"Masih di sini, Naila. Belum menikah? Adikmu saja sudah menikah tuh.”
Naila yang sedang mengambil pesanan sang pembeli, menghentikan gerakan tangannya. Ia menyibukkan diri sendiri agar tidak perlu menyahuti omongan tersebut.“Cepatlah menikah, Nai,” imbuh pembeli warung tadi sambil tersenyum sinis. “Nanti kamu jadi perawan tua loh.”"Belum waktunya, Bu," ucap Naila sambil menghela napas pelan. Naila sudah terbiasa mendapat pertanyaan tentang menikah dari orang sekitarnya.Mendengar jawaban Naila, tetangga sepuluh langkah itu malah melayangkan tatapan penuh hinaan yang langsung membuat Naila menundukkan pandangan.Naila Taleetha tidak cacat secara fisik ataupun memiliki perilaku yang tidak baik. Hanya saja, ia memiliki kekurangan di wajahnya.Akibat kecelakaan hebat beberapa tahun silam, wajah Naila di sebelah kiri terluka parah. Kini, keadaan wajah Naila amat mengerikan, kelopak mata Naila sedikit menyipit, pipinya hancur sebagian dan berwarna hitam.Kala itu Naila dan papanya hendak pergi ke desa sebelah menggunakan sepeda motor. Namun, naas kecelakaan tak dapat terelakkan, saat sebuah truk dari arah berlawanan melaju dengan sangat cepat. Hingga mengakibatkan Naila terpental jauh dan tubuhnya terseret mengenai jalanan aspal. Sementara, papanya meregang nyawa di tempat.Ketika petugas kesehatan di kampung menyarankan Naila operasi wajah di Jakarta, Naila hanya bisa pasrah sebab ia tak memiliki cukup uang untuk biaya operasi ke ibu kota. Apalagi kehidupannya selama ini hanya cukup untuk makan saja."Haha ngawur, Bu! Bagaimana sih, mana ada yang mau sama Naila. Tampang jelek gini, yang ada malah lari mereka!"Tiba-tiba terdengar suara mama tiri Naila, Mirna, yang tidak sengaja mendengar pembicaraan tersebut, menghinanya seperti yang kerap kali ia lakukan.Setelah mama kandungnya meninggal, Naila kecil hidup bersama Papanya. Namun, sepuluh tahun lalu sebelum meninggal, papanya menikah lagi dengan janda beranak dua, dan kini dia tinggal bersama mama tirinya, yang kebetulan membuka warung kecil di dalam rumah. Setiap hari Naila membantu Mirna, melayani pembeli. Sedangkan, Salem dan Rani, dua adik tiri Naila, merantau ke ibu kota.Mendengar komentar mama tiri Naila, pecahlah tawa wanita berdaster bunga itu seketika."Haha, iya juga ya! Bisa kabur mereka.” Tetangga itu menimpali. “Oh ya, dengar-dengar Rani baru pulang dari Jakarta ya, Mir?""Iya, baru sampai semalam. Sekarang Rani masih tidur di kamarnya.” Mirna keluar dari dalam rumah untuk menyapa tetangganya dengan ramah. Namun, ekspresinya langsung berubah saat melirik ke arah Naila. “Rani kalau pulang banyak bawa uang, nggak kayak si ireng ini, bisanya cuma numpang di rumah! Entah sampai kapan dia ada di sini, mataku sakit melihat wajahnya itu!"Naila hanya bisa menundukkan kepala menyadari kebencian dalam mata Mirna. Ia tidak mengatakan apa pun dan hanya menyerahkan kantong belanjaan ke tangan pembeli."Mending dijodohkan saja, Mir." Si tetangga berambut pendek itu mengambil alih kantong dari tangan Naila. “Sama si itu tuh, pemuda yang tinggal di gubuk di ujung desa! Cocok, kan?Helaan napas berhembus dari hidung mungil Naila, tampak lelah. "Tidak perlu, Bu. Aku bisa mencari jodoh sendiri nanti," kata gadis itu sembari berharap tetangganya mengganti topik.Saat mendengar jawaban Naila, pembeli malah menatap tak suka dan Mirna malah menempeleng kepala Naila tiba-tiba."Eh, nggak usah belagu kamu! Wajah jelek begini mana ada yang mau!"Naila lantas terkejut. Dia memberanikan diri menatap balik Mirna, sedangkan si pembeli tersenyum lebar melihat ketidakberdayaan Naila."Apa?! Berani kamu sama aku sekarang!? Sampai melotot begitu." Mirna mengangkat angkuh dagunya lalu melipat kedua tangannya di depan dada, padahal Naila hanya memandang balik mama tirinya biasa saja.Namun, melihat respons si mama tiri, tanpa sadar Naila mengepalkan kedua tangannya, mencoba menahan rasa kesal dalam hati. Sudah terlampau sering Mirna memperlakukan dia semena-mena. Akan tetapi, tentu kesabaran Naila ada batasnya.Melihat keberanian yang terpancar dari mata Naila, Mirna mendorong tubuh Naila hingga gadis itu tersungkur ke lantai. Rasa sakit mendera tubuh Naila tiba-tiba, hingga ia meringis pelan sejenak.“Anak tidak tahu diuntung! Anak sial!” bentak Mirna. “Tidak cukup membuat suamiku meninggal, sekarang kamu berani menantangku, hah?”Naila tersentak. Hatinya terasa perih.Bukan dia pula yang menginginkan papanya pergi. Apa sebegitu hinakah dia di mata Mirna. Dulu Mirna sangatlah baik padanya. Namun, selepas kepergian papanya. Mirna mulai menampakkan wujud aslinya."Aku malu memiliki anak sepertimu! Umurmu sudah tua, Nai! Dan kamu belum menikah sampai sekarang! Rani yang umurnya lebih muda darimu saja sudah menikah! Cepatlah menikah dan pergi dari rumah ini agar aku tidak bisa melihat kamu lagi!!" lanjut Mirna lagi, seraya menatap Naila dengan dada naik turun penuh kemarahan.Naila tertunduk dalam. Jauh di lubuk hatinya, dia ingin sekali menikah. Namun, siapa yang mau menikah dengan wanita buruk rupa sepertinya. Setiap hari Naila menyembunyikan wajahnya dengan memakai syal di atas kepala. Alhasil di umurnya yang menginjak 32 tahun, Naila belum juga menikah."Permisi, mau beli rokok!" Kedatangan pengunjung lain di warung tersebut lantas menghentikan persengitan yang terjadi antara ibu dan anak itu.Mirna berdecak. Ia berbalik meninggalkan Naila dan bergabung dengan si tetangga yang merupakan teman bergosipnya sementara Naila langsung berdiri.Naila bisa menangkap tatapan menghina di mata mama tirinya dan tetangga tersebut saat mereka memindai pemuda yang baru saja datang."Huek, ya ampun warung ini menjadi bau sekali gara-gara dia datang! Dasar pria miskin!" komentar si tetangga sambil menutup hidung seketika dan melempar pandangan ke arah Mirna. “Itu tuh, yang tadi kubilang pemuda yang bisa kamu jodohkan sama Naila.”Naila menatap pria yang langsung menunduk saat mendengar komentar tersebut. Gadis itu mengamati penampilan si pria yang seperti preman pasar, memiliki rambut panjang sebahu, rahangnya berjambang, ditumbuhi bulu-bulu lebat. Kulitnya pun berwarna agak sedikit kecokelatan dan aroma tak sedap tercium dari tubuhnya.Padahal, Naila tidak mencium bau yang terlalu menyengat. Mengapa si tetangganya tersebut gemar sekali merendahkan orang lain?"Tidak ada bau, Kok. Jangan seperti itu, Bu," kata Naila dengan lembut untuk menguatkan pria di depannya.Sang pembeli melebarkan mata dan memandang Naila dengan tatapan ttidak percaya. Sementara Mirna melototkan mata kala Naila berani melawan. "Diam Naila! Berani sekali kamu sama orang yang lebih tua. Urus dulu itu pembelinya! Dasar anak pembangkang kamu!"Naila hanya mampu menghela napas dalam-dalam setelahnya dan menuruti kata-kata mama tirinya.“Rokok jenis apa ya?" Naila bertanya tanpa menatap sang pembeli kemudian. Ternyata pria itu mengamatinya, entah sejak kapan Setiap kali bertatap muka dengan seseorang, Naila pasti malu. Sesekali dia membenarkan syal di atas kepalanya itu."Seperti biasa."Naila mengangguk.Pria itu adalah Ali, seorang pria yang umurnya jauh lebih muda darinya. Dari kabar burung yang terdengar, Ali adalah mantan anggota mafia, pengusaha bangkrut, anak terbuang, dan masih banyak lagi gosip yang beredar.Namun, itu hanyalah kabar burung. Kenyataannya, pria itu adalah pria yang kerap dihina oleh orang-orang desa karena hanya tinggal di sebuah gubuk sederhana di ujung desa.Naila melangkah menuju kotak penyimpanan rokok dan menyambar benda pipih mengandung nikotin tersebut. Kemudian memberikan rokok itu kepada Ali.Ali meraih kotak rokok dari tangan Naila dan tak lupa membayarnya."Hei! Cepatlah pergi! Aku tak sanggup mencium badanmu itu hah!!!" Sang pembeli memekik tiba-tiba.Naila menoleh. "Bu, sudahlah," balasnya cepat."Naila! Apa-apaan kamu! Bersikaplah baik sama pembeli!" Dengan cepat, Mirna mendekati Naila seketika dan menoyor kepala gadis itu hingga membentur dinding dan terjatuh.Naila terlalu terkejut untuk bereaksi. Rasa sakit menjalar cepat dan membuat matanya mulai berkaca-kaca lagi, menahan rasa sakit dan malu di depan dua orang sekaligus. Naila sungguh tak menyangka, wanita yang selama ini ia hormati, memperlakukannya semena-mena semakin hari."Hei! Apa kamu sudah gila!" seru Ali sambil mendekati Naila."Jangan ikut campur kamu! Anak ini memang tak punya adab!" seru Mirna."Justru Anda dan tetangga itu yang tak punya adab sama sekali!" Ali tak mau kalah.Ketegangan mulai terasa di sekitar."Sudahlah, Ali, aku tak apa." Naila memberanikan diri menatap Ali. Dia teramat senang, karena untuk pertama kalinya ada seseorang yang mau membelanya. Naila tak mau Ali berkelahi dengan Mamanya karena ulahnya.Ali enggan menyahut. Dia malah melayangkan tatapan aneh lagi, yang tak bisa Naila artikan sama sekali saat ini. Naila menundukkan pandangannya kembali."Sudah! Lebih baik kamu pergi sana! Cuih!" Tetangga itu tiba-tiba membuang air liur tepat di wajah Ali.Mata Naila terbelalak seketika, terkejut dengan sikap tetangganya tersebut."Iya, pergi sana kamu!" Mirna menimpali sambil melipat tangan di depan dada.Sementara Ali menghapus cepat air ludah di wajahnya dan menatap tajam wanita paruh baya di hadapannya itu."Tanpa kalian suruh pun, aku akan pergi!" kata Ali lalu melangkah pergi dari warung.Naila menatap punggung Ali bergerak keluar warung. Merasa iba karena nyatanya ada seseorang yang diperlakukan sama sepertinya.“Ck, menyusahkan saja!” sungut Mirna. Ia lalu menyadari tatapan Naila pada pemuda bau yang baru saja meninggalkan warung.Sepasang mata wanita paruh baya itu menyipit. “Hm. Dinikahkan ya. Sepertinya aku bisa menyingkirkan si pembawa sial ini,” batin Mirna.Setelah itu, mama tiri Naila tersebut pergi dari rumah. Naila tidak tahu ke mana wanita itu pergi, yang jelas ia merasa agak lega ketika tidak mendapati keberadaan mama tirinya tersebut di sekitar warung untuk mengomelinya.Namun, bak disambar petir di siang bolong, Naila begitu terkejut saat mamanya kembali ke rumah dan mengatakan akan menikahkan Naila dengan pria yang sama sekali tidak Naila ketahui sosoknya."Apa maksud, Mama? Aku tidak mau menikah dengan pria yang tidak aku cintai!"Saat mendengar penolakan Naila. Mirna naik pitam. Tanpa banyak kata dia melayangkan tamparan kuat di pipi Naila."Ahk!" Naila tersentak. Rasa sakit dan panas yang menerpa pipi kanannya tiba-tiba, Naila mengusap pelan pipinya. Lalu menatap sendu, wanita yang dulu pernah memberinya kasih sayang. Secara bersamaan air mata mengalir perlahan dari pelupuk matanya. "Jangan membantah kamu! Aku ini Mamamu! Umur kamu sudah tak muda lagi. Seharusnya kamu bersyukur, aku mencarikan kamu jodoh!" Dengan dada yang naik dan turun Mirna menjeda kalimatnya. "Apa kamu pernah berpikir, Naila? Tidak ada laki-laki yang mau dengan wanita cacat sepertimu! Apa kamu tuli?! Hampir setiap hari para tetangga selalu menggunjingmu. Kamu membuatku malu, Naila!" Mirna kembali melanjutkan. Naila terisak pelan. Apa sebegitu berartikah pernikahan? Sempat terbersit dibenaknya untuk tidak menikah. Namun, menurut pandangan orang-orang, wanita yang belum menikah saat di umur kepala tiga adalah sebuah aib. Saat mendengar
'Kalaupun aku menolak, tidak akan bisa, 'kan. Lagipula perjodohan ini sudah di atur Mamaku.'Naila hanya dapat melontarkan kata-kata itu di dalam hatinya. Dia mengangguk pelan, sebagai tanda mengiyakan perkataan Ali. Setelah bergelut dengan pikirannya tadi. Naila memutuskan menerima perjodohan tersebut. Lebih baik serumah dengan orang tak di kenal, daripada harus tinggal di rumah Mama tirinya yang seperti neraka."Baguslah, kamu akan tinggal di rumah kecilku nanti, dan aku tak bisa menjanjikan cinta untukmu," lanjut Ali lagi. 'Iya, aku tahu itu. Laki-laki mana yang mau mencintai wanita jelek sepertiku ini.'Sekali lagi Naila menganggukkan kepala. Ingin sekali ia bertanya, mengapa Ali mau menikah dengannya. Namun, Naila mengurungkan niatnya ketika melihat sorot mata Ali yang menyeramkan, menurutnya. Padahal Ali tak menunjukkan ekspresi sama sekali saat ini. "Apa ada lagi yang mau kamu tanyakan?" "Tidak ada." Naila menggeleng cepat dan menatap dalam bola mata Ali. Walau rambut Ali pa
"Pfft! Haha, apa kamu sedang membuat lelucon, Al. Lucu sekali."Tawa Naila pecah seketika. Apa dia tidak salah mendengar tadi jika Ali mengatakan dirinya adalah seorang CEO. Walau Naila tak tamat sekolah. Tapi, dia sedikit mengetahui istilah-istilah sebutan tersebut. Setahunya kepanjangan CEO adalah chief executive officer, jabatan tertinggi dalam sebuah perusahaan. Naila tak mempercayai perkataan Ali barusan."Jadi kamu mengatakan aku berbohong begitu?" Dengan mengangkat sedikit alis matanya, Ali bertanya. Suara Ali terdengar dingin, membuat tawa Naila menghilang seketika. Dia melempar senyum hambar setelahnya. Naila diterpa kebingungan. Apa harus mempercayai Ali atau tidak. Lihatlah saja, rumah dan penampilan Ali tak mencerminkan Ali adalah seorang CEO. Belum lagi, Ali tinggal di rumah bambu, ukurannya lebih kecil dari rumah Mamanya. Namun, dari kedua mata Ali tak ada kebohongan yang tersirat. Pria itu seakan menegaskan jika yang dikatakannya tadi adalah benar.Hening sesaat. Suas
"Shftt ...."Naila mengaduh kesakitan kala tulang ekornya membentur tanah.Rani melangkah cepat lalu menarik cepat syal putih Naila di atas kepalanya dan menjambak rambutnya seketika."Ahk! Lepaskan aku, Rani!" pekik Naila, sembari menahan rasa sakit di rambutnya. Dia berusaha memberontak. Namun, tak bisa kala Rani juga menginjak kuat kaki sebelah kirinya. Rasa sakit di kaki dan kepalanya semakin menjadi-jadi. Rani tersenyum licik. Ia sudah gelap mata dan gelap hati. Tak peduli dengan teriakan pilu Naila. "Dasar wanita jelek! Kamu berani denganku hah! Rasakan ini!" Rani semakin menarik kuat rambut Naila hingga Naila menitihkan air matanya."Lepaskan aku, Rani!" Naila berusaha bangkit berdiri."Haha! Tidak akan!" Seperti seorang psikopat, Rani tertawa terbahak-bahak, menganggap rasa kesakitan Naila adalah kesenangannya. Dia mendongakkan kepalanya ke atas sesaat sambil mengeluarkan tawa.Saat melihat ada celah, dengan sekuat tenaga Naila bangkit berdiri dan mendorong tubuh Rani sampai
"Haha!"Mendengar perkataan Ali barusan, suara tawa Rani dan penduduk desa pecah seketika. Mengabaikan tatapan Ali, Rani membuka suara tiba-tiba. "Ada-ada saja kamu, Ali! Teruslah berkhayal dan bermimpi, mana ada bos berpenampilan sepertimu! Kalian berdua sama-sama cocok! Satu buruk rupa, satunya lagi gila!" Rani tertawa kembali sambil berkacak pinggang."Benar Rani, sepertinya pria miskin ini gila. Berhentilah mengkhayal, Ali! Lebih baik bawa pergi istri jelekmu dari sawah, mata kami sakit melihat wajahnya itu!" Salah seorang pemuda yang sedang menonton pertengkaran antara Naila dan Rani tadi, menimpali seketika. "Iya! Bawa pergi sana istrimu itu! Tak usah membajak sawah! Mata kami semuanya sakit melihat pemandangan yang menjijikkan itu!" Pemuda yang menanam padi di sawah juga ikut mengeluarkan pendapat. Saat mendengar tanggapan mereka, mata Ali semakin melebar dan rahangnya pun mengeras. Sementara Naila menundukkan wajahnya. Dengan air mata masih mengalir deras dari pelupuk matan
Saat mendapat tatapan tajam dari wanita dan pria paruh baya di hadapannya, Naila langsung menundukkan pandangan. Ketakutan mulai menerpa hatinya dikala hawa di sekitar mulai terasa tak nyaman saat ini. "Ini istri Tuan Ali, namanya Naila. Tuan Ali sedang pergi ke kantor, Nyonya." Sebagai orang kepercayaan Ali, Santi mulai membuka suara. Walau rasa takut pun menderanya. "Istri?"Mendengar jawaban Santi, Anya Taamir—Mama kandung Ali, mengerutkan dahi."Iya Nyonya," sahut Santi, cepat.Untuk sejenak Anya melempar pandangan pada pria di sampingnya. Suara tawa tiba-tiba berkumandang di sekitar. Pasangan suami-istri itu tengah tertawa terpingkal-pingkal. Menganggap perkataan Santi barusan adalah sebuah lelucon. Saat Mendengar tawa yang tak asing ditelinganya, Naila masih bergeming, dengan rasa takut hinggap dihatinya sedari tadi. Tanpa berniat sekalipun menggerakkan kepala, Naila meremas ujung pakaiannya, cemas. "Haha! Astaga Santi, siang-siang begini kamu malah membuat lelucon, ada-ada
Naila tergugu, lidahnya sangat sulit digerakkan. Suara yang terdengar barusan memang benar Ali. Namun, mengapa penampilan Ali teramat berbeda. Ali menggenakan setelan jas berwarna hitam, rambutnya tampak pendek dan rapi, lalu tak ada lagi jambang panjang terlihat di rahangnya. Meski garis mukanya sama, tapi Ali tampak asing dimatanya sekarang. Masih duduk di atas lantai, Naila menundukkan wajah ke bawah. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar di rambutnya.Sementara Anya, secara perlahan-lahan menurunkan tangannya dari kepala Naila. Lalu melipat tangan di dada, melirik ke arah Salman sesaat dan berkata,"Istri? Jangan aneh-aneh Ali! Apa kamu sedang mengarang cerita sama seperti Santi?" Anya dan Salman tertawa remeh sejenak, tak percaya akan perkataan putra bungsunya itu barusan.Ali enggan menyahut, berjalan cepat, menghampiri Naila dan mengulurkan tangannya. Mengabaikan kedua orang tuanya yang masih tertawa. "Nai, bangunlah!" Ali berkata dengan penuh penekanan, berharap Naila dapat s
Kembali ke dalam mansion, Naila dan Ali bergeming di tempat. Keduanya tengah berdiri menghadap ke arah pintu utama."Naila." Ali membalikkan badannya ke belakang seketika, melihat Naila masih menundukkan pandangan."Iya, Al," sahut Naila, memberanikan diri mengangkat wajah. "Kamu tak apa-apa, 'kan?" Ali menelisik keadaan tubuh Naila dari atas sampai ke ujung kaki, apakah ada yang terluka atau tidak.Naila menggeleng cepat dan berkata, "Tidak ada, Al, aku baik-baik saja." 'Tapi hatiku yang sakit, Al. Mengapa semua orang membenciku.' Naila hanya dapat melontarkan kalimat tersebut di dalam hatinya. Memikirkan penderitaannya yang tak kunjung habis.Kepergiannya ke ibu kota pun masih ada saja orang yang menyiksa dan mencaci makinya. Namun, sekarang Naila merasa senang sebab ada seseorang yang memperlakukannya selayaknya manusia, dialah Ali, suaminya sendiri. Meskipun Ali tampak asing di matanya kini. Oleh sebab itu, ketampanan Ali membuat Naila berkecil hati. Dia merasa tak pantas bersan