"Lebih baik Mas Emir mencari wanita lain untuk dijadikan pendamping. Jangan wanita cacat sepertiku yang bahkan untuk berjalan saja susah."Itulah jawaban Khanza atas pertanyaanku hari itu. Dia menolak ketika aku melamarnya secara langsung. Akan tetapi, bukan Emir namanya jika menyerah begitu saja. Akan kulakukan berbagai cara untuk membujuknya agar ia mau menerima. "Mas tidak menginginkan wanita lain. Jika mau, Mas bisa saja menerima Kiyomi yang tergila-gila sama Mas. Tapi Mas menolaknya karena memang tidak mencintainya. Hanya kamu dan cuma kamu. Andai kita tidak bisa bersama lagi, lebih baik Mas menduda seumur hidup," tuturku selembut mungkin. Berharap ia merasa tersanjung atas penuturanku barusan. "Manis sekali. Andai saja dulu Mas bisa bersikap seperti itu. Tegas menolak hadirnya wanita lain di tengah pernikahan kita. Mungkin jalan ceritanya akan berbeda," pungkasnya yang selalu berhasil membuatku tak berkutik. "Mas rela meminta maaf sampai beribu-ribu kali untuk hal yang satu i
"Mas, jangan deket-deket! Aku mual nyium bau badan kamu!"Aku menghela napas pasrah sembari menuruti keinginannya. Memberi jarak agak jauh karena dia yang katanya mual jika berdekatan denganku. Kehamilan Khanza kali ini lebih parah dari yang pertama. Itu yang ia katakan ketika aku bertanya tentang perbedaan dengan kehamilannya yang dulu. Jika dulu ia masih bisa makan nasi, maka sekarang mencium baunya saja ia langsung muntah. Dan yang paling parah, ia selalu mengusirku jika suaminya ini sedang ingin bermanja dengannya. Akan tetapi, aku tetap bersabar demi dia dan calon bayi kami. Apa pun keinginannya akan aku turuti termasuk ketika ia memintaku mengambilkan mangga muda di pohon yang letaknya di depan rumah Ustadz Hakim. Bayangkan. Malam-malam kami berangkat ke Ciamis demi memenuhi permintaan ngidamnya yang aneh.Namun meski begitu, aku bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi seorang ayah dari anak yang lahir dari rahim wanita yang sangat kucintai. Rumah tanggaku dengan Khanza di pernik
"Den, Maaf Bibi mengganggu. I-itu ... Nyonya Khanza. Nyonya pergi dari rumah."Aku terperanjat mendengar perkataan Bi Minah di seberang sana. Kupunguti pakaian yang berserakan serta bergegas mengenakannya. Tak kuhiraukan wanita di sampingku yang menatap penasaran dengan apa yang terjadi hingga aku bisa sepanik ini. Yang terpenting sekarang aku harus segera pulang untuk memastikan bahwa apa yang asisten rumah tanggaku ucapkan tidaklah benar."Ada apa, Mas? Terjadi sesuatu?" tanyanya sembari menaikkan selimut yang menutupi tubuh po losnya hingga sebatas dada. "Mas harus pulang, Najwa. Bi Minah barusan bilang kalau Khanza pergi dari rumah.""A-apa? Mbak Khanza pergi?""Ya. Maaf karena malam ini Mas tidak bisa menginap di sini.""Iya, gak papa, Mas. Aku ngerti kamu pasti mengkhawatirkan Mbak Khanza.""Terima kasih, Sayang. Mas janji akan mengganti waktu kebersamaan kita di lain hari. Jaga diri kamu baik-baik."Setelah mengecup keningnya sekilas, aku bergegas keluar dari kamar yang hampir
Ijab qobul sebentar lagi akan dilaksanakan. Aku bersama Najwa juga Papa dan Mama duduk di barisan paling depan atas arahan dari salah satu murid Ustadz Hakim. Mata ini meneliti sekeliling, mencari sosok yang berhasil membuatku terjaga semalaman. Wanita bercadar yang diperkenalkan Ustadz Hakim sebagai anak angkatnya itu tidak terlihat di manapun. Entah mengapa diri ini ingin sekali bertemu dengannya lagi untuk memastikan bahwa dugaanku benar. Dia Khanza. Istriku yang telah hilang selama satu tahun lamanya.Debar di dada ini ketika kami sempat saling tatap, mengingatkanku pada pertemuan pertama kami, dulu. Meski dia seolah tidak mengenaliku, tetapi hati ini tidak akan bisa dikelabui. Dia Khanza-ku. Ya, aku yakin dia istriku. Sepertinya aku memang harus mencari tahu siapa dia sebenarnya. Andaikan dia memang Khanza, aku tidak akan menyiakan kesempatan untuk segera membawanya kembali ke rumah kami."Sah!""Sah!"Ucapan serempak dari para saksi mengembalikan kesadaran diri ini dari lamunan
"Maaf, Umi. Saya tidak bersedia membuka cadar ini di hadapan siapapun. Saya ... saya belum siap."Jawaban Dari Humaira membuat bahuku terkulai lemas. Kesempatan untuk mengetahui siapa dia sebenarnya hilang karena sepertinya dia tidak ingin aku mengungkap jati dirinya. "Dengan kamu menolak permintaan kami, Mas makin yakin kalau kamu itu Khanza." Aku mencoba memancingnya. "Saya Humaira, bukan Khanza!" Dia membantah. "Sudah, sudah! Jangan berdebat di sini." Papa menengahi. "Begini saja. Bagaimana kalau kami mendengar cerita dari Ustadz Hakim saat menemukan Humaira dan bagaimana kondisinya saat itu. Apakah tidak ada barang miliknya yang bisa dijadikan petunjuk? Kartu identitas? Ponsel?" cecarnya tak sabar. Mungkin Papa pun merasa penasaran tentang siapa Humaira sebenarnya setelah mendengar dugaanku."Tidak ada. Kami menemukan Humaira di pinggir jalan tanpa identitas apa pun. Awalnya saya dan istri merasa aneh, tetapi setelah mendengar penjelasan langsung dari Humaira bahwa dia sempat d
Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam ketika aku terpaksa meninggalkan Najwa di peraduan. Bayang wanita bercadar itu terus mengusik ingatan ini hingga mata pun tak jua bisa terpejam. Humaira atau Khanza? Pertanyaan itu tak hentinya berputar di dalam otak. Andai benar ia adalah Khanza, lantas mengapa ia justru menolak kehadiranku dan enggan bertemu denganku? Bukankah seharusnya ia senang karena berjumpa kembali dengan suami yang telah lama tidak ditemuinya ini?Kuambil gawai yang sengaja kubawa sambil duduk di balkon kamar. Mencari foto Khanza yang selama ini menjadi tempat pelampiasan jika diri ini tengah merindu padanya. Foto dirinya yang tengah tersenyum sambil memperlihatkan cincin hadiah anniversary dariku ketika kami merayakan ulang tahun pernikahan yang pertama. Tak sadar, bibir ini ikut tersenyum ketika mengingat moment bahagia itu. "Mas merindukanmu," gumamku seraya mengusap fotonya di layar ponsel."Kenapa kamu memilih pergi dan tak kembali? Apa Mas punya salah padamu?
"Kamu mau ke mana, Emir?" Langkah ini terhenti. Aku kembali menoleh ke arah Papa yang ternyata menyusulku ke luar rumah. "Emir harus ke Pondok Ustadz Hakim sekarang juga, Pa. Emir takut terlambat sampai di sana.""Memangnya apa yang akan kamu lakukan di sana? Sudahlah, Emir. Terima saja kenyataan kalau ternyata Humaira itu bukan Khanza.""Tidak, Pa. Emir masih harus membuktikan karena Emir yakin dia adalah Khanza." Aku bersikeras. "Andai benar dia Khanza, apa kamu yakin dia akan bersedia kembali padamu? Ingat, Emir. Kamu sudah mengkhianatinya. Kamu menduakan dia tanpa sepengetahuan dirinya. Bagaimana seandainya Khanza memilih berpisah denganmu?"Pertanyaan Papa cukup menohok. Ya, benar aku telah mengkhianati Khanza dengan menikahi Najwa secara diam-diam. Namun, tentu saja aku tidak akan membiarkan Khanza pergi apalagi meminta perpisahan. Setahun tanpa dirinya, aku bagai manusia yang kehilangan arah meski ada Najwa di sampingku. Aku tidak bisa membayangkan andai saja apa yang Papa k
"Astaghfirullah, Nak. Jangan berbicara seperti itu!"Ustadz Hakim dan Umi Salamah menegur putri angkat mereka. Pun denganku yang hanya mampu menggelengkan kepala setelah mendengar permintaan Khanza. Menceraikan dia? Tentu saja tidak akan pernah aku lakukan sampai kapan pun!"Lalu saya harus bagaimana, Abi? Saya hanya perempuan biasa yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami saya ternyata telah menikah lagi. Saya tidak siap dan tidak akan pernah rela dimadu." Khanza terduduk di dekat Umi Salamah yang langsung menyambut istriku ke dalam pelukannya. Sedangkan aku? Hanya mampu menundukkan kepala, merasa malu kepada istriku, juga Ustadz Hakim dan istrinya."Jadi, alasan kamu pergi dari rumah itu karena kamu sudah tahu Mas menikah lagi?" Kali ini aku memberanikan diri menatap Khanza. "Ya. Aku sudah tahu kalau Mas Emir menikahi wanita lain secara diam-diam. Aku marah, aku sakit, dan aku benci kalian berdua! Aku memutuskan pergi karena aku sadar, aku tidak akan sanggup hidup dengan se