Tak tahu jam berapa tepatnya. Tetapi lampu kamar sudah dipadamkan dan tubuhku sudah terbalut selimut. Aku bisa mendengar seseorang berbisik, dengan suara lirih.“Kuharap dia baik-baik saja. Bagaimanapun dia menantu bos,” bisik Amanda membuatku terjaga. Berniat menyingkap selimut dan menyapanya, ketika satu suara lain kudengar.Apa? Mike di kamar ini? Bagaimana ini?“Kabari aku jika sesuatu yang aneh terjadi. Kita tak boleh ambil risiko. Sepertinya dia tak mabuk biasa. Minta dia periksa besok jika masih muntah-muntah. Aku khawatir perjalanan ini malah jadi malapetaka baginya,” sahut Mike. Perutku kembali terasa perih. Selalu begini ketika perasaan nyaman menghantam. Rabbi, Amanda benar-benar harus kuomeli. Bagaimana bisa dia membiarkan lelaki masuk ke kamar kami?Kudengar langkah mereka menjauh, menuju pintu. Dari sela-sela selimut mengintip, bersiap menegur kecerobohan Amanda. Tapi, ya Allah, mataku ternoda melihat mereka berciuman.Kini bukan hanya perutku yang bergolak, hatiku pun t
Sayup bola mata bertemu cahaya di ruang putih bersih. Mike tertidur terkulai di sisi ranjangku. Terkejut melihatnya, tetapi rasa nyeri di lengan menghalangi diri ini untuk bergerak. Diinfus? Mengapa?Kupaksa otak untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Aku di mana dan kenapa?Samar, bayangan aku tercebur ke danau dan diselamatkan Mike menguat. Ya Tuhan, akhirnya aku ingat. Dia menciumku. Lancang. Pria ini sudah terlalu lancang menjamahku. Tiba-tiba rasanya takut jika perkara ini terdengar keluar. Apa kata orang. Lagi pula, mengapa di ruang ini hanya ada kami berdua? Mana yang lainnya? Benarkah yang lain tak punya tenggang rasa untuk ikut menemaniku di sini?Kucoba menggerakkan tubuh. Terasa berat, sakit, ngilu, kaku. Aku kenapa? Tak mungkin lumpuh, kan?“Laras, kamu sudah sadar?” Mike terjaga merasakan derit ranjang saat aku bergerak.“Mana yang lain?” tanyaku to do point,“Sudah pulang. Kamu pingsan semalaman. Mereka harus kembali ke perusahaan pagi ini sesuai jadwal.”Apa? Terbelala
“Bukan hanya diriku yang menginginkan pernikahanmu berakhir, tapi mertuamu juga. Tak bisakah kau berhenti berjuang untuk keluarga itu?”Mendengar nama mertuaku disebut, hati ini kembali terhasut. Prasangkaku selama ini, benarkah? Menolak mempercayai, aku menggeleng-gelengkan kepala.“Kenapa kamu bilang begitu?” Meski sejak dulu aku telah menaruh curiga, tetapi tak ada bukti mengarah ke sana. Selain karena kondisi Mas Danu yang berada di hadapan gerbang kematian. Wajar, jika kemudian beliau memilih mengabaikanku demi lebih memedulikan putra tunggalnya.“Aku mendekatimu karena mendapat tugas darinya. Menggoyahkanmu.”Dia bohong ‘kan? Hatiku menolak percaya, meski otakku tidak. Semua masuk akal. Semua ini terencana.“Mulanya itu hanya lelucon bagiku. Hingga malam itu, saat malam gala dinner. Kau muncul bak bidadari yang membuatku sulit berkedip, walau hanya satu detik. Aku mengira-ngira, kamu bisa jadi begitu indah bak bintang di atas langit, jika kamu mau sedikit berusaha. Tetapi kenapa
Dokter datang bersama seorang perawat, menghentikan percakapan kami. Ia memeriksaku dengan saksama.“Ibu harus jaga kesehatan. Atur pola makan. Nanti saya kasih obat penguat kandungan. Ini nadi ibu lemah sekali. Awas, berbahaya bagi ibu dan janin.”“Janin, Dok?” Dokter ini pasti salah diagnosa. Bagaimana ia bisa mengatakan hal-hal aneh yang seharusnya diucapkan dokter kandungan kepada ibu hamil.“Bapak, istrinya lebih diperhatikan ya, jangan dibuat stres. Jika ibu stres, bayi bisa lahir prematur dengan bobot lebih rendah. Tubuh ibu hamil yang merasakan cemas berlebihan akan memproduksi hormon epinephrine dan norepinephrine yang membuat pembuluh darah menyempit. Akibatnya suplai darah dan oksigen ke janin berkurang. Bahaya, bisa menghambat tumbuh kembang janin. Banyak kasus ibu yang mengandung dalam keadaan stres kronis, anak yang dilahirkan memiliki kecenderungan penyakit bawaan seperti kelainan jantung dan autisme. Tolong dijaga istrinya.”Lalu dokter pria tua itu menoleh padaku. “Ib
“Mbak, dipanggil Mister Mike di ruangannya,” kata salah satu rekan kerja yang satu divisi denganku. Amanda yang ikut mendengarnya melempar tatapan tajam. Meja kami saling berdekatan meski diatur berseberangan. Sejak kembali dari Cilacap, wanita yang semula ramah itu berubah dingin bak es batu. Mungkinkah karena cemburu?Mike adalah atasan kami. Dia punya wewenang untuk memberikan instruksi. Tak mungkin mengabaikan panggilan itu jika ingin bersikap profesional selaku pegawai. Kecuali aku sengaja memamerkan kartu emas sebagai pegawai spesial – menantu CEO—untuk mengacuhkan panggilan itu.Kuanggukkan kepala. Mengacuhkan tatapan pegawai lain yang mulai kasak-kusuk di belakang. Mengabaikan panggilan Mike ketika jam kantor adalah tindakan bodoh yang membenarkan asumsi orang. Menghindari masalah tak membuat masalah itu hilang. Justru kian berlarut-larut.Hadapi, Laras. Tegaskan padanya sikapmu dan jangan biarkan pria itu mengira berkuasa terhadap dirimu. Nasihat diri yang bergema berkali-kal
“Kamu membuatku takut karena kamu bagian dari rencana mereka. Kamu membuatku takut, karena kamu tega mengatakan ini semua padaku. Kamu membuatku takut, karena berbagai kerumitan ini semakin menjadi-jadi setelah kamu ada.” Kutatap Mike putus asa. “Katakan padaku, mengapa kamu bisa mencintai wanita biasa sepertiku di saat kamu tahu betapa malang nasibku? Untuk saham itu?” Bibirnya menyeringai. “Saham itu akan kudapatkan untuk kuberikan padamu! Jika kau ragu, kita bisa buat surat perjanjian.”“Perjanjian lagi? Pernikahan itu sendiri adalah perjanjian agung. Tapi mereka mengingkari. Membaut semua hanya sebagai lelucon semata. Kamu tidak jatuh cinta Mister. Kamu hanya memanfaatkan situasi ini. Tak ada alasan bagimu untuk menyukaiku!”Pria berkepala batu itu menggeleng. “Jujur, aku pun tak mau terlihat ini jika bukan karena kamu! Karena keteguhan cintamu membuatku iri. Ibuku bukan wanita setia yang bisa menetap dalam satu cinta. Karena itu ia sering berganti-ganti pasangan dan membuatku m
“Kalau begitu dia harus memilih satu di antara mereka. Dia tak bisa memiliki keduanya,” sergah Mike tak puas dengan pernyataan Caca. Mereka berbicara dengan volume rendah tetapi penuh penekanan dalam setiap kalimat. Aku bisa merasakan kemarahan pada kedua insan yang tengah membicarakan diriku, yang kini tengah berbaring di ranjang rumah sakit. Aku tahu itu karena merasakan selang infus di tanganku.“Kata siapa dia harus memilih. Dia lelaki. Dia berhak menikahi dua, tiga atau empat wanita yang disukainya sekaligus. Kamu hanyalah seorang mualaf yang tak sungguh-sungguh mengimani Islam. Kamu bahkan tak berusaha mempelajari ajarannya. Kamu berpindah keyakinan untuk menikah, tetapi kemudian gagal. Tahu apa kamu tentang poligami? Asal Laras ikhlas, asal Sekar mau, mereka bisa hidup bersama dengan berbagai suami. Kau telah mengotori nama Laras. Menjauhlah darinya sekarang!”“Aku tidak akan bergeser, satu centi pun darinya. Kamu tidak pernah memikirkan kebahagiaan Laras. Kamu hanya takut saha
Caca duduk di samping ranjang tempat tidurku.“Kamu jaga kesehatan, dong. Atur pola makan. Minum vitamin kalau perlu. Wajahmu pucat seperti mayat.” Seperti biasa, Caca jago mengomeli orang.“Apa gunanya cantik jika tidak sehat. Kamu enggak perlu diet. Sekarang lagi tren pria suka wanita montok. Kata Mbok Minah, kamu ajrang makan, ya? Ngemil juga enggak. Duh, ngapain setiap hari makan hati. Sudah mikirin Mas Danunya. Pikirin Adam dan Hawa saja,” imbuhnya meracau. Kali ini aku suka ada yang memarahi. Caca, Caca, dia membuatku merasa memiliki seseorang sebagai teman.“Kok bisa pingsan kenapa? Kamu kecepekan apa? Atau mau berhenti kerja.”Ketika pembicaraan sudah ke arah sana, seketika aku panik.“Aku ga mau berhenti kerja, Ca. Kecuali kamu juga berhenti kerja.”“Lho kok begitu sih? Apa hubungannya sama aku?”“Aku ingin seperti kamu. Jadi wanita karier yang pintar, lincah, dan mandiri.”Caca menghela nafas. “Baiklah. Sesukamu saja. Tapi jangan bikin ribut-ribut lagi. Mbak juga harus memik