Share

TUHAN KENAPA SESAKIT INI?

Aku menarik nafasku dalam, berharap ucapan ibu tidak akan terlalu kupikirkan. Tapi, siapa yang sedang ku bohongi saat dalam tiap langkah kepalaku berkali-kali mengulang ucapan ibu.

[Benalu...bercerai...lebih pantas untuk putraku]

"Selamat datang," sambutan ramah dengan senyum komersil itu membuatku diam, aroma salon yang terasa berbeda begitupun suasananya membuatku ragu untuk masuk.

"Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?" tanya lelaki yang menyambutku setelah ia memperhatikan jemariku yang memakai cincin.

Ramah. Itu kesanku untuk lelaki yang rambutnya dicat pink ini. Keramahan yang membuat seseorang merasa disambut, sampai aku yang tak terbiasa masuk ke dalam salon berani melangkah dan mengatakan apa yang ku mau.

"Apa anda ada kencan, Nyonya?" Aku yang menutup mata saat wajahku dipoles menggeleng pelan, tidak ingin tangan yang sedang memoleskan lipstik di bibirku terganggu.

"Ataukah bertemu dengan selingkuhan suami?" Candanya dengan tawa tapi hanya bertahan sesaat ketika aku tanpa sadar merapatkan bibir.

Ia lekat memperhatikanku yang pupil matanya bergerak tak nyaman. Lalu berdehem, gerakannya yang sudah lembut jadi makin hati-hati.

"Anda tahu, Nyonya, wanita ataupun pria sesungguhnya sama saja, yang membedakan kita hanyalah seberapa kuat kita mampu menahan diri. Meski, menahan diri terkadang sangat menyakitkan dan melelahkan."

Pandangan kami bertemu, tapi sorot matanya tak memberi penilaian sama sekali. "Saya tentu bukan orang yang pantas memberi saran, saat saya lebih nyaman memiliki banyak kekasih dibandingkan seorang teman hidup. Gunting, sisir, alat make up--"

Tangannya berhenti bergerak sesaat.

"--Ah, akhirnya saya bisa membuat anda tersenyum, Nyonya." Ucapnya padaku yang merasakan sedikit rasa hangat dalam hati.

Dan itu, tidak menjadi senyum terakhirku saat lelaki yang begitu pandai mengolah topik berat menjadi ringan ini terus berucap, sampai tangannya berhenti bergerak.

"Make up itu seharusnya tak mengubah dan anda terlihat sangat mempesona."

Aku tak tahu itu hanya pujian kosong ataukah penghiburan darinya. Tapi, saat aku membuka mata, aku melihat wanita yang terlihat lebih pantas daripada wanita yang lupa pada alas kakinya kemarin.

"Terimakasih," ucapku pada lelaki berambut pink yang mengedipkan sebelah matanya padaku.

Rambutku ditata, wajahku dipoles, aku mengganti pakaian dan memakai heel.

Kaos, jins juga sepatu kets kusimpan dalam tas besar sementara aku mencangklong clutch warna merah di bahu.

Aku memandang tampilan diri sekali lagi sebelum keluar dari salon. Tempat berisi lelaki ramah yang mampu membuatku merasakan sedikit rasa hangat yang makin mendingin dalam tiap pijakan langkah.

Apalagi saat kakiku berdiri di depan wanita yang duduk begitu santai dan menatapiku dengan penuh penilaian.

"Silahkan duduk, Arini. Terimakasih sudah datang."

Aku hanya duduk di atas sofa yang serasa menusuki diri.

Sementara wanita di hadapanku--Anggita duduk dengan penuh percaya diri, tatapan matanya yang lurus bahkan sama sekali tak menunjukan rasa malu ataupun rasa bersalah meski jemarinya mengitari bibir gelas tanpa henti.

"Kamu ingin memesan sesuatu?"

"Tidak," jawabku singkat.

"Oh," balas Anggita mengangguk, ia masih memainkan jemari lentiknya pada bibir gelas dan saat selesai, kami sama-sama tahu ia akan mulai berbicara.

"Sejak kapan kamu tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara aku dan Ken, Arini?"

Aku menatapnya cepat, sama sekali tidak menyangka akan dapat pertanyaan seperti itu dari wanita yang tidur dengan suamiku. Dan, ia masih tak menunjukan rasa malu.

'Malu?'

Apa yang kuharapkan dari wanita di hadapanku ini? Ucapan maaf? Atau pembenaran diri atas apa yang ia lakukan?

'LIHAT ARINI! BUKA MATAMU LEBAR-LEBAR!'

Anggita tidak mengajakmu bicara untuk mengatakan ia menyesal!

Ia tidak ingin meminta maaf padamu!

Ia hanya ingin kamu mengakui jika kamu tahu apa yang suamimu lakukan dibelakangmu!

"Apa manusia jadi benar-benar tak tahu malu saat menginginkan sesuatu?"

"Apa?" Tanya Anggita menghentikan gerakan tangannya memutari bibir gelas.

Nyut!!

Perutku sakit lagi. "Apa manusia jadi benar-benar tak tahu malu saat menginginkan apa yang seharusnya tidak ia sentuh?"

Nyut!!

Perutku makin sakit. Tapi, tak hanya perutku yang rasanya di tusuki, hatiku pun begitu.

"Jika kamu tahu Ken tidak mau meninggalkanku, bukankah lebih baik kamu mundur. Bukannya bertanya sejak kapan aku tahu? Apa urat malumu sudah benar-benar putus?"

Aku bisa melihat wajah penuh percaya diri Anggita berubah.

Namun, bukan perubahan yang kuharapkan karena ia malah menyeringai dan melipat tangannya di depan dada.

"Arini, apa kamu pikir Ken benar-benar menyukaimu?" Anggita mencondongkan badannya ke depan, "kau seharusnya tahu apa yang selalu kami bicarakan setiap selesai bercinta."

Aku bisa merasakan tusukan duri runcing yang mengarah tepat di jantungku. Apalagi saat tatapan Anggita lurus menatap mataku, "kami tak hanya melakukan s*x, Arini, aku dan suamimu bercinta. Hal yang tidak pernah ia lakukan saat denganmu."

Anggita memelankan suaranya, seolah apa yang ingin ia ucapkan hanya ingin ia perdengarkan untukku yang masih berusaha mencerna apa maksud dari ucapannya, 'hal apa yang tidak Ken lakukan saat denganku?'

"Kau tahu, tiap hari Ken berusaha mencintaimu."

Aku menatap Anggita. manik matanya sama sekali tak memancarkan kebohongan saat berucap, "tidakkah kau kasihan pada Ken yang meski sudah menjadi suamimu selama 3 tahun lebih, setiap saat ia harus berusaha untuk mencintaimu, istrinya? Istri sahnya?"

"Sementara denganku, rasa cinta Ken yang ia tekan langsung luruh saat mata kami bertemu. Ia tak perlu berusaha tiap saat, tiap waktu, tiap hari untuk mencintaiku, Arini. Karena aku sudah ada di hatinya, bukannya kamu."

Aku tidak ... tahu, 'TIDAK! AKU TAHU!'

Aku hanya tidak ingin mengakui jika pandangan Ken setiap melihat Anggita dipenuhi cinta.

Bahkan, potretnya yang Ken pandangi membuatku merasa tak nyaman, terancam.

'Tapi, Ken memilihku, bukan? Ia memilih diriku, bukan?'

Bukannya memilih wanita yang kepercayaan dirinya terlihat makin besar saat aku hanya diam.

"Mungkin kamu benar tentang aku yang tak tahu malu karena menginginkan apa yang seharusnya tak kusentuh. Tapi, kamu juga harus tahu sejak awal Ken hanya mencintaiku. Ia menikahimu karena aku belum siap. Tapi, kini aku sudah siap dan aku minta kamu mundur. Bukan untukku, Arini, tapi untuk Ken."

Aku benar-benar kehilangan kata-kataku apalagi saat Anggita menyentuh tanganku.

"Apa yang Ken rasakan untukmu hanya rasa kasihan, Arini. Tidakkah hidupmu akan menyedihkan sekali jika kamu terus bertahan? Di sentuh hanya karena sebuah kewajiban seorang suami pada istrinya, bukan cinta."

Rasanya jantungku berhenti berdetak.

"Maaf, tapi Ken mencintaiku bukan kamu dan aku harap kamu pergi dari kehidupan kami. Aku tak akan berkata lebih banyak lagi karena itu hanya akan menyakitimu, ku mohon pikirkan perasaan Ken, Arini. Kita masih muda, kamu pasti bisa menemukan lelaki yang sungguh-sungguh mencintaimu, bukan mengasihanimu."

Anggita menarik jemari terawatnya yang menggenggam tanganku, ia mencangklong tas lalu berdiri meninggalkan selembar uang seratus ribu yang ia letakan di bawah gelas berisi minuman yang bahkan belum ia minum. 

Pun, meninggalkanku yang diam membisu meski batinku dan kepalaku penuh dengan kalimat.

'Aku ...,' aku adalah wanita yang dinikahi karena rasa kasihan.

Aku adalah wanita yang disentuh karena itu adalah sebuah kewajiban.

Aku adalah wanita yang akan hidup dengan menyedihkan jika bertahan, 

'aku kh--'

Rasanya tenggorokanku tercekat meski tak mengatakan apapun.

Dadaku terasa begitu sesak sampai udara yang masuk, menekan paru-paruku terasa menusuk.

'Hatiku?'

Aku bahkan tak tau apa yang sedang dirasakan hatiku, kecuali rasa kosong namun begitu penuh. Sangat penuh.

'Tuhan, kenapa sesakit ini?'

Nyut...!

Aku yang berdiri langsung berpegangan pada meja. Rasa sakit di perutku tak bisa kutahan lagi.

Rasanya seperti diaduk-aduk juga ditusuki di saat yang sama.

Otakku yang masih bisa kuajak berpikir langsung mencetuskan ponsel agar aku bisa memesan taksi atau apapun untuk membawaku ke rumah sakit. Tapi, aku yang sudah mengaduk clutch, juga tas berisi baju sama sekali tidak menemukan benda satu itu.

Keringat dingin yang membasahi punggungku sudah menyebar ke seluruh tubuhku kini, sementara pandanganku mulai kabur.

Dan, hal terakhir yang kuingat adalah pegawai cafe yang berlari juga gelas Anggita yang jatuh lalu pecah berserakan.

Lantai dingin yang rasanya begitu keras makin tak terasa di tubuhku yang tersungkur bersama kesadaran yang menghilang.

Andai kesadaranku terus menghilang, mungkin aku tak perlu merasa sakit yang menyesakan lagi.

'Akan sebagus apa itu terasa?'

Ken, aku bahkan takut memanggil namamu dalam bisuku kini.

*

*

*

"You do what!?"

"Apa salahnya mengatakan kebenaran, Ken? Lagipula ia sudah tahu tentang kita."

"A--apa?"

Anggita memeluk lelaki yang wajahnya jadi pucat, "istrimu sudah tahu tentang hubungan kita, Ken. Ia hanya berpura-pura tidak tahu. Dan aku membuatnya mengakui apa yang ia sembunyikan."

Lelaki yang wajahnya jadi seputih kertas itu terduduk dengan lemah.

Ujung matanya menatap potret wanita bertubuh mungil yang senyumnya begitu jarang ia lihat Akhir-akhir ini. Dan hal itu, membuatnya berdiri cepat.

Namun, tangan lentik yang menahan lengannya membuat Ken berhenti melangkah.

"Beri Arini waktu untuk berfikir, Ken."

Ken menatap Anggita dengan tatapan tajam.

Wanita bertubuh sintal yang baru kali ini ditatap dengan amarah nyata dari lelaki yang tiap malam Minggu datang berahir menyentuhnya semalaman ini, jadi ciut.

Tapi, Anggita bukan wanita yang tahu kata menyerah dan ia tak akan memulai hari ini. Apalagi untuk wanita yang sudah hidup lebih dari tiga tahun dengan lelaki yang mencintai dirinya.

TIDAK!

Anggita tidak akan menyerah. Ia sudah merendahkan harga dirinya pada wanita yang asal usulnya tidak jelas, kecuali ditemukan di tempat sampah lalu tumbuh di panti asuhan.

Arini bahkan bukan wanita yang satu level dengannya. Tapi, ia mau saja merendahkan diri di hadapan wanita buangan itu demi mendapatkan Ken. Lelaki yang tak akan pernah bisa marah lama padanya.

Meskipun, tatapan Ken kali ini terasa menyakitkan juga membuat Anggita ciut nyali.

"Maaf, tapi aku tak tahan lagi hanya menjadi pemuas nafsumu tiap malam minggu saja, Ken. Aku tidak ingin merasa bersalah pada siapapun setiap kali kamu menyentuhku. Tidakkah kamu juga merasakan hal yang sama denganku? Tidakkah kamu juga ingin tak merasa bersalah setelah kita bercinta semalaman?"

Ken hanya bisa diam, ia sama sekali tak mampu menjawab dengan pandangan menatapi potret sang istri dan hanya membiarkan Anggita yang memeluknya mesra mengecup bibirnya.

Ciuman menggoda yang tak lagi terasa memabukkan tapi ia tak mampu mendorong tubuh sintal yang makin memperdalam ciumannya. Lagi, lagi dan lagi. Bahkan, saat tangan Anggita membuka resleting celananya, Ken tak mampu menolak.

Pria yang membiarkan tubuh bagian bawahnya dilumat bibir Anggita ini tak tahu di tempat lain, sang istri sedang duduk termenung di atas bangsal rumah sakit.

Cahaya mata Arini seakan menguap, menyatu dengan kegelapan langit yang melihatnya dari jendela yang gordennya terbuka.

Tangan pucat Arini yang dipasangi selang infus menyentuh perutnya yang rata.

Ken tidak tahu, istrinya sedang menjerit dan menangis dalam bisu.

Tapi, bahkan dinding dan bangsal yang memiliki telinga dan mata, tidak bisa melihat ataupun mendengar rintih kehilangan sebuah nyawa yang kehadirannya tak disadari lalu pergi tanpa pamit.

Tuhan mengambil titipannya lagi dari rahim Arini yang hanya bisa membisu dalam kesendirian di dalam ruangan sepi yang bahkan malu mengeluarkan suara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status