Share

Perjalanan Wanara

Beberapa tahun kemudian....

Ketika Wanara sudah menginjak usia 23 tahun. Ia mengajukan permohonan kepada gurunya, untuk melakukan perjalanan jauh ke wilayah kerajaan Jantara yang berada di sebrang lautan.

Wanara berniat untuk mencari kitab kuno yang dinamakan kitab Jala yang konon di dalam kitab tersebut terdapat banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa membuat pemiliknya akan menjadi seorang kesatria pilih tanding. Jika dapat mempelajari dengan baik kitab tersebut, dan kitab Jala akan menjadikan pengamalnya menjadi seorang pemimpin terhebat di jagat raya.

"Maaf, Guru. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Guru," ucap Wanara berkata kepada Ki Ageng Jayamena.

"Tentang apa, Wanara? Katakan saja!" sahut Ki Ageng Jayamena.

"Izinkan aku untuk melakukan perjalanan jauh menuju kerajaan Jantara, aku berkeinginan mencari tahu tentang kitab kuno itu. Sebagaimana yang telah Guru ceritakan kepadaku," ucap Wanara berkata lirih di hadapan sang guru.

Akan tetapi, Ki Ageng Jayamena menolaknya, dan tidak mengizinkan muridnya itu untuk melakukan perjalanan tersebut. Ki Ageng khawatir, karena menganggap perjalanan tersebut terlalu jauh dan sangat berbahaya bagi keselamatan muridnya itu, sedangkan Wanara sendiri belum cukup mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu kanuragan.

"Aku tidak akan mengizinkan," tegas Ki Ageng tanpa memberikan alasan yang jelas.

Wanara diam sejenak, dalam benaknya bertanya-tanya, "Kenapa guruku tidak memberi izin. Padahal dia sendiri yang memberi tahuku tentang kitab itu?"

Wanara menghela napas panjang. Lalu, ia berkata lagi di hadapan sang guru, "Apa alasannya Guru tidak mengizinkan aku untuk pergi? Bukannya Guru sendiri yang bilang kalau seorang pendekar dapat menguasai ajaran dari kitab Jala, niscaya pendekar itu akan menjadi orang hebat?" tanya Wanara mengerutkan kening. Bola matanya tanpa bergulir sedikit pun, terus memandang wajah sang guru.

"Iya, itu memang benar. Tapi belum saatnya untukmu pergi!" pungkas Ki Ageng bangkit dan langsung berlalu dari hadapan Wanara.

Wanara hanya diam dan tidak berani berkata apa pun, hanya duduk memandang langkah Ki Ageng yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah.

"Aku harus tetap melakukan perjalanan ini," batin Wanara.

Meskipun tidak diizinkan oleh gurunya, Wanara tetap akan melaksanakan niatnya dan bertekad kuat, walaupun harus melakukan perjalanan seorang diri.

Secara diam-diam, pada malam harinya, Wanara sudah bersiap untuk segera berangkat. "Maafkan aku guru," desis Wanara langsung bangkit dengan menyanggul sebilah pedang pusaka warisan dari mendiang ayahnya.

Ia langsung meloncat dan berlari menuju ke arah timur dari kediaman Ki Ageng Jayamena. Dalam hatinya tumbuh perasaan bersalah, karena sudah melawan kehendak sang guru. Namun, keinginan yang kuat dalam jiwanya menjadikan Wanara berontak dan tidak mematuhi apa yang dilarang oleh Ki Ageng Jayamena.

*****

Dua hari Kemudian, ketika sudah tiba di pesisir utara pulau Jowaraka. Tiba-tiba saja, Wanara diserang oleh dua orang pria tidak dikenal, yang secara mengejutkan melakukan pemukulan terhadapnya. Sehingga Wanara pun tersungkur dan mengalami sedikit luka di keningnya akibat jatuh menimpa gundukkan batu padas yang ada di pesisir pantai tersebut.

"Serahkan pedangmu, Anak muda!" teriak salah satu dari kedua pria tersebut dengan sorot mata tajam memandang wajah Wanara yang sudah berlumuran darah.

"Kalian siapa? Kenapa tiba-tiba menyerangku, memangnya aku salah apa?" tanya Wanara terheran-heran.

Kemudian, ia berusaha bangkit. Namun, dua orang pria asing itu tidak membiarkan Wanara berdiri tegak, mereka kembali menyongsong dengan sebuah tendangan yang sangat keras, dan menghajar Wanara dengan pukulan beruntun.

Hingga pada akhirnya, Wanara pun  mulai tersulut emosi. Ia berusaha keras untuk bangkit untuk melakukan pembalasan terhadap dua pria tersebut. Setelah bangkit kembali, Wanara langsung mengarahkan kaki kirinya yang ia ayunkan cukup keras hingga menyentuh perut salah satu pria tersebut.

"Maafkan aku," kata Wanara. "Aku tidak menghendaki perkelahian ini berlanjut," sambungnya langsung berlari ke arah barat untuk menghindari kedua pria asing itu.

Namun, kedua pria itu terus mengejar Wanara hingga tiba di ujung muara pantai yang terdapat sebuah sungai besar yang alirannya langsung mengarah ke laut lepas. Sungai itu sangat rimbun dengan pepohonan bakau di sepanjang tepiannya serta menjadi hunian nyaman bagi binatang-binatang buas seperti ular dan buaya muara.

"Hentikan langkahmu, Anak muda!" teriak orang itu.

"Mau lari ke mana lagi kau, Anak muda?" gertak pria yang satunya lagi.

"Kalian jangan mengejarku. Aku tidak mau bertarung dengan kalian!" jawab Wanara sambil terus berlari menjauhi kedua pria tersebut.

Akan tetapi, Wanara pun mulai terpojok dan tidak bisa berlari lagi karena di ujung muara itu terdapat tebing dan batu karang tinggi, sehingga menyulitkan dirinya jika memaksa untuk berlari ke arah barat.

Kemudian, kedua pria tersebut menghentikan langkah dan mentertawakan Wanara yang sedang mencari celah untuk kabur. Salah satu dari kedua pria itu pun berkata, "Serahkan pedangmu! Jika kau ingin selamat!" ancamnya sembari terus melangkah mendekati Wanara yang sudah dalam posisi terdesak.

Di saat itulah, Wanara mulai kehilangan arah. Hingga penuh keterpaksaan ia pun mulai melakukan perlawanan, karena dirinya sudah terlampau terdesak dan tidak bisa berlari lagi.

"Baiklah, jika kalian menginginkan pedang ini, sebaiknya kalian bertarung denganku satu lawan satu!" tantang Wanara yang saat itu sudah kehabisan akal bagaimana caranya menghindar dari kepungan kedua pria asing itu.

"Nyalimu cukup besar juga, Anak muda. Ayo maju!" jawab salah seorang pria bertubuh kekar itu, maju beberapa langkah semakin mendesak Wanara.

Berkata Wanara dalam hatinya, "Aku harus melawan mereka, kalah atau menang urusan belakang."

Wanara pun maju, dan langsung berhadap-hadapan dengan salah satu dari kedua pria asing itu. Sejatinya, Wanara hanya bermodalkan keberanian dan nekat saja, karena hanya hal itu yang harus ia lakukan agar pedang pusaka miliknya tidak jatuh ke tangan kedua pria tersebut.

"Semoga aku bisa melawan mereka," desis Wanara terus mengamati pergerakan dua orang yang ada di hadapannya.

Beberapa saat kemudian, serangan itu pun sudah dilancarkan oleh pria tersebut, dengan menghantamkan pukulan yang sangat keras ke bagian dada Wanara. Sehingga Wanara pun terjatuh, karena belum pandai dalam mensiasati alur serangan musuhnya.

"Ayo, keluarkan kemampuan jurus bela dirimu!" kata pria itu tampak bersikap angkuh dan jumawa.

Wanara bangkit sambil memegangi dadanya yang sudah kesakitan sembari meringis-ringis, ia pun berkata, "Aku tidak akan menyerah dan kalian tidak akan semudah itu untuk mengambil pedang pusaka milikku!"

Tanpa banyak bicara, pria itu kembali menghajar perut Wanara dengan pukulan yang sangat keras. Hal tersebut menyebabkan Wanara jatuh lagi dan tersungkur, kepalanya terbentur batu karang yang ada di tempat tersebut. Wanara memekik keras, kemudian tak sadarkan diri.

"Baru satu kali pukulan saja sudah pingsan," kata pria itu tertawa terbahak-bahak, seakan-akan merasa bangga sudah dapat menjatuhkan Wanara.

Salah satu dari mereka langsung membungkuk hendak meraih pedang pusaka milik Wanara. Namun, baru saja sedikit menyentuh pedang pusaka tersebut, tubuh pria itu terpental jauh dan jatuh di hadapan kawannya.

"Kau kenapa?" tanya pria yang satunya lagi, langsung membantu untuk membangkitkan kawannya yang terpuruk di hadapannya.

"Entahlah, seperti ada kekuatan maha dahsyat dari pedang tersebut," jawabnya sambil meringis kesakitan.

Setelah membantu kawannya bangkit, pria tersebut langsung berjalan dengan gagahnya menghampiri Wanara yang sudah dalam kondisi tak sadarkan diri.

"Aku rasa, tidak ada hal yang istimewa dari pedang ini. Tapi kenapa, Sobadra terpental jauh saat memegangnya?" desis pria itu, dua bola matanya terus mengamati pedang yang menyanggul di punggung Wanara.

Lalu, pria itu langsung meletakkan tangan di bagian selongsong pedang tersebut. Akan tetapi, hal serupa yang menimpa Sobadra terjadi pula dengannya. Tubuh pria itu pun terpental dan jatuh membentur batu karang yang berada di pinggiran pantai tersebut, sehingga kepalanya berdarah dan lengan kanannya mengalami patah.

Sobadra bergerak cepat dan langsung membantu kawannya. Berkata Sobadra, "Sebaiknya, kita urungkan niat ini, dan kita harus secepatnya pergi. Aku khawatir makhluk halus yang menguasai pedang itu akan membunuh kita!" tandas Sobadra langsung membantu kawannya bangkit dan segera melangkah meninggalkan tempat itu.

Sobadra dan kawannya langsung berjalan tergesa-gesa meninggalkan muara karang tempat mereka menganiaya Wanara hingga tak sadarkan diri.

Sementara itu, Wanara dibiarkan begitu saja. Tergeletak di atas pasir dengan kondisi luka dan tidak sadarkan diri.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status