Share

Bab 2 - Apa Kamu Mau Menikah Denganku?

Saat mendengar penolakan Naila. Mirna naik pitam. Tanpa banyak kata dia melayangkan tamparan kuat di pipi Naila.

"Ahk!"

Naila tersentak. Rasa sakit dan panas yang menerpa pipi kanannya tiba-tiba, Naila mengusap pelan pipinya. Lalu menatap sendu, wanita yang dulu pernah memberinya kasih sayang. Secara bersamaan air mata mengalir perlahan dari pelupuk matanya.

"Jangan membantah kamu! Aku ini Mamamu! Umur kamu sudah tak muda lagi. Seharusnya kamu bersyukur, aku mencarikan kamu jodoh!" Dengan dada yang naik dan turun Mirna menjeda kalimatnya. "Apa kamu pernah berpikir, Naila? Tidak ada laki-laki yang mau dengan wanita cacat sepertimu! Apa kamu tuli?! Hampir setiap hari para tetangga selalu menggunjingmu. Kamu membuatku malu, Naila!" Mirna kembali melanjutkan.

Naila terisak pelan. Apa sebegitu berartikah pernikahan? Sempat terbersit dibenaknya untuk tidak menikah. Namun, menurut pandangan orang-orang, wanita yang belum menikah saat di umur kepala tiga adalah sebuah aib.

Saat mendengar isakan tangis Naila, Mirna kembali berseru,"Aku tidak mau tahu, kamu harus menerima perjodohan ini!" Lalu melangkah pergi, meninggalkan Naila yang masih berlinangan air mata.

*

*

*

Jarum jam bergerak cepat menuju angka lima. Di sebuah rumah berlapis kayu, tepatnya di ruang paling ujung, Naila memekik kesakitan tiba-tiba saat baru saja keluar kamar mandi. Tangannya ditarik tiba-tiba oleh seseorang dari belakang, hingga ia terjembap ke atas lantai kini.

"Ahk, sakit ...."

Naila mendongakkan wajah. Melihat adik tirinya, memandanginya dengan sorot mata menyala-nyala.

"Ada apa, Rani? Aku salah apa?" tanya Naila sambil berusaha bangkit berdiri.

"Kamu masih bertanya?! Aku baru saja sampai di rumah. Mataku sakit melihat wajah buruk rupamu itu! Mati saja kamu, Nai!" seru Rani, berapi-api.

Naila menggeleng pelan. Tak habis pikir dengan pikiran Rani. Dia juga tak mau memiliki wajah yang tak menarik. Namun, apa boleh buat. Takdir berkata lain. Naila harus menahan rasa sakit dan malu karena kekurangannya ini.

"Apa kamu sudah gila, Rani? Aku juga tidak mau memiliki wajah seperti ini ta—"

"Diam kamu!" Rani langsung menyela.

"Ada apa ini?"

Saat mendengar kegaduhan di ruang belakang, Mirna bergegas keluar kamar, melihat Naila dan Rani tengah berseteru.

Naila dan Rani serempak menoleh.

"Ma, mengapa wanita ini belum pindah rumah! Maksudku, kenapa dia tidak Ikut suaminya atau apa! Aku malas melihat wajahnya itu, yang selalu membuatku mual dan mau muntah!" Rani berseru hingga bola matanya hampir saja keluar dari tempatnya.

Mata Naila membulat, mendengar perkataan Rani barusan.

Sementara Mirna, senyum sinis terpatri jelas di wajahnya seketika.

"Kamu tenang saja, Rani. Sebentar lagi juga dia akan dibawa suaminya dan tidak tinggal di sini." Dagu Mirna terangkat sedikit.

"Maksud Mama, buruk rupa ini akan dilamar?" tanya Rani.

"Iya! Mama sudah menjodohkannya dengan pemuda yang tinggal di ujung desa."

Rani tersenyum sumringah setelahnya.

"Tidak Ma, bukankah sudah aku katakan tadi. Aku tidak mau!" Sekali lagi Naila menolak. Dia tidak mau menikah dengan seseorang tanpa dasar cinta.

"Diam!" Mirna kembali melayangkan pukulan di pipi kanan Naila.

Naila tersentak kembali. Cairan bening meluruh perlahan dari bola matanya.

"Jangan membantah, Naila! Mengapa kamu keras kepala sekali hah!" Mirna berkata dengan napas memburu.

Naila enggan menanggapi. Dia terisak pelan sambil memegang pipinya yang terasa panas sekarang.

"Sudahlah, Ma. Nanti penyakit Mama kumat lagi. Sekarang Mama beristirahat saja," kata Rani seketika sambil mengelus pelan punggung Mirna.

"Nanti sore, pemuda itu akan datang. Bersikaplah manis. Jangan sampai dia berubah pikiran!" Mirna tak menanggapi Rani. Dia malah menatap tajam Naila.

Naila tergugu. Bibirnya kelu dan sangat sulit untuk digerakkan sekarang.

"Ayo Ma, kita ke kamar."

Rani mengajak mamanya masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Naila mematung di tempat. Dari sudut matanya masih mengalir pelan air mata. Naila dilema. Apa harus menerima perjodohan tersebut.

Dahulu Naila memiliki mimpi menikah bersama pria yang dia cintai. Namun, saat tertimpa musibah, impian Naila lenyap seketika.

*

*

*

Waktu menunjukkan pukul empat sore. Di atas pencakar langit, mentari mulai redup. Semilir angin yang menerpa padi-padi di hamparan sawah. Membuat para penduduk desa menghentikan aktivitasnya, dan memilih menikmati suasana sore hari di sekitar mereka.

Sedari tadi Naila begitu gelisah, menunggu kedatangan calon suaminya di ruang tamu bersama Mirna. Kebaya putih sederhana sudah terbalut rapi di tubuh kurusnya itu. Tadi, Mirna memaksanya memakai pakaian tersebut.

Naila melirik Mamanya sekilas, tengah duduk manis di hadapannya, sedangkan Rani memilih bersantai di kamar. Naila sempat bertanya pada Mirna tadi, siapa yang mau menikahinya. Tetapi, Mirna tak berniat sekalipun memberitahunya. Naila hanya bisa pasrah dan menerka-nerka.

Saat mendengar bunyi ketukan pintu dari luar seketika, Naila menggerakkan kepala ke daun pintu. Sementara Mirna berjalan cepat menuju ambang pintu dan memutar gagang besi tersebut.

"Ya ampun, kamu sudah datang, ayo mari, masuklah!" Dengan semangat Mirna mempersilakan Ali untuk masuk.

Beberapa jam sebelumnya, Mirna mendapat saran dari tetangga sebelah rumahnya, untuk menjodohkan Naila dengan Ali. Tanpa pikir panjang, dia pun pergi ke rumah Ali tadi siang dan meminta Ali meminang anak tirinya itu. Ali pun menerima tawaran tersebut, setelah dibujuk rayu olehnya.

Ali mengangguk dan melangkah masuk ke dalam.

Naila terkejut ketika melihat ternyata pemuda tadi pagi yang akan menjadi suaminya kelak. Naila langsung menundukkan pandangan. Dia diterpa dilema sekarang.

"Ayo, duduklah Ali, hehe maaf ya, aku terlalu kasar denganmu tadi pagi," kata Mirna, menyuruh Ali untuk duduk di hadapan Naila.

Sekali lagi anggukan pelan sebagai balasan Ali. Pria itu langsung menjatuhkan bokongnya di atas kursi kayu lalu menatap datar ke arah Naila.

"Apa kamu datang sendiri, Ali?" Mirna heran karena tak melihat sanak saudara ataupun orangtua Ali datang bersamanya.

"Iya, aku datang sendiri. Orangtuaku tak sempat datang. Oh ya, sebelum itu aku ingin berbicara empat mata dengan Naila," sahut Ali, cepat. Tanpa mengalihkan pandangan dari Naila sedikitpun.

Naila bergeming di tempat.

"Apakah harus? Aku kan Mamanya, jadi lebih baik aku juga ikut mendengarkan." Mirna ingin mendengar apa yang disampaikan Ali. Namun, Ali melayangkan tatapan dingin padanya, memberi kode bahwa dia hanya ingin berbicara dengan Naila saja.

"Baiklah. Aku akan pergi ke ruang sebelah sebentar, hehe." Mirna terkekeh hambar setelahnya. Lalu meninggalkan Ali dan Naila di ruang tamu.

Suasana mendadak senyap di ruangan. Baik Ali dan Naila sama-sama terdiam dan bergelut dengan batinnya masing-masing.

"Naila?" Ali membuka suara seketika.

"Iya." Naila reflek mengangkat wajahnya dan pandangannya langsung bertemu dengan Ali. "Maaf, aku tak bermaksud," katanya sambil memalingkan muka ke samping. Dia malu karena wajahnya membuatnya tak percaya diri.

"Tak apa, Nai. Tatap saja mataku."

Mendengar suara Ali yang menenangkan jiwanya. Naila memberanikan diri menatap ke depan. Penampilan Ali tampak terlihat lebih rapi, tak seperti tadi pagi.

"Aku sering berbelanja ke warungmu, Nai. Kamu pasti sudah tahu namaku Ali dan nama panjangku Ali Taamir. Besok kita akan menikah. Apa kamu bersedia menikah dengan pria miskin sepertiku?" tanya Ali, sambil menatap datar Naila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status