Hari terakhir ujian, aku sampai di sekolah lebih pagi dan standby di bangku. Sepuluh menit sebelum bel masuk, aku masih menyempatkan membaca buku pelajaran Bahasa Inggris karena aku agak kesulitan untuk pelajaran yang satu ini. Aku tidak sepenuhnya fokus memahami setiap materi dari buku yang aku baca, yang aku pikirkan tentang kenapa Bima belum datang juga.
Sampai bel berbunyi Bima belum datang dan aku sedikit kecewa karena hari terakhir ujian dan duduk bersama Bima tapi dia malah tidak datang. Dan kekecewaanku bertambah saat melihat soal ujian yang membuatku baru mampu mengerjakan 5 soal di sepuluh menit pertama." Tok..Tok..Tok" Waktu ujian sudah berjalan lima belas menit ketika ada sesosok yang sangat aku kenal dari rambutnya membuka pintu kelas.
" Maaf bu telat, tadi sudah ijin ke piket. Ini surat ijin masuknya." Bima memberikan surat ijin ke bangku pengawas dan menuju bangkuku, tepatnya bangku disebelahku. Aku berpura-pura fokus pada pekerjaanku, padahal kepala ini sulit sekali untuk ditahan agar tidak melirik kearah Bima.Bima duduk di sebelahku, aroma rokok langsung semerbak di hidungku. Dia adalah perokok, memang bukan contoh yang baik untuk siswa sekarang. Aku tahu mengenai hal itu sejak kuputuskan untuk tertarik padanya dan mulai memperhatikan gerak-geriknya di luar sekolah. Tapi itu tidak mengurangi rasaku sedikitpun.
Sudah lima menit Bima duduk tapi dia hanya memandang lurus ke papan tulis dan tidak melakukan apa- apa. Dia terlihat sedang mengatur nafasnya yang tersengal dan menikmati setiap keringat yang mengucur di dahinya. Kalau aku sudah telat kayak dia, aku pasti akan terburu- buru mengerjakan LJK dan mengejar waktu ketinggalanku. Dengan inisiatif, aku memberikan LJK Bima yang tadi dibagikan pengawas ke depan wajahnya agar dia ingat ada hal yang harus diisi. Bima melirikku dan langsung nyengir, ' Makasih junior baik. hehe"
" Jangan diam aja kang, cepat kerjain nanti keburu waktunya habis." Aku berusaha cuek dan menjawab tanpa menoleh. Padahal ingin sekali aku menghapus keringatnya seperti adegan di film-film. Romantis.
" Iya istirahat dulu sebentar, tadi capek abis dihukum push up 30 kali gara-gara telat." Katanya mulai mengisi kertas didepannya. Aku hanya tersenyum mendengar curhatannya, kunikmati saja "Curhat aja terus Bim, aku dengerin!". Tiga puluh menit kemudian tidak ada tingkah aneh dari seniorku itu, mungkin karena dia mengejar ketinggalan waktu dan sepertinya ujian Bahasa Indonesia tidak terlalu susah bahkan bisa dia kerjakan tanpa membaca soal dua kali. Tapi aku merana kali ini, masih ada sekitar 15 soal yang belum aku kerjakan. Meskipun sudah berulang soalnya aku baca, tetap saja tidak paham apa yang dimaksud soal itu. Aku hanya memegang pipiku sambil memandangi langit-langit dan ke papan tulis, siapa tahu ada inspirasi atau tiba-tiba ada tulisan jawaban disana.
Ditengah- tengah pencarian inspirasi, aku menyempatkan untuk melirik kesebelahku, memperhatikan orang yang mulai menarik perhatianku ini, kupandangi dalam-dalam wajahnya dari samping yang sangat berkarakter, kulitnya yang sawo matang dan hidungnya yang tegas membuatku semakin melayang. ganteng juga. Dia menunduk serius mengerjakan ujiannya, tapi secara tiba-tiba dia menghempaskan tubuhnya ke kursi, memegang rambut dan menarik nafas panjang, lalu melirikku sambil manyun.
" Susaaaah ya" Saat moment itu Bima terlihat seperti anak SD yang disuruh mengerjakan PR. Entah aku terlanjur tertarik atau dia memang selalu terlihat menarik. Tingkahnya itu malah sangat lucu menurutku. Aku tersenyum ke arahnya, terlalu lama sampai hampir tidak menyadari ketika Bima menukar lembarku dengan lembar miliknya.
"Apaan kang?" Tanyaku heran."Aku kerjain punya kamu, kamu kerjain kalimat punya aku. Gimana? Bahasa Inggris aku jago kok.' Katanya langsung menulis sesuatu di lembar yang ditukarnya itu tanpa meminta persetujuan."Sombong". Aku menjawab sambil mengembangkan hidungku dan mulai mengerjakan LJK Bima. Aku sekuat tenaga menajamkan ingatanku tentang materi Bahasa Indonesia yang pernahku pelajari. Meskipun ada beberapa yang aku kerjakan memakai logika atau tepatnya menghitung kancing.Tapi hobiku menulis dan sering membaca buku sastra membuatku beruntung kali ini. Aku serahkan nilaiku kali ini ke Bima begitupun sebaliknya."Teet..Teet..Teet" Bel tanda ujian berakhir sudah berbunyi. Secara kompak aku dan Bima saling melirik dan nyengir. Aku nyengir karena senang bisa kerjasama bareng dia hari ini, kalau Bima tidak tahu kenapa dia nyengir, mungkin dia mengarang bebas saat mengerjakan lembar milikku. Bodo amat.
" Sudah? Sini biar aku yang kumpulin." Bima mengambil LJK dari tanganku dan langsung dikumpulkannya ke depan, dia langsung keluar kelas, kebiasannya berteriak di pintu belum hilang " Sampai ketemu semester depaaan" tapi entah kenapa teriakannya hari ini bukan untukku. Setidaknya teriakan terima kasih atau sampai ketemu lagi. Apa mungkin dia sudah mulai dapat membaca pikiranku yang tertarik padanya? Mungkin saja. Sebagai orang yang cukup famous karena sering bergaul, bisa saja banyak siswa sepertiku yang menyukainya dan dia mulai terbiasa.Ketertarikanku semakin kuat untuk Bima, entah apa yang aku lihat dari dia. Kalau kata teman-temanku dia aneh, mungkin karena mereka hanya melihat rambutnya saja atau stylenya yang diluar kebiasaan anak SMA. Celana seragam abu yang sengaja dikecilkan dibagian bawahnya sedangkan kemeja sekolah dia jahit terlalu pas membentuk badannya. Persis sekali seperti sapu lidi. Padahal kalau dilihat lebih dekat, hampir mirip Bruno Mars. Setelah menyatakan aku tertarik, hari-hariku dipenuhi pikiran tentang Bima, aku lebih bersemangat ke sekolah hanya untuk melihat Bima. Ya, hal yang paling membuatku selalu bahagia menjalani pelajaran di sekolah.
Kamu tidak perlu menjadi apa untuk menarik. Seketika rasa itu datang menyelinap dengan licik. Tak perlu banyak kata berbisik., sedikit saja sudah berhasil membuat semua waktu terusik. Tak perlu jutaan detik. Seminggu. Cukup seminggu Tuhan berikan dan merubah semua tentangmu begitu menggelitik.
Pada saat itu kelasku ada dilantai atas dan jendelanya merupakan akses untuk melihat ke gerbang sekolah. Sebelum masuk sekolah, jam istirahat ataupun saat pulang sekolah, aku selalu nongkrong dijendela berharap Bima lewat. Keberanianku saat itu memang baru melihat dari jauh. Kalau tidak kesiangan datang aku selalu sempat melihat Bima berlari melewati gerbang atau meloncat pagar saat dia telat dan gerbang sudah dikunci. Tidak jarang Tuhan berbaik hati padaku, aku dapat melihat Bima sangat lama saat dia bermain basket di lapangan atau sedang mengikuti pelajaran olahraga. Hari dan jam pelajaran olahraga kelas Bima kucatat di dalam otakku dan setiap hari itu juga aku menukar tempat dudukku menjadi di dekat jendela. Meskipun aku harus menyogok temanku agar mau bertukar tempat.
Indra, terima kasih sudah mengajarkanku mengenai suatu hal yang bukan namanya cinta atau sayang. Mungkin bisa disebut ketagihan atau nafsu. Kamu mengajarkan aku tentang kenikmatan sesaat meskipun pada akhirnya aku sadar hubungan yang didasari nafsu itu tidak benar. Terima kasih atas pengorbanan kamu, kamu membelikan makanan dengan uang terakhir kamu karena kamu tahu aku kelaparan, kamu meminjam motor teman kamu meski kena marah hanya untuk mengantar aku. Semua itu manis, namun aku tidak membutuhkan hal yang manis tapi membuat aku terlena. Terima kasih dan sorry karena selama bersama kamu. aku tidak pernah mengenal yang namanya sayangRio, you're my best friend now. Aku tidak tahu apa ini cinta, sayang atau sekedar rasa penebusan dosa. Tapi terima kasih, bersama kamu membuat aku tahu bagaimana rasanya mempertahankan sebuah hubungan, kamu membentuk aku menjadi dewasa untuk mengimbangi sifat kamu yang kekanak-kanakan, kamu mengajarkan aku kesabaran saat kamu memilih bermai
"Siap?" Dia mematikan mesin mobil dan memandang ke arahku dengan pandangan mencurigakan yang belum pasti aku tahu artinya. Sepertinya dia akan menjerumuskanku ke dasar kolam atau mempertemukanku dengan makhluk menyeramkan. Begitulah makna pandangannya saat itu. "Untuk?" Tanyaku sedikit heran dan memandangnya kembali, aku sedikit waspada jika seandainya dia akan memberikanku ke penjual manusia. "Turun dan ketemu temanku." Dia membuka pintu mobil dan turun "Kenapa harus nggak siap, kan kamu yang mau ketemu. Aku cuma sandera yang kamu paksa buat nemenin, yuk.!" Aku pun mengikutinya meskipun setengah ragu. Kita berjalan cukup jauh dari tempat mobil berhenti, melewati jalan setapak yang basah karena embun atau mungkin hujan semalam dan beberapa lahan kosong. Cukup sunyi seperti kebanyakan suasana desa di pagi hari. " Rumahnya yang mana? Jauh banget?" Setelah banyak rumah yang kami lewati, bau tanah serta daun yang semakin menusuk dan suasana sunyi cukup me
Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku
8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set
Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran
Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras." Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa