Semua orang yang ada di ruangan itu membeku saat melihat keadaan Barbara yang masih dalam pengaruh sihir para witch. Gadis itu mendadak membelalak kosong dan bola matanya berubah abu-abu seperti orang buta. Mulutnya setengah terbuka, lalu beberapa saat kemudian tampak tersungging ke atas seperti sedang tersenyum dengan bibir terbuka. Pemandangan itu tampak menakutkan karena Barbara seperti sedang kerasukan atau semacamnya.
Adinata mengatupkan rahangnya
Linda menangis di ujung ruangan bangsal penjara itu, sementara Aryadi hanya bisa diam di ujung yang lain. Mereka saling diam, berdiri dan berjalan mondar-mandir tak berdaya selama lima jam terakhir. Linda berkali-kali mencoba mendobrak pintu baja bangsal itu, tapi ia tidak berhasil. Aryadi hanya menggumamkan sesuatu tentang ruangan ini dilapisi baja dan sihir yang kuat, tapi Linda menatapnya dengan tajam sehingga Aryadi tak lagi membuka suara.Aryadi sa
Barbara meninggalkan mereka berdua di bangsal penjara itu dalam keadaan tidak berdaya dan sekarat. Linda tergeletak lemah di lantai dengan darah hitam mengalir dari leher dan perutnya yang robek besar. Kulitnya begitu pucat dan rasa dingin terasa seperti akan membunuhnya. Wanita vampir itu bernapas dengan kewalahan, rasa sakit hampir membuatnya menjerit, tapi suaranya entah bagaimana seolah tenggelam ke dasar tenggorokan.Iblis itu telah mengendalikanny
Saga mengintip kepergian orang tuanya pagi itu. Ia harus melakukan ini setiap hari untuk memastikan bahwa orang tuanya benar-benar telah pergi ke toko mereka. Setelah mereka menghilang dari pandangan, Saga turun ke lantai bawah untuk sarapan terlebih dahulu dan menunggu selama kira-kira satu jam atau lebih. Untuk jaga-jaga. Ia tak mau tertangkap basah untuk yang kedua kalinya seperti beberapa hari yang lalu.Saga mengambil dua gelas sterofoam berisi min
Aku keluar dari Alas Purwo itu hanya dalam waktu beberapa menit. Sebenarnya bisa lebih cepat, tapi aku berkali-kali harus berhenti karena tertarik dengan hantu-hantu yang terkadang menghampiriku. Selain itu, gangguan dari para immortal yang INDICENT kirim untuk mengejarku benar-benar mengganggu, sehingga aku perlu berhenti untuk mengusir mereka sampai mati.Kasihan sekali.
Angin berhembus di bukit itu, menerpa wajahnya yang dulu masih sehangat dan secerah mentari. Ada senyum di bibirnya, menghiasi wajahnya yang bagaikan beku, tapi senyum itu tampak semu, tampak berkurang kehangatan dan keceriaannya. Bagaikan kegelapan yang berusaha untuk tersenyum di dalam kesia-siaan.Gadis itu mengangkat tangannya, memperhatikannya, tampak begitu puas akan siapa dirinya yang sekarang. Ia merasa begitu percaya diri dengan pencapaiannya y
Barbara kembali ke markas milik Hugo yang berada di tengah-tengah pedesaan Semendo. Markas itu berupa gudang penyimpanan tua yang sudah lama ditinggalkan. Hampir tidak ada orang yang berani datang ke tempat itu karena rumor-rumor horor yang tersebar di seantero desa.Beberapa yang menganggap diri mereka hebat mencoba masuk dan mencari tahu apakah desas-desus itu benar, tapi mereka tidak akan menemukan apa-apa selain asap gelap di tengah-tengah ruangan y
Malam itu Barbara kembali bermimpi tentang hutan gelap tempat ia bertemu dengan nenek menakutkan. Ia kembali ketakutan di kegelapan hutan itu, tapi ada sesuatu yang tampak berbeda dari mimpi yang sama sebelumnya.Seorang cowok seumuran Barbara tampak berdiri diam di bawah sorot rembulan, bagaikan lampu panggung yang menyorot seorang artis.Barbara mempertajam penglihatannya dan melihat bahwa wajah cowok itu cukup… imut. Sesuatu seperti menggelitik pikirannya, seakan-akan otaknya sedang berusaha mengingat sesuatu. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, ia tak dapat mengingat siapa cowok itu.Cowok itu tiba-tiba menoleh dan menatap Barbara yang langsung terkesiap saat melihatnya. Mata cowok itu berubah menjadi merah dan darah tampak mengalir lambat ke pipi. Ia mengulurkan tangan ke depan seperti akan mengajak seseorang.“Bara, kau dari mana saja?” cowok itu berkata dengan suara parau.Barbara tak bisa mengalihkan pandangannya dari mata
Kami saling menatap dalam diam selama kira-kira semenit penuh, sementara suara benturan beberapa kali terdengar akibat Hugo yang mencoba untuk masuk kembali sebelum suara itu berhenti, seakan Hugo sudah menyerah.“Dia tidak pernah membohongiku, orang asing,” aku akhirnya berkata dengan suara dingin.“Dia memang telah membohongimu, Bara,” balas Saga keras kepala. “Dan aku bukan orang asing.”Suhu tubuhku memanas dengan drastis. Saat aku mendekati Saga, ia mengambil langkah ke belakang, mundur karena kepanasan.Aku mungkin tengah kebingungan dan apa yang telah kulakukan patut dipertanyakan, tapi aku masih cukup waras untuk tidak mempercayai kata-kata cowok di depanku ini secara langsung.“Aku melempar Hugo keluar dari sini bukan untuk mendengarkan tuduhanmu, Saga,” desisku seraya menghentikan langkahku. “Kau tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa mereka membohongiku, sementara orang yang katanya