Share

Wanara
Wanara
Penulis: CahyaGumilar79

Datangnya Musim Siak

Di pulau Jowaraka, tepatnya di wilayah kerajaan Rawamerta. Setiap malam pergantian musim Siak, para penduduk di wilayah kerajaan tersebut, selalu menyambutnya dengan menabuh kentongan. Mereka bergembira ria menyongsong datangnya waktu pergantian musim tersebut, Siak yang berarti sebuah keberuntungan.

"Ayo, keluarlah!" teriak seorang pemuda sambil menabuh kentongan diikuti oleh pemuda-pemuda desa lainnya. Sehingga para penduduk yang sudah terlelap tidur pun menjadi terbangun, ikut berbaur dan bergembira ria merayakan pertanda akan datangnya musim Siak.

Menurut kitab kuno dari kerajaan Rawamerta, musim Siak ditandai dengan munculnya awan hitam di angkasa, yang berbentuk seperti seekor naga raksasa sedang menelan bulan purnama, sehingga bumi akan berubah gelap gulita, karena bulan terhalang awan yang dipercaya sebagai jelmaan naga raksasa.

Seketika bintang Sangkuti akan muncul dari arah timur. Oleh karena itu, maka penduduk pun percaya kalau pergantian musim sudah tiba, dan wilayah mereka akan segera mengalami musim Siak–musim penghujan di ujung tahun.

"Guru, bangunlah! Lihat di langit sana, ada bintang Sangkuti sudah muncul!" ucap seorang pemuda tampak riang menyambut kemunculan bintang Sangkuti yang menandakan akan datangnya musim Siak yang konon selalu membawa keberkahan bagi penduduk di pelosok wilayah kerajaan tersebut.

Orang tua itu pun terbangun dan segera bangkit dari tempat pembaringannya. Lalu, ia pun menjawab lirih, "Ya, aku sudah melihatnya di jendela kamarku," jawabnya sambil berdiri di balik jendela kamar, dua bola matanya terus mengamati kemunculan bintang Sangkuti yang memancar terang di arah timur langit wilayah kerajaan Rawamerta.

Masa kemunculan bintang Sangkuti itu bisa dijadikan patokan pula akan datangnya permulaan musim hujan, dan menjadi waktu yang sangat tepat untuk bercocok tanam bagi para petani di wilayah kerajaan tersebut.

Pemuda itu adalah Wanara dan orang tua yang ada di dalam kamar adalah Ki Ageng Jayamena yang merupakan seorang tokoh masyarakat yang sangat dihormati di desa tersebut.

Wanara segera melangkah ke arah kamar Ki Ageng Jayamena. Kemudian, Wanara mengetuk pintu tersebut, 'Tok! Tok! Tok!'

Ki Ageng pun menyahut dari dalam kamarnya, "Masuklah!" perintahnya lirih.

"Guru saja yang keluar! Aku tidak berani masuk ke dalam kamarmu!" jawab Wanara kembali melangkah dan duduk di sebuah kursi yang ada di ruang tengah rumah tersebut.

"Buatkan aku kopi, nanti aku segera keluar!" pinta Ki Ageng.

"Iya, Guru." Pemuda berwajah tampan itu bangkit dan segera melangkah menuju ruang dapur.

Setelah berada di ruang dapur, ia segera meraih kantung yang biasa dijadikan tempat penyimpanan kopi dan gula. Setelah kantung itu dibuka, tak ada sedikitpun kopi atau gula yang tersimpan di dalamnya.

Berteriaklah Wanara, "Guru! Tidak ada kopi ataupun gula di sini! Di mana Guru menyimpannya?" tanya Wanara bersuara keras.

Kemudian, Ki Ageng pun keluar dari dalam kamar dan segera menyahut, "Pejamkan matamu dan tarik napas dalam-dalam!" perintah Ki Ageng balas berteriak. "Setelah itu, kau buka matamu!" tambahnya sambil melangkah keluar menuju beranda rumah.

"Yang aku tanyakan tentang kopi dan gula. Kenapa, malah disuruh menarik napas dan menutup mata," umpat Wanara bingung.

Meskipun demikian, Wanara tetap mematuhi perintah gurunya, karena sudah merasa percaya dan yakin akan kelinuhungan ilmu yang dimiliki oleh Ki Ageng Jayamena. Maka, Wanara pun segera melaksanakan perintah tersebut. Perlahan, ia mulai merapatkan kedua bola matanya dan menarik napas dalam-dalam.

Beberapa menit kemudian, Wanara kembali membuka matanya. Ia sungguh terkejut ketika melihat bubuk kopi dan gula ganting sudah tersedia di atas meja yang ada di hadapannya.

"Ya, Dewata agung! Kenapa bukan emas yang muncul?" gumam Wanara tersenyum-senyum sendiri.

Lantas ia pun segera meraih kopi bubuk dan gula ganting itu, Wanara segera menyeduh kopi tersebut. Kemudian menumbuk gula ganting secara halus dan dilebur menjadi satu, lalu dimasukan ke dalam gelas keramik. Setelah diaduk rata terciptalah aroma wangi khas dari kopi tersebut.

"Guruku pasti suka dengan kopi racikanku ini," desis Wanara meraih gelas yang sudah berisi kopi panas, dan langsung membawanya keluar.

Setibanya di hadapan sang guru, Wanara langsung meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan gurunya.

"Ini kopinya, Guru!" kata Wanara lirih.

Ki Ageng tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lalu, memerintahkan Wanara untuk duduk, "Duduklah!" pinta Ki Ageng tersenyum-senyum memandang wajah muridnya.

Tanpa banyak bicara, Wanara langsung duduk di hadapan gurunya. Berkatalah Ki Ageng sembari menatap wajah sang murid, "Kau tentu belum tahu, apa makna di balik kemunculan bintang Sangkuti dan datangnya musim Siak?" tanya Ki Ageng meluruskan pandangannya ke wajah Wanara.

"Aku tidak paham akan hal itu, yang aku tahu hanya pertanda musim hujan saja, Guru," jawab Wanara tidak berani memandang lama wajah gurunya. "Apa ada yang lain selain itu, Guru?" sambung Wanara sedikit mengangkat wajah.

"Kitab kuno Jowaraka telah menerangkan berdasarkan dari sejarah ribuan tahun silam. Di dalam kitab tersebut dijelaskan kejadian sebagai berikut, hawa dari atas turun ke bawah, sebaliknya yang di bawah naik ke atas. Sehingga kedua hawa tersebut bersatu dan menciptakan kegelapan karena gumpalan awan tebal yang dipercaya oleh nenek moyang kita sebagai jelmaan seekor naga," tutur Ki Ageng menjelaskan.

Wanara mengerutkan keningnya, lalu bertanya, "Apakah itu benar-benar jelmaan naga raksasa, Guru?"

"Sebenarnya itu bukanlah jelmaan naga. Menurut Ki Buyut Sarmi, bahwa itu merupakan sekumpulan air laut yang dibawa oleh tiupan angin menuju angkasa raya, dan hinggap di sebuah gumpalan awan sehingga dapat merubah bentuk dan warna awan tersebut, menjadi hitam dan menyerupai bentuk naga raksasa," jawab Ki Ageng menjelaskan.

Wanara mengangguk-anggukkan kepala. Lantas, ia pun kembali bertanya, "Maaf, Guru. Kalau yang dinamakan bintang Sangkuti itu apa, yah?"

Ki Ageng tersenyum-senyum dan langsung menjawab pertanyaan dari muridnya itu, "Makna dari kalimat Sangkuti ialah, sebuah keberkahan. Jika diartikan dalam bahasa Merta bermakna pertolongan Dewa, atau limpahan rezeki. Itu berdasarkan keterangan dalam kitab kuno Jowaraka."

Wanara menyimak dengan baik penuturan dari gurunya, ia pun baru paham ternyata apa yang sudah diceritakan oleh gurunya itu. Memang benar adanya, sesuai yang dirasakan oleh penduduk kerajaan Rawamerta, bahwa kemunculan bintang Sangkuti merupakan kabar baik yang akan membawa harapan untuk rakyat.

Beberapa saat kemudian, langit menjadi terang kembali, bumi menjadi terasa sejuk dan tenang. Gumpalan awan hitam yang bergelayut tebal di angkasa hilang tertiup angin.

Pada saat itulah, Ki Ageng segera mengajak Wanara untuk berangkat ke sebuah lembah yang berada di tengah hutan tidak jauh dari desa tersebut.

Ketika mereka sudah tiba di lembah itu. Berkatalah Ki Ageng kepada Wanara, "Tahukah kau dengan nama lembah ini?"

Wanara mengerutkan kening dan bergeleng-geleng, ia sungguh tidak mengenal nama lembah tersebut. Bahkan, kala itu ia baru pertama kali datang ke tempat tersebut.

"Aku tidak tahu, Guru. Ini adalah awal aku menginjakkan kaki di tempat ini."

Ki Ageng tersenyum, kemudian menjelaskan tentang nama dan seluk-beluk tentang lembah tersebut, "Ini adalah Lembah Kober, yang artinya sebuah lembah kuburan. Pada saat terciptanya lembah ini, banyak hewan berkaki empat dan hewan berkaki dua, segala macam makhluk hidup di alam dunia, termasuk manusia yang mempunyai kesempurnaan telah tewas oleh segerombolan harimau buas. Ini terjadi puluhan abad silam," terang Ki Ageng menuturkan.

"Harimau buas?!" kata Wanara menatap wajah gurunya sambil mengerenyitkan kening.

"Iya, harimau dengan jumlah yang sangat banyak, yang tiba-tiba datang dan menyerang manusia dan hewan lainnya," terang Ki Ageng.

Kemudian, Wanara bertanya lagi dengan penuh rasa penasaran, "Lantas siapakah yang membasmi sekelompok harimau buas tersebut, sehingga bumi kembali damai?"

"Yang menciptakan kedamaian itu adalah Raden Merta Jaya, ia seorang pendekar sakti pada zaman dahulu. Konon menurut sejarah peradaban pulau Jowaraka, Raden Merta Jaya merupakan titisan Dewa Petir," jawab Ki Ageng lirih.

Demikianlah, apa yang dituturkan oleh Ki Ageng Jayamena semua berdasarkan apa yang tertulis di sebuah kitab kuno yang menjadi kepercayaannya.

Penduduk pulau Jowaraka sangat bersyukur terhadap usaha yang sudah dilakukan oleh Raden Merta Jaya yang telah membuka kedamaian, sehingga terbentuklah sebuah kerajaan besar yang dinamakan kerajaan Rawamerta yang hingga kini tetap berdiri kokoh dan menguasai seluruh wilayah pulau Jowaraka.

Nama dari kerajaan tersebut, sengaja diambil dari nama Raden Merta Jaya sebagai bentuk penghormatan terhadapnya, yang merupakan tokoh utama kedamaian di bumi Jowaraka.

*****

Note:

Cerita ini hanya fiktif belaka, tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah dan kejadian nyata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status