Semester keduaku dikelas 1 SMA berakhir dengan bayangan Bima di setiap kegiatanku. Entah bagaimana caranya berita tentang aku menyukai Bima beredar dengan cepat ke seantero sekolah. Teman sekelasku, teman sekelas Bima bahkan sampai Bima pun tahu kalau aku suka sama dia. Mungkin karena Bima cukup famous atau bisa jadi karena temanku agak gila, dia suka berteriak-teriak saat kebetulan Bima lewat di depan kami "Bim, nih ada salam dari Tria!" Reka selalu teriak dengan volume yang melebihi speaker. Entah kenapa setiap Reka teriak Bima selalu ada tepat di dekat kami. Kalau itu terjadi, aku hanya diam dan berpura-pura tidak mendengar. Tapi hari seterusnya aku tidak kapok untuk mencari posisi tepat saat melihat Bima dan Reka pun terus dengan kegilaannya berteriak di dekat Bima. Lebih tepatnya saat Bima melewati kami.
Tidak terasa ujian kenaikan kelas sudah di depan mata. Aku takut menghadapi ujian kali ini. Bukan karena aku tidak pernah belajar, tapi karena aku akan sekelas lagi dengan Bima dan antara senang campur bingung jika aku harus duduk sebangku. Aku takut tidak bisa bersikap biasa karena Bima sudah tahu tentang perasaanku dan tentunya teman sekelasnya pun sudah tahu. Aku harus betul-betul menyiapkan mental untuk digoda seluruh isi kelas.
..
Hari pertama ujian aku datang lebih pagi. Hal pertama yang aku lakukan adalah melihat sticker peserta ujian siswa yang akan duduk disebelahku, melekat di meja tempatku duduk. Anthony Wisnu adalah nama yang tertera disitu, puiiih aku lega rasanya karena aku tidak sebangku lagi dengan Bima, tapi disisi lain juga kecewa karena aku tidak akan merasakan kekonyolannya.
Memang benar, ujian kali ini sangat membosankan karena senior disebelahku kali ini tidak seperti Bima. Dia cuek, sombong dan senioritasnya tinggi. Itu membuatku harus mengerjakan ujian Bahasa Inggris dengan hasil sendiri. Ada sedikit penyesalan kenapa aku harus mempunyai rasa suka untuk Bima, seandainya saja aku tidak punya rasa, mungkin aku sekarang akan menengok ke belakang dan meminta Bima untuk menukar soal ujiannya lagi dengan milikku. Seperti dulu.
Sampai hari terakhir tidak ada komunikasi sedikitpun dengan Bima, meskipun hanya sekedar "hai" atau "heh" pun tidak terlontar sama sekali. Selesai ujian Bima langsung keluar kelas tanpa berteriak lagi, aku hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin jauh, sama seperti kemungkinanku untuk berkomunikasi dengan dia. Entah kenapa dia bersikap seperti itu. Mungkin dia kecewa padaku karena sudah membuatnya malu ketika Reka berteriak atau mungkin saja dia tidak mau memberikan harapan padaku.
Aku mengikutinya keluar kelas sambil mengeluarkan handphoneku dari tas. Tanganku memang mencari handphone tapi mataku terfokus melihat Bima yang asyik mengobrol dengan temannya di seberang lorong, terlalu terhanyut aku melihat dia, sampai tidak sadar kalau dia sedang balik melihatku. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke sms yang aku terima.
Ada empat sms masuk dan salah satunya dari Ressa.
Ressa 10.25 : " De, ujiannya bisa gak?" Sms Ressa kala itu cukup menghiburku dari kekecewaan karena tidak bisa berkomunikasi seperti biasa dengan Bima.…
Statusku dan Ressa belum resmi, masih sebatas teman smsan yang cukup rutin. Aku mulai mempunyai sedikit rasa, tapi menjadi samar ketika aku mulai mempunyai rasa pada Bima yang semakin lama semakin kuat meskipun tidak pernah ada komunikasi. Sekarang Bima kelas 3 SMA dan aku naik ke kelas 2. Saking terobsesinya aku pada Bima, aku meminta wali kelas untuk diempatkan di kelas yang sama seperti Bima kelas dua, meskipun akhirnya wali kelas menempatkanku di kelas lain.
Satu tahun lebih aku berhubungan dengan Ressa via sms dan telepon. Kita belum pernah bertemu sama sekali, sampai tepatnya bulan puasa kita janjian ketemu untuk buka puasa bersama. Tempat janjian pertama kita adalah di monument yang terletak di depan salah satu universitas negeri di Bandung.
" Sorry, lama yah nunggunya?' Ressa tergopoh-gopoh menghampiriku yang sudah setengah jam menunggu." Gak apa-apa, darimana dulu emang?" Jawabku memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki orang yang baru pertama kali aku lihat ini." Rumah om, kebetulan di Bandung juga. Hayu langsung cari tempat makan. Bentar lagi maghrib." Dia menarik tanganku tanpa ada rasa ragu.Kita langsung menuju salah satu rumah makan Padang di dekat situ, bangunan dua lantai yang cukup nyaman. Tak jauh dari pintu masuk kita sudah disediakan rangkaian makanan yang menggugah selera dengan ukuran yang tak kalah saing. Kalau saja bukan sedang jaim, mungkin aku akan mengambil lauk-lauk yang berukuran raksasa. Disitulah aku baru mengetahui kalau makanan Padang sudah mendarah daging bagi Ressa, baginya padang mempunyai cerita sendiri.
Untuk kesan pertama Ressa itu makannya sangat banyak, bicaranya tidak pernah disaring sedikit membuatku hilang rasa sementara dan yang pastinya royal karena dia spontan membayar semua makananku. Tak sampai setengah jam kita melahap habis semua makanan di piring, Ressa mengajakku ke salah satu toko buku yang letaknya tepat di depan Mall.
" De, sekarang kan kamu kelas 2, harusnya kamu udah mulai mengerjakan soal-soal ujian biar nanti lebih gampang." Ressa memilih-milihkan buku khusus untuk latihan Ujian Nasional dan memberikannya padaku.
" Kan masih lama mas.?" Aku pergi dari rak buku itu untuk menghindari Ressa membahas mengenai ujian. Aku merasa malas saja, seharusnya dia membahas hal yang lebih menyenangkan dibanding mengguruiku." Biar nanti gak kesulitan aja de, mas juga dulu gitu. Kan bagusnya.." Belum selesai bicara tiba-tiba handphone Ressa berbunyi, dia sedikit menjauh dari aku mungkin teleponnya sedikit pribadi. Aku berkeliling-keliling sendiri sampai speaker memutarkan lagu Welcome the Black Parade dan membuatku menghela nafas panjang. Siapa lagi yang langsung terbayang setiap aku mendengar lagu itu? Sudah pasti Bima.…
Indra, terima kasih sudah mengajarkanku mengenai suatu hal yang bukan namanya cinta atau sayang. Mungkin bisa disebut ketagihan atau nafsu. Kamu mengajarkan aku tentang kenikmatan sesaat meskipun pada akhirnya aku sadar hubungan yang didasari nafsu itu tidak benar. Terima kasih atas pengorbanan kamu, kamu membelikan makanan dengan uang terakhir kamu karena kamu tahu aku kelaparan, kamu meminjam motor teman kamu meski kena marah hanya untuk mengantar aku. Semua itu manis, namun aku tidak membutuhkan hal yang manis tapi membuat aku terlena. Terima kasih dan sorry karena selama bersama kamu. aku tidak pernah mengenal yang namanya sayangRio, you're my best friend now. Aku tidak tahu apa ini cinta, sayang atau sekedar rasa penebusan dosa. Tapi terima kasih, bersama kamu membuat aku tahu bagaimana rasanya mempertahankan sebuah hubungan, kamu membentuk aku menjadi dewasa untuk mengimbangi sifat kamu yang kekanak-kanakan, kamu mengajarkan aku kesabaran saat kamu memilih bermai
"Siap?" Dia mematikan mesin mobil dan memandang ke arahku dengan pandangan mencurigakan yang belum pasti aku tahu artinya. Sepertinya dia akan menjerumuskanku ke dasar kolam atau mempertemukanku dengan makhluk menyeramkan. Begitulah makna pandangannya saat itu. "Untuk?" Tanyaku sedikit heran dan memandangnya kembali, aku sedikit waspada jika seandainya dia akan memberikanku ke penjual manusia. "Turun dan ketemu temanku." Dia membuka pintu mobil dan turun "Kenapa harus nggak siap, kan kamu yang mau ketemu. Aku cuma sandera yang kamu paksa buat nemenin, yuk.!" Aku pun mengikutinya meskipun setengah ragu. Kita berjalan cukup jauh dari tempat mobil berhenti, melewati jalan setapak yang basah karena embun atau mungkin hujan semalam dan beberapa lahan kosong. Cukup sunyi seperti kebanyakan suasana desa di pagi hari. " Rumahnya yang mana? Jauh banget?" Setelah banyak rumah yang kami lewati, bau tanah serta daun yang semakin menusuk dan suasana sunyi cukup me
Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku
8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set
Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran
Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras." Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa