Saat mendengar penolakan Naila. Mirna naik pitam. Tanpa banyak kata dia melayangkan tamparan kuat di pipi Naila.
"Ahk!"Naila tersentak. Rasa sakit dan panas yang menerpa pipi kanannya tiba-tiba, Naila mengusap pelan pipinya. Lalu menatap sendu, wanita yang dulu pernah memberinya kasih sayang. Secara bersamaan air mata mengalir perlahan dari pelupuk matanya."Jangan membantah kamu! Aku ini Mamamu! Umur kamu sudah tak muda lagi. Seharusnya kamu bersyukur, aku mencarikan kamu jodoh!" Dengan dada yang naik dan turun Mirna menjeda kalimatnya. "Apa kamu pernah berpikir, Naila? Tidak ada laki-laki yang mau dengan wanita cacat sepertimu! Apa kamu tuli?! Hampir setiap hari para tetangga selalu menggunjingmu. Kamu membuatku malu, Naila!" Mirna kembali melanjutkan.Naila terisak pelan. Apa sebegitu berartikah pernikahan? Sempat terbersit dibenaknya untuk tidak menikah. Namun, menurut pandangan orang-orang, wanita yang belum menikah saat di umur kepala tiga adalah sebuah aib.Saat mendengar isakan tangis Naila, Mirna kembali berseru,"Aku tidak mau tahu, kamu harus menerima perjodohan ini!" Lalu melangkah pergi, meninggalkan Naila yang masih berlinangan air mata.***Jarum jam bergerak cepat menuju angka lima. Di sebuah rumah berlapis kayu, tepatnya di ruang paling ujung, Naila memekik kesakitan tiba-tiba saat baru saja keluar kamar mandi. Tangannya ditarik tiba-tiba oleh seseorang dari belakang, hingga ia terjembap ke atas lantai kini."Ahk, sakit ...."Naila mendongakkan wajah. Melihat adik tirinya, memandanginya dengan sorot mata menyala-nyala."Ada apa, Rani? Aku salah apa?" tanya Naila sambil berusaha bangkit berdiri."Kamu masih bertanya?! Aku baru saja sampai di rumah. Mataku sakit melihat wajah buruk rupamu itu! Mati saja kamu, Nai!" seru Rani, berapi-api.Naila menggeleng pelan. Tak habis pikir dengan pikiran Rani. Dia juga tak mau memiliki wajah yang tak menarik. Namun, apa boleh buat. Takdir berkata lain. Naila harus menahan rasa sakit dan malu karena kekurangannya ini."Apa kamu sudah gila, Rani? Aku juga tidak mau memiliki wajah seperti ini ta—""Diam kamu!" Rani langsung menyela."Ada apa ini?"Saat mendengar kegaduhan di ruang belakang, Mirna bergegas keluar kamar, melihat Naila dan Rani tengah berseteru.Naila dan Rani serempak menoleh."Ma, mengapa wanita ini belum pindah rumah! Maksudku, kenapa dia tidak Ikut suaminya atau apa! Aku malas melihat wajahnya itu, yang selalu membuatku mual dan mau muntah!" Rani berseru hingga bola matanya hampir saja keluar dari tempatnya.Mata Naila membulat, mendengar perkataan Rani barusan.Sementara Mirna, senyum sinis terpatri jelas di wajahnya seketika."Kamu tenang saja, Rani. Sebentar lagi juga dia akan dibawa suaminya dan tidak tinggal di sini." Dagu Mirna terangkat sedikit."Maksud Mama, buruk rupa ini akan dilamar?" tanya Rani."Iya! Mama sudah menjodohkannya dengan pemuda yang tinggal di ujung desa."Rani tersenyum sumringah setelahnya."Tidak Ma, bukankah sudah aku katakan tadi. Aku tidak mau!" Sekali lagi Naila menolak. Dia tidak mau menikah dengan seseorang tanpa dasar cinta."Diam!" Mirna kembali melayangkan pukulan di pipi kanan Naila.Naila tersentak kembali. Cairan bening meluruh perlahan dari bola matanya."Jangan membantah, Naila! Mengapa kamu keras kepala sekali hah!" Mirna berkata dengan napas memburu.Naila enggan menanggapi. Dia terisak pelan sambil memegang pipinya yang terasa panas sekarang."Sudahlah, Ma. Nanti penyakit Mama kumat lagi. Sekarang Mama beristirahat saja," kata Rani seketika sambil mengelus pelan punggung Mirna."Nanti sore, pemuda itu akan datang. Bersikaplah manis. Jangan sampai dia berubah pikiran!" Mirna tak menanggapi Rani. Dia malah menatap tajam Naila.Naila tergugu. Bibirnya kelu dan sangat sulit untuk digerakkan sekarang."Ayo Ma, kita ke kamar."Rani mengajak mamanya masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Naila mematung di tempat. Dari sudut matanya masih mengalir pelan air mata. Naila dilema. Apa harus menerima perjodohan tersebut.Dahulu Naila memiliki mimpi menikah bersama pria yang dia cintai. Namun, saat tertimpa musibah, impian Naila lenyap seketika.***Waktu menunjukkan pukul empat sore. Di atas pencakar langit, mentari mulai redup. Semilir angin yang menerpa padi-padi di hamparan sawah. Membuat para penduduk desa menghentikan aktivitasnya, dan memilih menikmati suasana sore hari di sekitar mereka.Sedari tadi Naila begitu gelisah, menunggu kedatangan calon suaminya di ruang tamu bersama Mirna. Kebaya putih sederhana sudah terbalut rapi di tubuh kurusnya itu. Tadi, Mirna memaksanya memakai pakaian tersebut.Naila melirik Mamanya sekilas, tengah duduk manis di hadapannya, sedangkan Rani memilih bersantai di kamar. Naila sempat bertanya pada Mirna tadi, siapa yang mau menikahinya. Tetapi, Mirna tak berniat sekalipun memberitahunya. Naila hanya bisa pasrah dan menerka-nerka.Saat mendengar bunyi ketukan pintu dari luar seketika, Naila menggerakkan kepala ke daun pintu. Sementara Mirna berjalan cepat menuju ambang pintu dan memutar gagang besi tersebut."Ya ampun, kamu sudah datang, ayo mari, masuklah!" Dengan semangat Mirna mempersilakan Ali untuk masuk.Beberapa jam sebelumnya, Mirna mendapat saran dari tetangga sebelah rumahnya, untuk menjodohkan Naila dengan Ali. Tanpa pikir panjang, dia pun pergi ke rumah Ali tadi siang dan meminta Ali meminang anak tirinya itu. Ali pun menerima tawaran tersebut, setelah dibujuk rayu olehnya.Ali mengangguk dan melangkah masuk ke dalam.Naila terkejut ketika melihat ternyata pemuda tadi pagi yang akan menjadi suaminya kelak. Naila langsung menundukkan pandangan. Dia diterpa dilema sekarang."Ayo, duduklah Ali, hehe maaf ya, aku terlalu kasar denganmu tadi pagi," kata Mirna, menyuruh Ali untuk duduk di hadapan Naila.Sekali lagi anggukan pelan sebagai balasan Ali. Pria itu langsung menjatuhkan bokongnya di atas kursi kayu lalu menatap datar ke arah Naila."Apa kamu datang sendiri, Ali?" Mirna heran karena tak melihat sanak saudara ataupun orangtua Ali datang bersamanya."Iya, aku datang sendiri. Orangtuaku tak sempat datang. Oh ya, sebelum itu aku ingin berbicara empat mata dengan Naila," sahut Ali, cepat. Tanpa mengalihkan pandangan dari Naila sedikitpun.Naila bergeming di tempat."Apakah harus? Aku kan Mamanya, jadi lebih baik aku juga ikut mendengarkan." Mirna ingin mendengar apa yang disampaikan Ali. Namun, Ali melayangkan tatapan dingin padanya, memberi kode bahwa dia hanya ingin berbicara dengan Naila saja."Baiklah. Aku akan pergi ke ruang sebelah sebentar, hehe." Mirna terkekeh hambar setelahnya. Lalu meninggalkan Ali dan Naila di ruang tamu.Suasana mendadak senyap di ruangan. Baik Ali dan Naila sama-sama terdiam dan bergelut dengan batinnya masing-masing."Naila?" Ali membuka suara seketika."Iya." Naila reflek mengangkat wajahnya dan pandangannya langsung bertemu dengan Ali. "Maaf, aku tak bermaksud," katanya sambil memalingkan muka ke samping. Dia malu karena wajahnya membuatnya tak percaya diri."Tak apa, Nai. Tatap saja mataku."Mendengar suara Ali yang menenangkan jiwanya. Naila memberanikan diri menatap ke depan. Penampilan Ali tampak terlihat lebih rapi, tak seperti tadi pagi."Aku sering berbelanja ke warungmu, Nai. Kamu pasti sudah tahu namaku Ali dan nama panjangku Ali Taamir. Besok kita akan menikah. Apa kamu bersedia menikah dengan pria miskin sepertiku?" tanya Ali, sambil menatap datar Naila.'Kalaupun aku menolak, tidak akan bisa, 'kan. Lagipula perjodohan ini sudah di atur Mamaku.'Naila hanya dapat melontarkan kata-kata itu di dalam hatinya. Dia mengangguk pelan, sebagai tanda mengiyakan perkataan Ali. Setelah bergelut dengan pikirannya tadi. Naila memutuskan menerima perjodohan tersebut. Lebih baik serumah dengan orang tak di kenal, daripada harus tinggal di rumah Mama tirinya yang seperti neraka."Baguslah, kamu akan tinggal di rumah kecilku nanti, dan aku tak bisa menjanjikan cinta untukmu," lanjut Ali lagi. 'Iya, aku tahu itu. Laki-laki mana yang mau mencintai wanita jelek sepertiku ini.'Sekali lagi Naila menganggukkan kepala. Ingin sekali ia bertanya, mengapa Ali mau menikah dengannya. Namun, Naila mengurungkan niatnya ketika melihat sorot mata Ali yang menyeramkan, menurutnya. Padahal Ali tak menunjukkan ekspresi sama sekali saat ini. "Apa ada lagi yang mau kamu tanyakan?" "Tidak ada." Naila menggeleng cepat dan menatap dalam bola mata Ali. Walau rambut Ali pa
"Pfft! Haha, apa kamu sedang membuat lelucon, Al. Lucu sekali."Tawa Naila pecah seketika. Apa dia tidak salah mendengar tadi jika Ali mengatakan dirinya adalah seorang CEO. Walau Naila tak tamat sekolah. Tapi, dia sedikit mengetahui istilah-istilah sebutan tersebut. Setahunya kepanjangan CEO adalah chief executive officer, jabatan tertinggi dalam sebuah perusahaan. Naila tak mempercayai perkataan Ali barusan."Jadi kamu mengatakan aku berbohong begitu?" Dengan mengangkat sedikit alis matanya, Ali bertanya. Suara Ali terdengar dingin, membuat tawa Naila menghilang seketika. Dia melempar senyum hambar setelahnya. Naila diterpa kebingungan. Apa harus mempercayai Ali atau tidak. Lihatlah saja, rumah dan penampilan Ali tak mencerminkan Ali adalah seorang CEO. Belum lagi, Ali tinggal di rumah bambu, ukurannya lebih kecil dari rumah Mamanya. Namun, dari kedua mata Ali tak ada kebohongan yang tersirat. Pria itu seakan menegaskan jika yang dikatakannya tadi adalah benar.Hening sesaat. Suas
"Shftt ...."Naila mengaduh kesakitan kala tulang ekornya membentur tanah.Rani melangkah cepat lalu menarik cepat syal putih Naila di atas kepalanya dan menjambak rambutnya seketika."Ahk! Lepaskan aku, Rani!" pekik Naila, sembari menahan rasa sakit di rambutnya. Dia berusaha memberontak. Namun, tak bisa kala Rani juga menginjak kuat kaki sebelah kirinya. Rasa sakit di kaki dan kepalanya semakin menjadi-jadi. Rani tersenyum licik. Ia sudah gelap mata dan gelap hati. Tak peduli dengan teriakan pilu Naila. "Dasar wanita jelek! Kamu berani denganku hah! Rasakan ini!" Rani semakin menarik kuat rambut Naila hingga Naila menitihkan air matanya."Lepaskan aku, Rani!" Naila berusaha bangkit berdiri."Haha! Tidak akan!" Seperti seorang psikopat, Rani tertawa terbahak-bahak, menganggap rasa kesakitan Naila adalah kesenangannya. Dia mendongakkan kepalanya ke atas sesaat sambil mengeluarkan tawa.Saat melihat ada celah, dengan sekuat tenaga Naila bangkit berdiri dan mendorong tubuh Rani sampai
"Haha!"Mendengar perkataan Ali barusan, suara tawa Rani dan penduduk desa pecah seketika. Mengabaikan tatapan Ali, Rani membuka suara tiba-tiba. "Ada-ada saja kamu, Ali! Teruslah berkhayal dan bermimpi, mana ada bos berpenampilan sepertimu! Kalian berdua sama-sama cocok! Satu buruk rupa, satunya lagi gila!" Rani tertawa kembali sambil berkacak pinggang."Benar Rani, sepertinya pria miskin ini gila. Berhentilah mengkhayal, Ali! Lebih baik bawa pergi istri jelekmu dari sawah, mata kami sakit melihat wajahnya itu!" Salah seorang pemuda yang sedang menonton pertengkaran antara Naila dan Rani tadi, menimpali seketika. "Iya! Bawa pergi sana istrimu itu! Tak usah membajak sawah! Mata kami semuanya sakit melihat pemandangan yang menjijikkan itu!" Pemuda yang menanam padi di sawah juga ikut mengeluarkan pendapat. Saat mendengar tanggapan mereka, mata Ali semakin melebar dan rahangnya pun mengeras. Sementara Naila menundukkan wajahnya. Dengan air mata masih mengalir deras dari pelupuk matan
Saat mendapat tatapan tajam dari wanita dan pria paruh baya di hadapannya, Naila langsung menundukkan pandangan. Ketakutan mulai menerpa hatinya dikala hawa di sekitar mulai terasa tak nyaman saat ini. "Ini istri Tuan Ali, namanya Naila. Tuan Ali sedang pergi ke kantor, Nyonya." Sebagai orang kepercayaan Ali, Santi mulai membuka suara. Walau rasa takut pun menderanya. "Istri?"Mendengar jawaban Santi, Anya Taamir—Mama kandung Ali, mengerutkan dahi."Iya Nyonya," sahut Santi, cepat.Untuk sejenak Anya melempar pandangan pada pria di sampingnya. Suara tawa tiba-tiba berkumandang di sekitar. Pasangan suami-istri itu tengah tertawa terpingkal-pingkal. Menganggap perkataan Santi barusan adalah sebuah lelucon. Saat Mendengar tawa yang tak asing ditelinganya, Naila masih bergeming, dengan rasa takut hinggap dihatinya sedari tadi. Tanpa berniat sekalipun menggerakkan kepala, Naila meremas ujung pakaiannya, cemas. "Haha! Astaga Santi, siang-siang begini kamu malah membuat lelucon, ada-ada
Naila tergugu, lidahnya sangat sulit digerakkan. Suara yang terdengar barusan memang benar Ali. Namun, mengapa penampilan Ali teramat berbeda. Ali menggenakan setelan jas berwarna hitam, rambutnya tampak pendek dan rapi, lalu tak ada lagi jambang panjang terlihat di rahangnya. Meski garis mukanya sama, tapi Ali tampak asing dimatanya sekarang. Masih duduk di atas lantai, Naila menundukkan wajah ke bawah. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar di rambutnya.Sementara Anya, secara perlahan-lahan menurunkan tangannya dari kepala Naila. Lalu melipat tangan di dada, melirik ke arah Salman sesaat dan berkata,"Istri? Jangan aneh-aneh Ali! Apa kamu sedang mengarang cerita sama seperti Santi?" Anya dan Salman tertawa remeh sejenak, tak percaya akan perkataan putra bungsunya itu barusan.Ali enggan menyahut, berjalan cepat, menghampiri Naila dan mengulurkan tangannya. Mengabaikan kedua orang tuanya yang masih tertawa. "Nai, bangunlah!" Ali berkata dengan penuh penekanan, berharap Naila dapat s
Kembali ke dalam mansion, Naila dan Ali bergeming di tempat. Keduanya tengah berdiri menghadap ke arah pintu utama."Naila." Ali membalikkan badannya ke belakang seketika, melihat Naila masih menundukkan pandangan."Iya, Al," sahut Naila, memberanikan diri mengangkat wajah. "Kamu tak apa-apa, 'kan?" Ali menelisik keadaan tubuh Naila dari atas sampai ke ujung kaki, apakah ada yang terluka atau tidak.Naila menggeleng cepat dan berkata, "Tidak ada, Al, aku baik-baik saja." 'Tapi hatiku yang sakit, Al. Mengapa semua orang membenciku.' Naila hanya dapat melontarkan kalimat tersebut di dalam hatinya. Memikirkan penderitaannya yang tak kunjung habis.Kepergiannya ke ibu kota pun masih ada saja orang yang menyiksa dan mencaci makinya. Namun, sekarang Naila merasa senang sebab ada seseorang yang memperlakukannya selayaknya manusia, dialah Ali, suaminya sendiri. Meskipun Ali tampak asing di matanya kini. Oleh sebab itu, ketampanan Ali membuat Naila berkecil hati. Dia merasa tak pantas bersan
"Ahk! Tidak! Awas kamu, Ali!" Mirna menjerit histeris di depan rumahnya. Melihat para pria bertubuh besar dan bersetelan jas hitam mengobrak-abrik isi warungnya sekarang. Sepuluh menit lalu, Mirna yang sedang melayani pembeli di warung, begitu terkejut melihat kedatangan empat orang pria asing ke rumahnya. Mereka menyuruh Mirna untuk angkat kaki dari rumahnya sekarang. Sebab atasan mereka ingin membuka lahan di area rumahnya. Tentu saja Mirna tak terima dan mengatakan mereka tak memiliki hak untuk mengusirnya dari rumahnya sendiri. Tanpa banyak kata, salah seorang dari mereka memberikan dia dokumen yang menunjukkan kepemilikan rumah bukan miliknya lagi. Mirna tergugu sejenak, melihat nama Ali tertera di surat tersebut. Gurat kebingungan tergambar pula di wajahnya tadi, bertanya-tanya, mengapa sertifikat rumahnya bisa berada di tangan Ali, bukankah sertifikat rumahnya dia gadaikan kepada Pak RT, sebagai jaminan untuk meminjam uang beberapa tahun lalu. Mirna pun menyesali kebodohanny