Share

Wanara Tiba di Jantara

Menurut kabar dari orang-orang yang pernah dimintai keterangan oleh Wanara. Mereka menyebutkan bahwa kerajaan Jantara itu, memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa.

Konon katanya, kerajaan Jantara seindah rembulan purnama. Di wilayahnya terdapat banyak pepohonan obat dan rempah-rempah yang sangat diburu oleh para tabib dari berbagai pelosok kerajaan di sejagat raya.

Wanara dan kedua rekannya menjelajah seantero wilayah kerajaan tersebut. Kebiasaan penduduk di wilayah kerajaan Jantara yang dijumpainya, tidak jauh berbeda dengan para penduduk di kerajaan Rawamerta.

"Besok pagi kita harus berjalan ke barat, melewati bukit itu!" kata Wanara meluruskan jari telunjuknya ke arah perbukitan yang menjulang tinggi di arah barat dari tempatnya berdiri bersama kedua kawannya.

"Terus malam ini kita tidur di mana, Wanara?" tanya Jasena mengerutkan kening menatap tajam wajah Wanara.

Wanara tersenyum dan menudingkan jari telunjuknya ke sebuah gundukan bebatuan besar yang berada di sebelah kiri tempat mereka berdiri. "Di sana!" jawab Wanara meluruskan bola matanya ke tempat tersebut.

Jasena dan Sumadra saling berpandangan, kemudian Jasena berkata lagi, "Apakah tempat ini cukup aman? Dan tidak akan ada binatang buas yang membahayakan?" tanya Jasena mengamati sekeliling tempat tersebut.

Wanara tertawa lepas mendengar perkataan dari sahabatnya itu. Lantas ia pun berkata lagi, "Seorang kesatria tidak akan merasa takut kepada segala macam binatang liar yang hidup di hutan, sebaliknya justru mereka yang akan takut melihat kita!" jawabnya enteng. "Aku yakin, binatang buas di sini akan kabur menghindari kita," sambungnya penuh keyakinan.

Jasena dan Sumadra mengawasi keadaan di sekitarnya. Dilihatnya akar-akar rotan melilit batang-batang pohon beringin tua, yang mungkin sudah tumbuh ratusan tahun di hutan tersebut.

"Apakah sebaiknya kita tidur di bawah pohon beringin saja!" kata Jasena menyarankan.

"Kau ini kurang perhitungan, justru yang bahaya itu kalau kita tidur di bawah pohon," kata Wanara menyahut tanda tidak setuju dengan saran Jasena.

"Memangnya kenapa?" tanya Jasena.

"Pohon itu sudah tua, jika tumbang atau nanti ada angin kencang, kita yang tidur di bawahnya akan tertimpa pohon itu," terang Wanara.

"Baiklah, aku ikuti apa katamu saja." Jasena segera melangkah ke arah bebatuan dengan diikuti oleh Sumadra.

"Lihatlah itu!" teriak Sumadra meluruskan pandangannya ke arah kera-kera yang bergelantungan di atas pohon-pohon besar yang ada di sekitar hutan tersebut.

Kera-kera itu tampak riang dan bergembira menyambut kedatangan Wanara dan kedua rekannya itu. Mereka berteriak-teriak sambil meloncat-loncat dari satu pohon ke pohon lainnya.

"Mereka senang dengan kehadiran kita, kawan!" kata Wanara, secara tiba-tiba ia meloncat tinggi dan mendarat sempurna di atas bebatuan tepat di samping kedua sahabatnya itu.

"Hebat kau, Wanara," puji Sumadra berdecak kagum melihat pergerakan Wanara yang begitu memukau.

Wanara tampak bingung dan tidak mengerti dengan apa yang sudah ia lakukan saat itu. Loncatan tinggi yang begitu cepat dan mempunyai nilai ketangkasan yang sangat luar biasa. Hak tersebut, dapat membuktikan adanya kekuatan gaib dalam tubuh Wanara.

"Entahlah, kenapa aku bisa meloncat seperti ini?" Wanara tampak bingung dan tidak mengerti dengan apa yang sudah terjadi pada dirinya.

"Sungguh?" bertanya Jasena mengangkat alis tinggi, sambil menatap wajah Wanara yang tampak kebingungan.

"Iya, sebelumnya aku tidak mempunyai kekuatan seperti ini," jawab Wanara terheran-heran.

"Sudahlah, jangan kau pikirkan itu!" timpal Sumadra.

"Bagaimana aku bisa, tidak memikirkan hal ini? Kau tahu sendiri, sebelumnya aku tidak punya keahlian seperti ini!"

"Pedang pusaka yang menyanggul di punggungmu itu! Aku rasa, pedang itulah yang telah memberikan kekuatan untukmu!" Sumadra berkesimpulan.

Setelah itu, mereka pun segera membangun saung kecil dengan menggunakan bambu yang diikat erat menggunakan tali yang mereka buat dari belahan kulit bambu itu sendiri. Kemudian, memasang atap dari daun pohon kelapa yang dirangkai sedemikian rupa untuk menghindari masuknya air ketika hujan turun.

Wanara segera melemparkan seutas tali ke arah Sumadra untuk dijadikan pengikat daun kelapa tersebut agar tidak mudah terlepas ketika diterpa hembusan angin.

"Kau ikat erat, jangan sampai terlepas kena hempasan angin!"

"Ya, aku sudah merancang saung ini sedemikian rupa. Kau jangan khawatir!" sahut Sumadra.

Usai mendirikan saung, Wanara dan kedua rekannya langsung mengumpulkan kayu bakar. Kemudian kayu-kayu tersebut mereka tumpuk di depan saung, untuk dijadikan api unggun sebagai penerang sekaligus penghangat agar malam nanti mereka tidak terlalu kedinginan berada di tempat tersebut.

"Kalian tetap di sini, aku mau mencari ikan di bawah air terjun itu!" kata Wanara bangkit.

"Hati-hati, Wanara!" Jasena menyahut dari dalam saung.

"Ya, aku akan segera kembali!" Wanara melangkah menuju air terjun kecil yang tidak jauh dari saung yang baru saja ia bangun itu.

Pemandangan yang sungguh luar biasa, membuat mata nyaman disuguhkan oleh keindahan panorama alam, kerajaan Jantara laksana surga dunia.

Tempat seasri dan seindah itu baru sekarang dijumpai oleh Wanara dan kedua kawannya selama pengembaraannya di wilayah kerajaan tersebut.

"Aku rasa di sinilah tempat bertamasya bidadari-bidadari dari kahyangan," desis Wanara sorot matanya tajam mengamati pergerakan ikan yang berada di sela-sela bebatuan di dalam telaga itu.

Lama Wanara berdiri di tepi telaga itu, sambil mengincar ikan-ikan yang hendak ia tangkap. Namun, Wanara tidak cukup mempunyai keahlian dalam menangkap ikan-ikan tersebut.

"Bagaimana aku bisa menangkap kalian, jika kalian terus menghindar?" gumam Wanara berkata kepada ikan-ikan tersebut.

Beberapa saat setelah ia berkata, tiba-tiba terdengar suara lirih di arah belakangnya. Entah suara siapa itu?

"Raden tidak usah khawatir! Jika Raden menginginkan ikan-ikan tersebut, dengan senang hati aku akan memberikannya kepada Raden?" ucap suara misterius itu.

Wanara sungguh terkejut mendengar suara tanpa wujud itu. Kemudian, ia pun berpaling ke arah belakang, tapi tidak ada seorang pun yang ia lihat di tempat itu. Hanya ada gundukan batu dan pohon-pohon berduri yang tumbuh subur di tepian telaga kecil itu.

"Siapa kau?" teriak Wanara dengan bola matanya yang tajam terus mengamati ke setiap sudut tempat tersebut.

"Raden adalah tuanku, terimalah pengabdianku ini!" jawab makhluk tanpa wujud itu.

Sesaat kemudian, angin pun berhembus kencang, seiring dengan munculnya keanehan dalam pandangan Wanara. Puluhan ikan meloncat dengan sendirinya hinggap di atas batu tepat di hadapan Wanara yang diam termangu, terkesima dengan pemandangan langka yang ia lihat kala itu.

"Cukup!" teriak Wanara.

Dengan demikian, ikan-ikan tersebut tidak ada lagi yang meloncat ke atas. Kemudian terdengar lagi suara gaib itu, "Ambillah, Raden! Jika kurang, Raden bisa datang lagi ke sini!"

"Ya, terima kasih kau telah membantuku," jawab Wanara segera mengumpulkan puluhan ikan yang masih hidup.

Namun, Wanara tidak mengambil semua iklan-ikan tersebut, ia justru melempar kembali sebagian ikan-ikan itu ke dalam telaga.

"Aku rasa lima ekor saja sudah cukup untuk makan malam ini," desis Wanara langsung memasukan lima ekor ikan tersebut ke dalam kantung yang sengaja ia bawa. Wanara segera melangkah dan berlalu dari telaga itu.

Setibanya di saung, Wanara tidak bercerita kepada kedua kawannya tentang kejadian yang ia alami. Ia tidak ingin tumbuh rasa takut dari kedua kawannya, jika ia menceritakan tentang apa yang baru saja ia alami di telaga tersebut.

"Bersihkan ikannya, dan langsung dibakar saja!" pinta Wanara.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status