Share

Experience

Author: Ghandistri
last update Last Updated: 2021-10-14 21:50:05

Hubunganku dengan Ressa agak sedikit dipaksakan. Aku tidak tahu apa karena aku merasa terlanjur sayang  dia atau hanya sekedar ingin melupakan Bima dan bisa saja karena terlanjur ingin merasakan pacaran yang sebenarnya. Saat itu tidak ada alasan yang paling menonjol.

Aku semakin sering berhubungan dengan Ressa melalui sms dan membuat rasaku semakin kuat. Pernah suatu waktu Ressa tidak menghubungiku selama seminggu. Rasa kangenku memuncak saat itu dan aku sadar kalau aku mulai menyayangi Ressa.

Aku menipu Ressa untuk tahu perasaannya terhadapku seperti apa. Aku mengirim sms ke nomor Ressa dengan nomor baru yang sengaja aku beli, sama seperti ketika aku menghubungi Bima dulu.

Sepertinya sudah menjadi kebiasaan buruk saat aku berpura-pura sebagai orang lain disitu, itu hal yang paling memalukan yang pernah aku lakukan untuk mendapatkan seseorang. Aku sms dia dan mengaku sebagai mantanku. Jam istirahat sekolah waktu yang tepat untuk mengirim sms karena aku tahu pada waku itu Ressa kuliah sore.

Aku 09.11  :" Kamu Ressa ya? Cowok yang lagi dekat sama Tria?" Tanpa berpikir panjang aku mulai mengetik dengan kata-kata licik yang bersumber dari otakku sendiri.

Ressa 09.20  : " Iya, ini siapa?" Hatiku sedikit merasa senang karena ada respon dari Ressa. Dan pesan-pesan selanjutnya tidak terlalu sulit aku karang.

Aku 09.23  :" Kamu jangan coba-coba deketin dia kalau hanya untuk nyakitin, hubungan kamu sama dia belum pasti, jadi aku harap jangan macem-macem."

Ressa 09.26  :" Heh, kamu juga bukan siapa-siapanya, gak berhak ngatur hidup dia ataupun ngatur apa yang harus aku lakukan. Lagian kalau kamu mau dia aman kenapa gak kamu aja yang jagain dia"

Untuk pertama kalinya Ressa pakai Kamu-Aku di sms, seketika aku mulai sadar apa yang sedang kulakukan itu memalukan dan harus aku akhiri. Aku kirim sms terakhir ke Ressa.

Aku  09.56  :" Aku nunggu waktu yang tepat." Entah apa yang terpikir di otakku saat mengirim sms ini, mungkin ingin sekedar memancing Ressa

Ressa 10.00  : " Sama" Balasnya

Setelah mendapat sms balasan dari Ressa, aku membuang kartuku, aku sudah tidak peduli mau bagaimana perasaan Ressa terhadapku. Sudah melakukan hal seperti tadi cukup membuatku terlihat licik. Untuk mendapatkan seseorang dan mengatur semuanya berjalan baik membuatku melakukan segala hal. Mungkin ini efek terlalu banyak menonton drama yang selalu berjalan mulus. Aku pasrah apa yang akan terjadi berikutnya dengan hubunganku bersama Ressa.

Selanjutnya aku smsan seperti biasa. Ressa tidak pernah membahas sekalipun tentang sms tadi pagi. Kita mengganggap itu tidak pernah ada sampai seminggu kemudian ada sms masuk saat aku bersiap-siap untuk tidur.

Ressa 21.01 : " De, sebenarnya mas gak mau terus kayak gini."

Aku  21.05 : " Maksudnya?" Sebetulnya aku paham apa yang dia maksud, sebagai orang yang sering berkhayal dan mengatur skenario jalan hidupku sendiri itu membuatku sedikit banyak bisa membaca jalan pikiran orang lain.

Ressa 21.08 : " Mas senang bisa merasakan punya ade kayak kamu, karena sebagai anak tunggal mas gak tahu rasanya punya ade." Kakak-adean itu hubungan yang klise terjadi sebelum pacaran, sering terjadi pada anak seumuranku.

Aku 21.10 : " Ya makasih, kenapa tiba-tiba bilang gitu?" Dengan cuek aku masih berlatidak bodoh membalas sms Ressa, berlagak seperti itu biar gak ketahuan tentang apa yang sudah aku lakukan sebelumnya.

Ressa 21.18 : " Awal kuliah mas pernah pacaran, namanya Hani. Tapi mas kayak patung di depan dia, hanya dimanfaatin untuk nganterin belanja, bayarin nongkrong dan suka dicuekin kalau dia lagi bareng-bareng sama temannya." Ressa menghela nafas.

Aku  21.20 : " Oya? Kok tega banget sih?" Tidak aneh sebenarnya kalau Ressa yang serius diperlakukan seperti itu. Kalau tidak betul-betul orang yang cocok, bersama Ressa sangat membosankan karena yang dibahasnya selalu tentang belajar dan masa depan.

Ressa 21.28 : " Itu kejadiannya sudah hampir setahun, waktu mas awal kuliah. Makanya mas agak males pacaran. Mas hanya merasa kalau semua perempuan itu hanya manfaatin doang, lebih nyaman sama teman-teman dan teman juga tidak semuanya baik. Kadang mereka datang saat ada butuhnya doang." Agak sedikit tersinggung aku membaca sms yang ini tapi aku sengaja tidak membalas karena aku merasa Ressa sedang butuh share, bukan dinasihati atau diskusi.

Ressa 21.30 : "Mas komitmen sama diri sendiri tidak akan pacaran dulu sampai lulus kuliah, tapi namanya juga manusia kadang ingkar sama komitmennya sendiri." Aku tidak merespon, sedikit was-was mendengar pernyataannya itu. Kemungkinan Ressa akan menjadi pacarku semakin mengecil.

Ressa 21.35 : "Kamu mau jadi cewek mas? Sorry kalau pertanyaan mas ini akan merusak hubungan yang sudah ada, apapun jawaban kamu, mas berharap kita akan seperti biasanya."

Binggo, bener kan apa yang aku maksud? Meskipun bisa ditebak, tetap aja sedikit kaget.

Aku  22.00 : " Yes, I want. Love you, good night." Tidak berpikir panjang lagi langsung aku menerima, lah emang ini kok yang aku mau.

….

Minggu pagi aku dibangunkan oleh dua sms masuk yang salah satunya berasal dari nomor tanpa nama tapi aku hafal betul nomor siapa itu.

Ressa 06.21 : " Morning and Happy Sunday darling, im sorry I can't hangout with you in this weekend. Have a nice day :*"

0857234----- : " Rasa dan obsesi berbeda tipis, obsesi hanya sebuah keinginan yang akan hilang ketika tercapai. Rasa akan datang karena kenyamanan. Kenali saja rasa saat ini berasal darimana."

Tak ada satupun yang aku balas, berkali-kali Ressa mengirim sms sepanjang hari tapi yang ada di benakku hanya pengirim sms terakhir, Bima. Sms Ressa lebih dari romantis tapi hambar. Mungkin ini yang dibilang obsesi yang dimaksud sms Bima tadi, atau mungkin secara tidak langsung dia menginginkanku sadar kalau perasaanku untuk dia hanya obsesi. Aku hanya berusaha meyakini kemungkinan yang kedua.

Ressa dan Bima sejenis namun tak sama. Bagaimana bisa aku menginginkan keduanya sedangkan aku tak mengenal tentang apapun mengenai mereka? Aku selalu menganggap mereka indah karena belum menyelam lebih dalam. Keinginanku untuk menyelami mereka lebih kuat dibanding ketakutanku untuk tenggelam. Biarlah tenggelam ketika aku sudah puas merasakan kerasnya karang dan dalamnya lautan dalam. Matiku pun tak akan penasaran karena aku telah puas merasakan dahsyatnya buatan Tuhan. Begitulah kira-kira rasaku. Puitis

Aku berusaha menekan dalam-dalam rasaku untuk Bima, meskipun sering muncul saat ada hal yang mengingatkanku akan kekonyolannya. Hubunganku dengan Ressa berjalan masih sebatas sms dan telepon, aku anggap itu wajar, sewajar usahaku yang masih berusaha menguatkan rasa untuknya. Dan akhirnya bisa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wait At 24   For My Moment

    Indra, terima kasih sudah mengajarkanku mengenai suatu hal yang bukan namanya cinta atau sayang. Mungkin bisa disebut ketagihan atau nafsu. Kamu mengajarkan aku tentang kenikmatan sesaat meskipun pada akhirnya aku sadar hubungan yang didasari nafsu itu tidak benar. Terima kasih atas pengorbanan kamu, kamu membelikan makanan dengan uang terakhir kamu karena kamu tahu aku kelaparan, kamu meminjam motor teman kamu meski kena marah hanya untuk mengantar aku. Semua itu manis, namun aku tidak membutuhkan hal yang manis tapi membuat aku terlena. Terima kasih dan sorry karena selama bersama kamu. aku tidak pernah mengenal yang namanya sayangRio, you're my best friend now. Aku tidak tahu apa ini cinta, sayang atau sekedar rasa penebusan dosa. Tapi terima kasih, bersama kamu membuat aku tahu bagaimana rasanya mempertahankan sebuah hubungan, kamu membentuk aku menjadi dewasa untuk mengimbangi sifat kamu yang kekanak-kanakan, kamu mengajarkan aku kesabaran saat kamu memilih bermai

  • Wait At 24   Kusisipkan Namamu

    "Siap?" Dia mematikan mesin mobil dan memandang ke arahku dengan pandangan mencurigakan yang belum pasti aku tahu artinya. Sepertinya dia akan menjerumuskanku ke dasar kolam atau mempertemukanku dengan makhluk menyeramkan. Begitulah makna pandangannya saat itu. "Untuk?" Tanyaku sedikit heran dan memandangnya kembali, aku sedikit waspada jika seandainya dia akan memberikanku ke penjual manusia. "Turun dan ketemu temanku." Dia membuka pintu mobil dan turun "Kenapa harus nggak siap, kan kamu yang mau ketemu. Aku cuma sandera yang kamu paksa buat nemenin, yuk.!" Aku pun mengikutinya meskipun setengah ragu. Kita berjalan cukup jauh dari tempat mobil berhenti, melewati jalan setapak yang basah karena embun atau mungkin hujan semalam dan beberapa lahan kosong. Cukup sunyi seperti kebanyakan suasana desa di pagi hari. " Rumahnya yang mana? Jauh banget?" Setelah banyak rumah yang kami lewati, bau tanah serta daun yang semakin menusuk dan suasana sunyi cukup me

  • Wait At 24   My 24

    Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku

  • Wait At 24   I Know You

    8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set

  • Wait At 24   About Life

    Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran

  • Wait At 24   Komitmen

    Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras." Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status