena suami anda, Nyonya."

"Hari ini dia sedang tidak ada di rumah." Jawabku pelan meneliti jemariku yang bertautan.

"Oh, beruntungnya suami anda karena memiliki istri yang setia menunggu."

Aku menatap Arga dalam diam.

Bayangan Ken, rumahku yang kini terasa asing juga sepi, melintas dalam benak.

Aku yang rasanya bisa melihat diriku duduk membisu, menatapi pintu yang tak akan pernah terbuka saat Ken mengirimiku chat ia sedang di rumah ibu, pun terbayang begitu jelas.

Tawa Ken dan keluarganya juga wanita itu yang disambut begitu hangat, pun melekat tak ingin terhapus.

Rasanya, aku sedang menaburkan garam di atas lukaku yang tak akan tertutup.

Perih dan menyakitkan.

Namun, aku sama sekali tak berteriak. Aku justru mengunci suaraku, menekan diri dan seluruh rasa yang kumiliki.

Tapi ..., 'beruntung?'

Apa Ken beruntung memilikiku? Jika jawabannya iya, kenapa ia melakukan apa yang ia lakukan?

"Beruntung?" tanyaku lebih pada diriku sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status