Share

Part 12 Serius 1

last update Last Updated: 2023-07-04 19:00:34

"Kamu serius, Nduk?" tanya Budhe Tami.

Melati mengangguk mantap. Kemudian menceritakan serentetan peristiwa dalam beberapa hari ini. Sepulangnya dia dari rumah budhenya empat hari yang lalu.

"Budhe ganti baju dulu." Wanita itu masuk ke dalam rumah.

Sementara Melati memperhatikan sekeliling. Di sebelah rumah budhe, ada rumah lama yang masih sangat terawat. Melati melangkah ke sana. Ke rumah peninggalan kedua orang tuanya. Walaupun banyak dindingnya yang sudah mengelupas, tapi rumah itu selalu bersih dari dedaunan kering dan rumput liar. Tiap malam lampu juga dinyalakan.

Melati hanya berdiri di emperan. Memperhatikan rimbunan bunga melati di halaman depan dan samping sebelah kanan rumah. Mungkin nanti setelah bercerai dia akan kembali menempati rumah itu. Bisa juga menemani budhenya. Atau merantau jauh untuk sementara. Mencari bekal untuk masa depannya juga Moana.

Dihelanya napas panjang. Beberapa hari ini dia sudah memikirkannya. Nara sudah ketemu. Dan dia sering mendengar Akbar menelpon diam-diam. Daya pikat perempuan itu begitu hebatnya, sampai ia tak mampu menandingi. Bahkan permintaannya yang setengah mengancam pun tak membuat suaminya berhenti. Membuatnya mantap untuk mengambil sikap.

Mungkin perceraiannya kali ini tidak segampang yang ia bayangkan. Namun sudah bertekad untuk menempuhnya. Daripada mempertaruhkan sepanjang hidup dalam hubungan seperti ini, yang ia yakin tak akan sanggup menjalani.

"Mel, ayo, Nduk!" ajak Budhe Tami yang sudah rapi memakai gamis warna pastel dan mengunci pintu rumah.

Melati memboceng wanita itu melaju ke arah utara, ke desa sebelah. Ke rumah rekan guru Budhe Tami.

Tidak butuh waktu lama mereka sampai di rumah besar milik Bu Guru Romlah.

Seorang wanita yang tengah menunggui anak kecil bermain, memandang ke arah pagar. Perempuan seusia Budhe Tami langsung berdiri dan tersenyum bahagia. Usia senja, bertemu teman lama adalah sebuah kejutan.

"Bu Tami, MasyaAllah. Hari ini saya kedatangan tamu agung. Mari masuk." Bu Romlah membuka pintu pagar. Budhe Tami yang sudah turun dari boncengan segera menghampiri rekannya. "Assalamu'alaikum," ucapnya.

"Wa'alaikumsalam."

Kedua wanita itu berpelukan. Melati masuk dan memarkir motornya di dekat taman. Dia mencium tangan Bu Romlah. "Nduk, apa kabar? Udah lama ya, kita nggak pernah bertemu."

"Alhamdulillah, saya sehat, Bu," jawab Melati sambil tersenyum.

"Mari masuk. Beginilah tiap hari kerjaan saya momong putu, Bu," ujar Bu Romlah seraya mengajak tamunya masuk rumah. Membiarkan anak perempuan umur empat tahun itu bermain pasir di dekat teras.

"Kalau saya tiap hari ya angon ayam, Bu."

Dua wanita itu terkekeh. Budhe Tami memang tidak mempunyai anak dalam pernikahannya. Setelah sang suami meninggal pun dia memilih hidup sendiri, tidak mau cari pengganti. Berharap kelak bisa berkumpul lagi di surga-Nya. Bagi wanita itu, Melati sudah seperti anak baginya. Sejak Melati umur lima belas tahun, dialah yang merawatnya.

"Ada perlu apa, Bu Tami? Njanur gunung pagi-pagi ke sini?" tanya Bu Romlah ramah. Heran karena mereka memang jarang saling mengunjungi. Sudah sepuh, jadi sama-sama tidak berani bawa motor sendiri. Dulu masih sering bertemu ketika ambil uang pensiun, tapi sekarang jarang, karena ada petugas dari kantor Pos yang mengantarkan uang pensiun ke rumah-rumah para pensiunan yang sudah sepuh.

"Begini lho, Bu. Saya nganterin Melati untuk bertemu Nak Yuli. Mau ada perlu sedikit."

Bu Romlah memandang serius pada Melati dan Budhe Tami. "Ada masalah apa?" tanya wanita itu heran. Sebab anak sulungnya itu pengacara, jadi tiap ada orang yang mencarinya pasti sedang ada masalah.

"Mau konsultasi dan minta bantuannya. Nak Yuli di rumah to, Bu?"

"Ada, kebetulan belum berangkat ke kantor. Tadi jemur pakaian di belakang. Sebentar saya panggilkan." Bu Romlah melangkah ke dalam. Masuk seorang perempuan muda yang menyuguhkan minum dan mempersilakan Budhe Tami dan Melati untuk meminumnya.

Lima menit kemudian muncul wanita dengan rambut sebahu, berjalan di belakang Bu Romlah. Dia langsung mencium tangan rekan ibunya dan Melati.

Wanita bernama Yuli itu bertanya kabar pada Budhe Tami. Berbasa-basi sejenak, lantas menanyakan maksud tujuan Melati ingin bertemu dengannya.

Melati menceritakan permasalahan yang dihadapi. Jujur apa adanya. Tidak menambahi atau malah mengurangi. Tujuannya bertemu dengan wanita itu memang ingin meminta bantuan. Jadi tidak perlu ada yang ditutupi.

"Boleh saja istri menggugat cerai pada suaminya dengan syarat dan alasan yang jelas. Bahkan karena alasan tidak bahagia pun, seorang istri diperbolehkan menggugat cerai. Namun harus disertai bukti yang kuat. Karena suaminya berpoligami, berzina, menjadi pemabok, pemadat, penjudi, KDRT, tidak memberikan nafkah lahir batin dalam batas waktu yang sudah ditetapkan, antara suami istri terjadi perselisihan terus menerus, dan karena suami masuk penjara untuk jangka waktu yang lama." Yuli memberikan penjelasan.

"Dan seorang istri boleh menggugat cerai secara diam-diam tanpa sepengetahuan suami. Tapi ya itu, Dek. Harus menyertakan bukti yang kuat."

"Saya nggak punya bukti konkret, Mbak. Bahkan chat dia dengan perempuan itu pun cuma saya baca saja. Dia juga nggak melakukan KDRT pada saya. Masih memberikan nafkah lahir dan batin. Saya juga sudah menyetujui dia untuk menikah lagi. Dan dia juga bilang nggak akan menceraikan saya. Tapi jujur, saya nggak sanggup, Mbak Yuli."

"Ya, saya paham permasalahan kamu. Saya juga paham perasaanmu. Tidak semua perempuan bisa hidup bermadu. Kamu menandatangani surat persetujuan suami menikah lagi juga karena ada tekanan. Apalagi ibu mertua Dek Melati juga mendukung anaknya menikah lagi. Terus hubungan kalian juga nggak begitu baik. Oke, saya akan bantu kamu semaksimal yang saya bisa, kalau kamu memang mantap untuk berpisah. Memang nggak akan mudah, tapi kita akan berusaha bersama-sama."

"Makasih, Mbak."

"Nanti persiapkan dokumen untuk persyaratan mengajukan gugat cerai, ya. Antar pada saya secepatnya. Biar segera saya proses." Perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu memberitahu apa saja persyaratan yang harus disiapkan oleh Melati.

Dia sudah beberapa kali menangani kasus kliennya karena pihak suami berpoligami, tapi secara diam-diam. Kalau kasusnya Melati, sang suami jelas minta izin dan Melati sudah menyetujui. Namun tidak ada yang mustahil untuk diselesaikan, apalagi kondisi Melati sangat tertekan.

"Besok saya antarkan persyaratannya, Mbak."

"Oke, saya tunggu pagi begini ya. Sebelum saya berangkat ke kantor."

"Ya."

"Berapa nomer telponmu?" Yuli meraih buku catatan dan bolpoin yang ada di meja sebelah sofa. Melati menyebutkan sederetan nomer ponselnya.

Setelah dirasa cukup untuk berbincang, Budhe Tami dan Melati pamitan. Perempuan itu mengantarkan budhenya pulang ke rumah.

"Kamu nggak mampir sarapan dulu?" tanya Budhe Tami setelah turun dari motor.

"Makasih, Budhe. Saya sudah sarapan tadi. Saya mau langsung ke perkebunan saja, nanti Saga nungguin saya. Sebab sore nanti waktunya karyawan gajian."

"Saga tahu kamu mau mengurus surat perceraian?"

Melati menggeleng. "Saya nggak cerita pada siapa pun, selain sama Budhe."

"Yo, wis. Sebaiknya nggak usah ngasih tahu siapa-siapa, sampai Akbar sendiri mendapatkan surat gugatan dari pengadilan."

"Iya. Kalau gitu saya kembali kerja. Makasih banyak, Budhe sudah mengantarkan saya ke Mbak Yuli."

"Wis to, nggak usah bilang gitu. Dari beberapa bulan yang lalu pun budhe sudah bilang siap bantuin kamu. Nggak usah khawatir, Nduk. Kamu itu anaknya budhe, mbok sing biasa ae sama budhe." Bu Tami bicara sambil mengelus punggung Melati. Keponakan yang sangat sopan dan menghormatinya.

"Menjadi janda bukan aib. Kamu juga masih muda, langkahmu masih panjang. Percayalah, Nduk. Pasti kamu akan menemukan kebahagiaanmu."

Melati mengangguk. Menahan diri agar jangan sampai menangis. Supaya Saga tidak curiga. Wanita itu meraih tangan budhenya untuk dicium, lantas pamitan dan kembali ke perkebunan.

***LS***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Izzan yusuf
aaah bagus ceritanyaaaa
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
semangat Melati...
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
bagus melati
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Waktu yang Hilang (Setelah Dia Hadir di Antara Kita)   Part 173 Best Moment 2

    Saga meletakkan ponsel di jok samping. Beberapa kali membunyikan klakson tapi juga percuma. Kemacetan sudah memanjang mulai dari depan. Macet total karena ada perbaikan jalan. Bisa jalan hanya bergerak maju sendikit, lantas berhenti lagi.Sabar sabar. Ini bukan di film India yang dia bisa meninggalkan mobilnya di sana dan lari secepat Cetah yang melompat dari mobil ke mobil lainnya, bahkan melangkahi bangunan tinggi. Adegan film yang rasanya sangat mustahil dan tidak masuk akal itu, ingin rasanya di tiru saat ini.Melihat ponselnya kembali berpendar, membuat Saga menyambar benda itu. "Halo, Sayang. Bagaimana?""Aku sudah sampai rumah sakit, Mas. Barusan di periksa dokter.""Lalu ....""Ternyata ini sudah bukaan lima. Dan aku bisa lahiran normal.""Loh, katanya beresiko kalau lahiran normal? Mana dokternya biar mas ngomong sama dia.""Dokternya sudah kembali ke kantor. Katanya nggak apa-apa aku lahiran normal. Barusan di cek semua baik-baik saja. Tensiku juga normal. Mas, jangan khawati

  • Waktu yang Hilang (Setelah Dia Hadir di Antara Kita)   Part 172 Best Moment 1

    Waktu yang Hilang- Best MomentSaga membantu Melati menyiapkan segala perlengkapan untuk persalinan Minggu depan. Dokter kandungan sudah menyarankan supaya Melati melahirkan secara cesar saja untuk persalinan bayi kembarnya. Melati menolak, tapi Saga memintanya untuk menyetujui. Mengingat dua bulan terakhir ini Melati dua kali opname karena demam tinggi. Minggu depan genap 38 minggu usia kehamilannya. Dokter kandungan sudah menetapkan jadwal operasi untuknya.Kedua janinnya sehat. Masing-masing memiliki plasenta dan air ketuban. Jadi sudah siap dilahirkan di Minggu ke 38."Budhe Tami sampai sini sekitar jam setengah tiga sore, Mas. Tadi siang beliau ngabari," kata Melati sambil melipat baju yang hendak di masukkan ke dalam travel bag."Oke, besok mas akan pulang lebih awal dan langsung jemput budhe ke stasiun."Budhe Tami memang akan menemani Melati pada persalinan nanti. Rencananya wanita itu akan tinggal di Jogja sampai si kembar umur selapan."Mulai besok nggak usah lama-lama di

  • Waktu yang Hilang (Setelah Dia Hadir di Antara Kita)   Part 171 Gama dan Perempuan Itu 2

    Melati tersenyum. Jagoan kecilnya sudah tebar pesona. Melihat Shaka, ia jadi teringat masa kecil suaminya. Begitulah Saga waktu kecil. Tapi Shaka memang lebih bersih dan terawat, karena jarang bermain di kebun. Kalau Saga dulu, keluyuran di kebun sampai kulitnya lecet-lecet. Berenang di kali bersama teman-teman, termasuk dirinya juga. Melati paling kecil di antara mereka."Kenapa senyum-senyum?" senggol Saga."Aku ingat masa kecilmu, Mas."Saga hendak menggoda sang istri, tapi mereka dikejutkan oleh suara salam dari pintu depan."Itu Gama datang!" Bu Ariana bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang tamu. Wanita itu tercekat sejenak saat melihat Gama datang bersama seorang wanita tinggi semampai. Memakai celana bahan warna krem dan blouse warna putih. Diakah pacar Saga? Gadis itu tersenyum ramah dan mencium tangan Bu Ariana. "Selamat malam, Tante.""Selamat malam.""Namanya Alita, Bulek." Gama memperkenalkan gadis itu pada sang bulek. Membuat Bu Ariana kaget, tapi tidak menunjukkan

  • Waktu yang Hilang (Setelah Dia Hadir di Antara Kita)   Part 170 Gama dan Perempuan Itu 1

    Waktu yang Hilang- Gama dan Perempuan ItuAkbar melongok ke luar jendela. Meninggalkan sejenak laptopnya untuk melihat apa yang tengah dilakukan oleh Moana dan Shaka di luar sana.Tampak dua bocah itu sedang duduk di bawah pohon mangga. Bermain masak-masakan. Moana menuangkan sesuatu dari teko kecil ke dalam cangkir mainan. Shaka lantas pura-pura meminumnya. "Manis?"Shaka mengangguk-angguk. Moana kemudian memberikan piring kecil berisi biji-bijian. "Di makan, ya!"Bocah laki-laki itu mengikuti perintah sang kakak. Pura-pura memakan benda di piring kecil yang sama sekali memang tidak boleh di konsumsi.Pertama kali diajak bermain masak-masakan oleh Moana, Shaka sempat bingung. Dia tidak pernah bermain seperti itu, bahkan melihatnya pun belum pernah, karena mainannya di rumah hanya mobil-mobilan, robot, puzzle, dan buku mewarnai.Akbar tersenyum melihat tingkah mereka. Bahagia karena mereka sangat rukun. Shaka juga penurut. Dia juga kerasan tinggal di Malang. Tapi di Jogja sana, Saga

  • Waktu yang Hilang (Setelah Dia Hadir di Antara Kita)   Part 169 Terbongkarnya Rahasia 2

    Sebenarnya Melati berharap kalau Moana yang akan tinggal di Jogja selama liburan. Ternyata Shaka yang justru ingin ikut ke Malang. Baik Saga maupun Melati hanya khawatir kalau anak itu tiba-tiba rewel dan minta pulang. Sebab selama ini jarang sekali berjauhan dari kedua orang tuanya. Paling seharian main ke rumah Bu Ariana dan sorenya sudah di antar pulang."Lasmi kamu suruh ikut?""Ya, Bulek. Mak Lasmi sendiri juga pengen ke Malang.""Uti bakalan kangen sama kamu." Bu Ariana mengusap kepala Shaka."Uti, mau ikut?" Ah, malah ditawari pula."Enggak. Uti nunggu Shaka di sini saja."Bu Ariana mengusap permukaan perut Melati. "Kemarin jadi pergi ke dokter?""Ya.""Cowok apa cewek?""Cowok lagi dua-duanya," jawab Melati sambil tersenyum."MasyaAllah. Moana bakalan cantik sendiri."Melati tersenyum. Akbar yang duduk tidak jauh dari mereka mendengar jelas percakapan itu. Dia juga tidak sabar ingin segera melihat bayi kembar Melati lahir ke dunia. Dalam hati turut juga merasakan kebahagiaan i

  • Waktu yang Hilang (Setelah Dia Hadir di Antara Kita)   Part 168 Terbongkarnya Rahasia 1

    Waktu yang Hilang- Terbongkarnya Rahasia "Aku paham bagaimana perasaan Mbak Melati, Mas. Dulu saja dia sempat stres saat berpisah dengan Moana, setelah kalian resmi bercerai." Tini berusaha memberikan pengertian pada Akbar. Sebab dia tahu betul bagaimana sedihnya Melati kala itu."Kamu tahu?""Ya, aku tahu." Tini menarik diri dan duduk tegak menghadap sang suami. "Maafkan aku. Dulu aku diam-diam membalas pesan yang dikirimkan Mbak Melati. Hampir tiap saat aku mengirimkan foto kegiatan Moana."Akbar juga menegakkan duduknya. Serius mendengarkan istrinya bicara. Baru kali ini ia tahu kenyataan yang sudah lewat kurang lebih empat tahun yang lalu."Aku nggak sampe hati melihat Mbak Melati menangis setiap hari dan menderita, Mas. Tiap malam telepon aku dengan suaranya yang serak. Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya berpisah dari anak. Aku saja yang hanya pengasuh Moana, selalu terbayang-bayang jika aku izin pulang. "Dia cerita mengalami hal tersulit setelah meninggalkan Wonosari. Data

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status