Jasena dan Sumadra segera meraih ikan dalam kantung itu, mereka pun segera membersihkan ikan-ikan tersebut, kemudian langsung membakarnya.
"Akan lebih enak lagi kalau ikan itu ditambahkan bumbu rempah!" seloroh Wanara.
"Dari mana kita bisa mendapatkan bumbu tersebut?" tanya Sumadra terheran-heran dengan ucapan sahabatnya itu.
"Kau pergi ke desa beli di warung!" gurau Wanara tertawa lepas.
Sumadra mendelik ke arah Wanara. Lalu, ia berkata, "Kau mendapatkan ikan ini dengan cara bagaimana, Wanara?" tanya Sumadra sambil membolak-balik ikan yang sedang ia bakar itu.
"Aku menangkapnya dengan tanganku sendiri," jawab Wanara sambil tersenyum lebar.
"Sungguh?" timpal Jasena kembali bertanya tampak ragu dengan apa yang dikatakan oleh Wanara.
"Aku memang bukan pandita atau ulama, tapi aku tidak bohong. Ikan-ikan itu, aku tangkap menggunakan tangan kosongku," tegas Wanara.
"Tidak ada yang menuduhmu berbohong, aku hanya memastikan," kata Jasena lirih.
"Aku paham dengan apa yang kau pikirkan. Mustahil, kan? Ikan di dalam telaga akan sangat mudah aku dapatkan?" sahut Wanara.
Jasena mengangkat wajah dan mengangguk pelan, "Iya, aku percaya dengan kemampuan yang kau miliki," jawab Jasena berusaha menyembunyikan keraguannya.
Dengan demikian, Wanara segera menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ia mengatakan kalau ikan-ikan tersebut didapat karena bantuan makhluk halus.
"Sungguh?" Sumadra mengangkat alis tinggi dan menatap tajam wajah Wanara.
"Ya, aku berkata apa adanya. Entahlah, aku pun tidak paham siapa makhluk itu," jawab Wanara bingung sendiri.
"Sudahlah! Kita nikmati saja ikan bakar ini, jangan memperdebatkan masalah itu, yang penting malam ini kita tidak kelaparan!" lerai Jasena disertai dengan tertawa kecil.
***
Keesokan harinya, Wanara duduk-duduk santai di atas dahan pohon waru tua di puncak tertinggi tepat di atas jurang. Sementara kawan-kawannya sedang berada di dalam saung yang mereka dirikan di atas bebatuan di bawah tempat Wanara berada.
Wanara berada di tempat tertinggi untuk menikmati keindahan panorama alam sambil melamun memikirkan bagaimana caranya agar segera mendapatkan informasi tentang keberadaan Kitab Jala yang sedang ia cari itu.
Beberapa saat kemudian, kesunyian suasana dipecahkan oleh suara gaduh seseorang yang sedang menebang sebuah pohon yang ada di hutan tersebut. Tampak seorang pria terdengar riang gembira sambil menghantam batang pohon dengan menggunakan kapak tajam.
Wanara segera bangkit dan mengamati gerak-gerik pria itu. "Siapa dia? Apakah di sekitar hutan ini ada pemukiman penduduk?" desis Wanara.
Dengan demikian, Wanara segera meloncat dari ketinggian pohon tersebut, untuk menghampiri pria itu yang diperkirakan berusia sekitar 30 tahun lebih.
Pria itu tampak kaget dengan kehadiran Wanara, ia sangat waspada dan berhati-hati. Kemudian, pria itu bertanya, "Kau ini siapa? Apakah kau orang jahat?" Dipandanginya wajah Wanara, tampak penuh selidik, seakan-akan menganggap Wanara sebagai sebuah ancaman baginya.
"Tenang, Ki Sanak! Aku bukan orang jahat, aku dan dua sahabatku bermalam di hutan ini, kami hendak menuju desa yang ada di balik bukit itu!" jawab Wanara bersikap ramah dan penuh rasa hormat terhadap pria yang ia jumpai itu.
Lantas, Wanara pun kembali berkata, "Aku Wanara, dan dua sahabatku ada di saung sana!" sambung Wanara mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah saung kecil yang berdiri di atas bebatuan tidak jauh dari tempatnya sedang berbincang dengan pria pencari kayu itu.
"Aku Wora Saba seorang pengrajin kayu, aku bekerja setiap hari di hutan ini, setiap pagi berangkat ke hutan ini untuk mencari kayu yang hendak aku jadikan sebagai bahan kerajinan," kata pria itu tidak merasa curiga lagi terhadap Wanara.
"Kerajinan apa yang kau buat, Ki Sanak?" tanya Wanara mengerutkan kening. Wanara berusaha untuk lebih akrab lagi dengan Wora Saba, karena ada hal yang ia ingin tanyakan terhadap Wora Saba. Salah satunya terkait informasi keberadaan kitab Jala yang tengah dicarinya itu.
Dengan senang hati, Wora Saba menjawab pertanyaan Wanara, "kayu ini akan aku buat kerajinan tangan untuk hiasan dinding rumah. Setelah selesai aku bawa ke pasar, di sana sudah ada yang menampung dan membeli langsung kerajinan yang aku buat ini."
Wanara menghela napas panjang. Kemudian bertanya lagi, "Ki Sanak tinggal di desa sebelah utara, atau di desa yang ada di balik bukit itu?"
"Aku tinggal di desa Madang di balik bukit itu, aku tinggal di sebuah padepokan silat milik Resi Wana," jawab Wora Saba berkata lirih dan sangat bersikap ramah terhadap Wanara.
"Siapakah Resi Wana itu, Ki Sanak?"
Wora Saba menghentikan aktivitasnya sejenak, tangannya meraih sebuah kain ikat kepala yang ia kantongi itu, kemudian menyeka peluh yang bercucuran di keningnya dengan menggunakan kain tersebut.
Wora Saba segera melangkah menghampiri Wanara yang terus mengajaknya bicara, Ia meninggalkan kapaknya yang sebagian masih terbenam di batang pohon tersebut, lalu mengajak Wanara duduk, "Ayo, Wanara. Kita duduk dulu!"
Dalam hatinya Wora Saba berkata, "Sebenarnya pemuda ini siapa? Dan punya maksud apa terus bertanya-tanya kepadaku?"
"Baik, Ki Sanak," jawab Wanara langsung duduk di sebelah Wora Saba.
Seumur hidup Wora Saba mencari kayu di hutan itu, baru sekarang bertemu dengan seorang manusia. Tetapi, Wora Saba adalah seorang berjiwa pemberani, apalagi melihat Wanara tidak bersikap jahat dan ia justru sangat ramah.
Mereka berdua langsung berbincang-bincang sambil menikmati bekal makanan yang dibawa oleh Wora Saba. Setelah selesai makan dan berbincang, Wanara pun turut membantu pekerjaan Wora Saba.
"Sebaiknya, kau istirahat saja. Biarkan aku yang menebang pohon ini!" pinta Wanara lirih.
Wira Saba tersenyum. "Sialhakan saja jika kau tidak keberatan!" sahut Wora Saba.
"Tenang saja! Aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan ini." Kemudian, ia langsung meraih kapak yang tergeletak di bawah pohon yang hendak ditebangnya itu.
"Baiklah, terima kasih, Wanara." Wora Saba tersenyum dan langsung duduk kembali di tempat semula sambil memperhatikan Wanara yang sedang mengambil alih pekerjaannya itu.
Dengan penuh semangat, Wanara terus melakukan pekerjaan tersebut. Hingga pada akhirnya, pohon tersebut berhasil ditumbangkan oleh Wanara hanya dalam waktu sekejap saja.
"Istirahat saja dulu, Wanara!" teriak Wora Saba ketika melihat pohon tersebut sudah tumbang. "Minumlah dulu!" sambungnya.
Wanara segera meletakkan kapak tersebut dan langsung melangkah menghampiri Wora Saba. "Hebat kau, Wanara!" puji Wora Saba terkagum-kagum dengan kerja cepat yang sudah dilakukan oleh Wanara.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara teriakan dari Sumadra dan Jasena, "Wanara! Kau di mana?"
Mendengar suara keras dari kedua kawannya, Wanara segera berpaling ke arah tempat kedua sahabatnya sedang berdiri. Lalu, menjawab dengan berteriak pula, "Aku di sini!" Ia berdiri sambil melambaikan tangan ke arah Sumadra dan Jasena.
Dengan demikian, mereka pun langsung melangkah menuju ke arah Wanara dan Wora Saba yang ada di sebelah timur dari posisi saung yang mereka dirikan itu.
Jasena dan Sumadra saling berpandangan, mereka tampak heran melihat keakraban Wanara dengan seorang pria yang tidak mereka kenal itu.
"Kalian jangan heran. Ini adalah Wora Saba, sahabat baru kita!" kata Wanara seraya memperkenalkan Wora Saba kepada kedua sahabatnya.
Dengan demikian, mereka pun langsung berkenalan dan berbincang bersama di tempat tersebut.
"Apakah kau akan pulang hari ini ke padepokan?" tanya Wanara mengarah kepada Wora Saba.
"Ya, aku akan pulang hari ini dan membawa kayu yang sudah kau tebang itu," jawab Wora Saba.
Sejenak ia terdiam dan menghela napas panjang. Lalu, mengamati wajah Wanara dan kedua sahabatnya itu.
"Jika Kalian tidak keberatan, ikutlah denganku!" ajak Wora Saba.
Raut wajah Wanara seketika berubah, seakan-akan menampakkan rasa senang dengan ajakan tersebut.
"Apakah gurumu tidak akan marah. Jika kami ikut denganmu, Ki Sanak?"
"Sudah kubilang. Jangan panggil aku ki sanak. Panggil saja aku Wora!" jawab Wora Saba. "Umurku belum tua, Wanara," sambungnya.
"Ya, maaf, Wora," kata Wanara, kemudian mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab oleh Wora Saba, "Bagaimana dengan gurumu, jika kami ikut bersamamu?"
"Kalian tenang saja! Guru pasti akan senang menyambut kedatangan kalian," tandas Wora Saba menjawab pertanyaan dari Wanara.
*****
Usai menebang dan memotong pohon tersebut menjadi dua bagian, Wora Saba langsung mengajak Wanara dan kedua sahabatnya untuk segera ikut dengannya."Kalian mau ikut denganku atau tetap berada di hutan ini?"Wanara tidak langsung menjawab, ia berpaling ke arah Sumadra dan Jasena. Lalu, bertanya kepada kedua sahabatnya itu, "Apakah kalian mau ikut ke padepokan bersama Wora Saba?"Kedua pemuda itu menjawab tanpa bersuara, mereka hanya mengangguk tanda setuju ikut dengan orang tersebut."Kami ikut denganmu," tandas Wanara.Wora tersenyum dan merasa senang, karena Wanara dan kedua rekannya mau ikut dengannya."Ya, sudah. Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Wora Saba langsung meraih batang kayu Lemo yang sudah dibagi menjadi dua potong itu."Baiklah, sini aku bantu!" jawab Wanara meminta Wora Saba untuk menyerahkan batang pohon tersebut kepadanya.Wora Saba tersenyum dan segera menyerahkan satu batang potongan pohon Lemo kepada Wanara. Wanara tampak riang dan tidak
Pada suatu hari, Wanara mengajak Wora Saba berbincang di pendapa padepokan. Mereka hanya berdua saja, tanpa Jasena ataupun Sumadra. Karena hari itu, kedua rekannya sedang membantu Resi Wana bercocok tanam di sebuah ladang yang ada di belakang kediamannya itu."Apakah kau tahu tentang orang sakti di desa ini selain guru?" tanya Wanara lirih.Wora Saba hanya tersenyum, kemudian menjawab lirih, "Yah, aku tahu!"Wanara segera menggeser posisi duduknya, lebih mendekat ke arah pemuda yang pandai membuat ukiran kayu dan dipercaya sebagai seorang tabib muda yang bisa mengobati berbagai penyakit."Siapa namanya, Wora?" bertanya lagi Wanara dengan bola mata lurus ke wajah sahabat barunya itu."Wirya Tama!""Apakah dia punya padepokan seperti guru kita ini?"Wora tersenyum, seakan-akan tidak merasa risih meskipun diberondong beberapa pertanyaan oleh Wanara, "Ya, Ki Wirya Tama mempunyai pondok sama seperti guru kita. Sekarang masih ada sekitar puluhan murid yang masih menun
Beberapa hari kemudian, Wanara meminta izin kepada gurunya untuk berangkat ke sebuah tempat yang berada di balik bukit yang jaraknya lumayan jauh dari padepokan milik Resi Wana.Tanpa banyak pertanyaan, Resi Wana langsung mengizinkan muridnya itu untuk berangkat ke tempat yang dimaksud. "Silahkan kau pergi ke sana, dan yakin pada dirimu untuk senantiasa mempelajari ilmu kanuragan dengan baik dan bersungguh-sungguh. Dia adalah Wirya Tama yang akan menjadi gurumu dan akan mengajarkanmu jurus tenaga dalam!" ucap Resi Wana penuh kebijaksanaan, memberi izin tanpa banyak tanya."Terima kasih, Guru. Aku akan berangkat esok lusa." Wanara terlihat senang dan bahagia mendengar jawaban dari Resi Wana.Orang tua itu hanya tersenyum, menatap lekat wajah Wanara yang berparas tampan itu. Kemudian, ia berkata lirih, "Namaku tersimpan dalam kalimat namamu Wana bermakna kesatria dan Ra, bermakna tangguh. Jadi Wanara artinya kesatria tangguh!"Wanara dan kedua rekannya saling berpa
Setelah berhasil melewati hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi berdaun lebat, Wanara menghentikan langkah sejenak. Ia berdiri tegak mengatur pernapasan sambil mengamati sekitaran tempat tersebut. Tampak butiran peluh keluar dari pori-pori keningnya, hingga mengalir membasahi wajah yang sudah tampak pucat kelelahan."Katanya dekat? Ini rasanya sudah berjalan lama tapi tak kunjung tiba," gumam Wanara memandangi puncak bukit yang menjulang tinggi di hadapannya.Kemudian, ia meraih batang bambu berukuran dua jengkal telapak tangan, sebagai wadah air minum. Lalu, Wanara meminum air tersebut hingga hampir menghabiskan isi dalam wadah batang bambu itu. Sejenak, ia berdiam diri sambil mengamati suasana di hutan tersebut. "Aku harus melanjutkan perjalanan ini," desis Wanara kembali melangkah naik ke atas bukit tersebut, menyusuri jalanan setapak.Ia tidak menghiraukan rasa lelah yang mendera, karena ingin segera tiba di tempat tujuan sebelum menjelang sore. Peluh kian be
Orang tua itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Ya, benar sekali. Kau adalah titisan Prabu Merta Jaya putra Dewa petir!" jawab Ki Wirya Tama tersenyum-senyum.Wanara mengerenyitkan kening, ia semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh orang tua itu. Lantas, Wanara kembali bertanya, "Apakah aku sangat mirip dengan Prabu Merta Jaya?" Pemuda itu tampak penasaran, seakan-akan ia ingin mengetahui lebih lanjut tentang apa yang sudah dikemukakan oleh Ki Wirya Tama."Ada banyak persamaan di antara kalian, salah satunya adalah kesaktian yang kelak akan kau miliki!" ucap orang tua itu.Bergegas Wanara menggeser posisi duduknya, maju sampai ke hadapan orang tua itu. Lalu bersujud dan mengangguk-anggukkan kepalanya sampai tiga kali. Ki Wirya Tama memandang lekat Wanara yang bersikap sedemikian hormat terhadap dirinya. Pria senja itu, tak henti-hentinya memandangi pemuda yang ada di hadapannya dengan matanya yang jernih namun sangat tajam."Wanara, berh
Tampak darah segar mengalir dari mulut pria itu. Bahkan, ia sudah tidak dapat bangkit lagi, karena kerasnya tendangan orang tua tersebut.Orang tua itu adalah Ki Wirya Tama, yang diam-diam mengetahui kalau murid barunya itu sedang dalam kesulitan."Itu pedang miliknya, dan bukan milik kalian," ucap Ki Wirya Tama menatap tajam ke arah dua pria itu. "Jangan kalian ambil, jika barang itu bukan milik kalian!" sambung Ki Wirya Tama berteriak lantang."Hai! Pak tua, sebaiknya kau jangan ikut campur!" kata pria yang satunya lagi sambil menarik tangan kawannya yang terjatuh karena tendangan keras dari orang tua itu.Namun, kawannya itu tampak kesulitan untuk bangkit, meskipun telah dibantu oleh kawannya. "Kedua kakiku kaku, dadaku sesak. Kau hadapi saja orang tua itu, dan biarkan aku di sini!" "Baiklah, aku akan melenyapkan orang tua itu dulu. Setelah itu, kita ambil pedang anak muda itu!"Ia kembali berhadap-hadapan dengan Ki Wirya Tama. Dengan gagahnya ia be
Pagi itu, Wanara berlutut di hadapan gurunya. Karena pagi itu, Ki Wirya Tama sudah mengajarkan jurus-jurus andalan dan ilmu tenaga dalam kepada Wanara."Aku ucapkan banyak terima kasih, karena Guru sudah memenuhi janzi. Guru telah mengajarkan aku ilmu tenaga dalam, dan aku pun sudah dapat menguasainya dengan baik," ujar Wanara masih tetap berlutut di hadapan gurunya."Dulu ketika aku pertama kali datang ke sini, Guru sudah mengatakan bahwa aku merupakan titisan Prabu Merta Jaya. Sekarang aku mohon, Guru menjawab pertanyaanku!" Ki Wirya Tama tertawa terkekeh dengan hati senang. Lalu menjawab, "Bicaralah! Jika aku tahu pasti aku akan menjawabnya!" pinta Ki Wirya Tama lirih.Wanara tampak semringah mendengar jawaban dari gurunya. Kemudian, ia bertanya, "Apakah benar, kitab Jala ada di tangan Ki Resi Wana, Guru?"Orang tua itu tertawa kecil mendengar pertanyaan dari muridnya. Sikapnya, tentu membuat Wanara semakin penasaran dan menunggu keterangan yang jelas da
Tiga puluh hari kemudian…Siang itu, selesai berlatih jurus-jurus yang diajarkan oleh Ki Wirya Tama. Wanara langsung melangkah menghampiri gurunya yang sedang berbincang dengan seorang pria yang kesehariannya suka membantu menggarap sebidang tanah di ladang milik gurunya. Setibanya di hadapan sang guru, Wanara memberi hormat kepada sang guru dan orang kepercayaannya itu, dengan membungkukkan setengah badan."Duduklah!" pinta Ki Wirya Tama tersenyum menatap wajah muridnya."Baik, Guru." Wanara langsung duduk bersila di hadapan sang guru dan bersebelahan dengan pria paruh baya yang merupakan orang kepercayaan gurunya."Bagaimana dengan jurus-jurus yang sudah aku ajarkan kepadamu, Wanara?" tanya sang guru.Wanara tersenyum-senyum. Kemudian menjawab pertanyaan gurunya, "Aku sangat senang karena sudah mendapatkan banyak kemajuan, Guru.""Sekarang aku sudah menjadi lebih kuat, aku sudah bisa menghancurkan batu dengan pukulan tanganku, dan pikiran pun b