"Khanza akan saya bawa pulang. Tolong beri ia waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Kamu fokus saja menenangkan Najwa yang saat ini lebih membutuhkanmu."Ingin sekali aku membantah perkataan Mama Alice. Berpisah dengan Khanza di saat hati ini dilanda gundah, sepertinya bukan pilihan yang tepat. Aku ingin mendengar ceritanya ketika ia disekap oleh Aidan. Apa saja yang mereka lalui di sana hingga keduanya bisa sedekat itu. Aku tidak bodoh untuk bisa mengartikan sikap mereka. Aidan dan Khanza. Mereka seakan terikat satu sama lain. Apalagi setelah mendengar ucapan Khanza yang ingin membantu meringankan hukuman pria itu. Bukankah terkesan aneh?Seharusnya, Khanza menuntut Aidan agar dihukum lebih berat karena dua kali telah mencoba mencelakainya. Seharusnya, Khanza tidak menaruh rasa iba pada penjahat yang telah membuatnya hampir kehilangan nyawa. Namun, sikap istriku sangat bertolak belakang dengan keinginanku yang ingin Aidan lebih lama mendekam di penjara. "Baiklah, Ma. Emir meng
"Terima kasih, Sayang. Kali ini kamu tidak menolak Mas lagi."Aku mengeratkan dekapan. Kurasakan Khanza mengangguk lemah dalam pelukanku. "Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Berdosa kalau aku terus menerus menolak Mas."Ya, aku paham meski sedikit kecewa. Khanza melakukannya bukan karena menginginkannnya, tetapi hanya sebatas kewajiban. Namun meski begitu, aku tetap merasa puas karena telah menuntaskan rasa rindu yang selama ini hanya bisa kutahan sendirian. "Mas akan menginap di sini," ucapku kemudian. "Menginap? Lalu bagaimana dengan Najwa?""Ada Mama. Mas sudah menitipkan dia padanya. Najwa juga mengizinkan bahkan ia meminta Mas menyampaikan permintaan maafnya padamu."Khanza tidak menjawab. Kami dilanda keheningan beberapa saat hingga ketukan di pintu kamar terdengar. Khanza bergegas memakai kembali handuk yang tadi sempat kulempar. "Tolong buka pintunya, Mas. Tapi jangan lupa pakai pakaianmu dulu," ujarnya tergesa seraya bergegas menuju kamar mandi. Aku m
"Aku bersedia mundur, Mas."Perkataan Najwa terus terngiang di telinga ini. Ia rela melepaskan diriku demi Aidan, kakak yang telah menculik istri pertamaku. Jujur saja aku merasa terhina. Aku dikalahkan oleh seorang Aidan yang bahkan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku. Kedua istriku sama-sama menginginkan Aidan dibebaskan, dan permintaan tersebut sangat sulit kukabulkan. Kini, aku memilih pergi menjauh dari mereka untuk sementara waktu sampai amarah dan kecewa dalam diriku sedikit berkurang. Aku tidak ingin menyakiti kedua istriku dengan perkataan atau tindakan kasar, dan di sinilah aku sekarang. Di salah satu villa milik keluarga di daerah Puncak. Aku sengaja mematikan ponsel agar tidak ada satu orang pun yang mengganggu ketenanganku, termasuk istri-istriku. Melepas Najwa memang sempat terlintas dalam pikiranku. Pernikahan poligami ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Selain dituntut untuk adil dalam pemberian nafkah dan waktu, aku pun harus bisa menjaga perasaan
Suasana di ruang rawat Najwa diliputi keheningan. Aku yang masih shock dengan kabar yang aku dengar, serta kedua istriku yang sama-sama terdiam, menungguku berbicara. Hanya isak tangis mereka yang sesekali terdengar di telinga ini. "Mas ke mana saja?" Pertanyaan Khanza belum sempat kujawab. Aku belum mampu mengucapkan satu patah kata pun untuk menjelaskan ke mana aku selama dua hari ini. "Mas, katakan sesuatu. Bayi kita sudah tidak ada. Apa Mas tidak merasa kehilangan?" Najwa angkat bicara. Aku menghela napas berat sembari meremas rambut dengan sedikit kasar. Mana mungkin aku tidak merasa kehilangan padahal kehadirannya sudah sangat lama kunantikan. Mereka tidak tahu bagaimana terpukulnya aku hingga sekedar berkata-kata saja tidak bisa. "Mas sangat kehilangan dia, Najwa. Untuk itu, Mas minta maaf karena menjadi suami yang egois untuk kalian. Mas memang tidak berguna. Menjaga istri satu saja sering terabaikan, tetapi Mas malah ngotot ingin mempertahankan kalian berdua," ucapku lir
Dua tahun kemudian."Biar saya yang bawa kopernya, Den." Pak Cecep mengambil alih koper dari tanganku. Pria berusia sekitar empat puluh tahunan itu menyambutku begitu aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Ia membukakan pintu setelah menyimpan koper terlebih dahulu ke bagasi mobil. Kendaraan roda empat yang kutumpangi ini mulai melaju, membelah jalanan kota Jakarta yang diserang macet seperti biasanya. Dua tahun sudah semenjak perceraianku dengan kedua istriku, aku makin disibukkan dengan bisnis kuliner yang sengaja aku buka bersama salah satu teman yang tinggal di Tokyo. Awalnya hanya sebagai pengalihan agar aku tidak terlalu terpuruk setelah melepas dua wanita yang berharga dalam hidupku. Namun ternyata, cara ini berhasil dan aku bisa sedikit melupakan bayang-bayang mereka yang dulu hampir menghantuiku setiap malam, terutama Khanza. Ah, wanita itu ... entah bagaimana keadaannya sekarang. Aku hanya bisa berharap semoga ia berbahagia setelah lepas dari pria egois sepertiku. Ingatan i
Pov Khanza"Sudah, kamu jangan tangisi pria seperti dia. Mama yakin kamu bisa mendapatkan pria lain yang jauh lebih baik dari Emir," ucap Mama ketika menghampiriku yang tengah menangis di kamar. Terhitung dua bulan sudah aku bercerai dengan Mas Emir. Aku belum bisa melupakan kejadian hari itu, di mana ia mengucapkan dua kali kata talak untuk wanita yang berbeda. Aku kira, Mas Emir mengumpulkan kami di ruang tamu untuk membicarakan perihal pembebasan Aidan yang sudah ia janjikan. Namun, ternyata ia telah lebih dulu menjemput Kakak dari Najwa tersebut dari kantor polisi dan membawanya ke rumah orang tuanya. Mas Emir mengembalikan aku dan Najwa kepada keluarga kami. Ia melepas aku dan Najwa tanpa terlebih dahulu membicarakannya dengan kami. Aku shock. Di saat aku telah ikhlas menjalani pernikahan poligami ini, justru ia memilih jalan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Aku pikir, Mas Emir akan melepas salah satu dari kami, bukan keduanya. Namun, aku tidak bisa menolak keputusan pri
Pov Emir"Apa kabar, Mas?"Najwa bertanya sembari mengulas senyum manis. Mantan istriku terlihat jauh lebih dewasa dari terakhir kami bertemu. Selain penampilannya yang bertambah anggun, begitu juga dengan gesture tubuh yang lebih tenang dan luwes. Najwa menjelma menjadi wanita berkelas setelah ia lepas dariku. Jika ada yang bertanya apakah aku menyesal telah menceraikannya? Maka jawabannya adalah tidak. Melihat Najwa yang jauh lebih baik ketimbang masih bersamaku, tentu membuatku sadar bahwa melepasnya adalah keputusan terbaik yang aku ambil. "Alhamdulillah Mas baik. Bagaimana denganmu? Mas lihat, kamu jauh lebih baik dari terakhir kita bertemu," jawabku membalas senyumnya. "Mas Emir benar. Aku sudah jauh lebih baik sekarang."Aku mengangguk dan tersenyum. Tentu saja merasa senang meski di sisi hatiku yang lain merasa tersentil oleh ucapan Najwa. Ya, dia jauh lebih baik jika dibandingkan saat hidup bersamaku.Hening. Kami sama-sama membisu karena tidak tahu harus membicarakan apa.
"Jadi, wanita yang kamu lamar itu, Khanza?" tanyaku pada Aidan. Kini kami tengah duduk berdua di teras depan rumah Ustadz Hakim. Kami sengaja keluar rumah untuk memberi ruang pada orang tuaku dan mamanya Khanza untuk berbincang. Sedangkan mantan istriku tersebut masih belum nampak. Entah memang sedang sibuk dengan Umi Salamah atau sengaja menghindariku. Ternyata kedatangan Aidan tidak hanya berdua dengan Khanza. Aku sempat berpikiran buruk tentang mereka yang hanya berduaan selama di perjalanan, sedangkan jelas mereka bukan mahram. Namun, setelah tahu mantan mertuaku ikut serta, aku merasa malu karena telah berpikiran yang tidak-tidak."Dari mana kamu tahu kalau aku akan melamar seseorang?" Ia mengerutkan dahi. "Dari Najwa. Kemarin, kami sempat mengobrol sebentar," terangku. Aidan tersenyum getir, sangat jauh dari dugaanku tentangnya yang pasti tengah berbahagia. Bukankah kedatangannya menemani Khanza dan Mama Alice ke sini dan itu pertanda bahwa lamarannya diterima? "Ya, aku mem