Di jalanan sepi daerah pegunungan, tampak mobil mewah melaju dengan kecepatan tinggi.
Dua anak manusia di dalamnya tampak dalam situasi yang sangat tegang."Sialan kamu, Inara. Kamu membuatku kehilangan segalanya!“Mata perempuan cantik itu membulat kala mendengar ucapan sinis dari suami yang baru dinikahinya tiga bulan lalu karena perjodohan.Sejak awal menikah, pria itu memang memperlakukan Inara dengan buruk, tak menyentuhnya, dan bahkan menghinanya karena berpenampilan seperti orang “kampungan”. Namun, Bram tak pernah se-emosi hari ini.Begitu pria itu tiba di rumah pukul 08.00 malam, dia langsung memaksa Inara ikut naik mobil entah ke mana, dan menunjukkan kebencian secara terang-terangan."Maksudmu apa, Mas?" tanya Inara pada akhirnya–mencoba memahami situasi, ”aku tak mengerti–”"Ck!” Bram memotong ucapannya dengan berdecih sinis, “nanti, kamu akan tahu sendiri. Ayo turun!”Tangan Inara lalu ditarik paksa saat menuruni mobil.Sembari jalan, perempuan itu akhirnya memperhatikan bahwa mereka berada di Villa yang tampak sepi.Rasa takut menghampiri Inara.Entah apa yang akan Bram lakukan kepadanya.Terlebih kala perempuan itu melihat ibu mertuanya dan Monika–yang dia tahu adalah kekasih Bram sebelum pernikahan mereka–juga ada di sana.Tatapan keduanya begitu tajam–menatap ke arahnya.Mata Inara langsung membulat sempurna. "Mami? Mami di sini juga?" tanyanya dengan suara bergetar melihat sang mertua.Sama seperti Bram, wanita itu memang tak menerimanya karena merasa Inara tak setara dengan sang putra. Hanya saja, Pak Susilo–sang ayah mertua menguatkan Inara.Pria itu bahkan berjanji bahwa Bram tak mungkin menyakitinya.Mungkin, kepergian ayah mertuanya itu ke luar kota untuk bisnis, membuat ketiga orang ini akhirnya berani menunjukkan taring sebenarnya.Tubuh Inara bergetar hebat menahan panik."Pasti kamu kaget, 'kan? Mengapa kami di sini juga?" tanya Mami Diana secara tiba-tiba.Mendengar nada sinis dari ucapannya, jantung Inara berpacu lebih cepat.Namun, lagi-lagi dia teringat ucapan ayah mertuanya dan mencoba tegar, “A–aku…”Buk!Saat Inara lengah, Bram tiba-tiba mendekat dan mengikat kedua tangannya.Diseretnya Inara seperti binatang ke kursi. Lalu, kakinya juga diikat dengan cepat.Tidak ada keraguan sama sekali dalam tindakannya, hingga Inara sadar."Apa-apaan ini, Mas? Lepas! Mengapa kalian semua memperlakukan aku seperti ini? tanya Inara panik.Perempuan itu mencoba melepaskan ikatan tangannya. Namun, semua sia-sia.Ketiga orang di hadapannya tampak tertawa puas."Baiklah, aku akan mempersingkat waktu! Aku muak melihat wajahmu yang menjadi penghalang hubungan aku dengan Monika," ucap Bram sinis."Jadi, aku talak kamu, Inara! Mulai detik ini, kamu bukan istriku lagi!" timpal pria itu lagi.Tubuh Inara membeku mendengarnya. Namun belum sempat memproses situasi, Bram justru langsung menyiram air keras yang sudah dia siapkan ke wajah dan tubuh Inara.“Arrgh!” pekik perempuan itu langsung akibat merasa kepanasan dan kesakitan.Dia bahkan merasa kulitnya mulai terkelupas. Inara tak menyangka kalau orang-orang itu bisa sekejam ini."Tolong aku, Mas! Jika kau mau perceraian, tak perlu sampai seperti ini. Tolong kasihanilah aku! Kasihani ayah dan ibuku," mohonnya.“Hahaha….” Alih-alih mendengarkan permintaan Inara, ketiganya justru tertawa semakin kencang melihat penderitaannya.Mereka benar-benar mengharapkan Inara akan mati sebentar lagi."Mampus, kau wanita kampung! Inilah hukuman, karena kamu telah hadir di kehidupan kami. Papi jadi berubah dan selalu membela kamu," ujar Bram, “Dia bahkan selalu mengancam akan menarik semua fasilitas jika tak baik padamu.”"Betul! Papi bahkan lebih rela kehilangan mami, daripada wanita kampungan ini. Selalu saja perempuan ini dan keluarganya yang dibela. Mentang-mentang, dulu pernah membantu kita di masa lalu! Masa, kita harus berkorban terus-menerus sih?" Mami Diana ikut bicara.“Kalau si wanita kampung ini mati, semua akan bahagia. Paling, hanya ayahnya yang penyakitan dan ibunya yang miskin itu yang menangisinya,” tambahnya, lalu tertawa.Inara pun meneteskan air matanya–tak menyangka kalau Ibu mertuanya sebenci itu padanya.Seandainya saja mereka tahu bahwa Inara pun tak punya pilihan selain menerima perjodohan yang ditawarkan Pak Susilo. Karena selama ini, ayah mertuanya itu sudah sangat baik membiayai sekolah Inara, hingga dia sampai bangku kuliah. Bahkan, Pak Susilo juga membantu pengobatan ayahnya.Namun, menjelaskannya saat ini pun terasa sia-sia. Mereka pasti tak mau mendengarnya.Inara mulai pasrah dan tak memberontak lagi.Kesadarannya mulai berkurang karena rasa sakit yang dia rasa.Perlahan kegelapan pun mulai melingkupi Inara.Ketiganya masih menikmati penderitaannya itu.Tak lama, Diana menjadi yang pertama menyadari keadaan Inara. Dia lalu bertanya santai pada sang anak, "Apa wanita kampung itu sudah meninggal, Bram?"Bram sontak terdiam. Dia mendekati mantan istrinya itu dan dapat merasakan denyut jantung Inara melemah."Aku rasa, dia akan mati sebentar lagi, Mi. Lebih baik, kita buang sekarang ke jalan. Lihatlah Mi, wajahnya sangat hancur. Rencana kita berhasil, tak akan ada satu orang pun yang akan mengenali dia. Aku akan buat laporan palsu, yang mengatakan kalau dia pergi meninggalkan rumah," jelas Bram yang dibalas senyuman oleh Diana dan Monika.Tanpa basa-basi, pria itu pun langsung menggendong tubuh mantan istrinya yang sudah tak berdaya. Sebenarnya, Bram merasa sangat jijik melihat tubuh dan wajah Inara rusak. Namun, dia menahannya sampai berhasil menurunkan Inara di pinggir jalan.Untungnya, suasana disana sangat sepi.Tak ada satu kendaraan pun yang melintas saat malam. Terlebih, denyut nadi Inara sepertinya sudah terhenti.Rencana mereka 100% akan berhasil!"Selamat tinggal! Aku akan segera mengurus perceraian kita dengan alasan kamu pergi menghilang. Setelah itu, aku akan menikahi Monika dan hidup bahagia dengannya," ucap Bram terakhir kalinya sebelum pergi meninggalkan Inara begitu saja, “doakan kami dari atas sana, ya! Hahahaha….”Setelahnya, dia pergi meninggalkan tubuh Inara yang tergeletak begitu saja di sana.Namun, yang tak pernah ketiga orang kejam itu sadari adalah … sebuah mobil mewah melintas di jalan sepi itu tak lama setelahnya.CITT!“Aaa! Apa itu?” Sopir di balik kemudi begitu terkejut kala melihat tubuh wanita di jalan yang dilintasinya.Dia bahkan sempat mengira kalau Inara bukanlah manusia. Namun, dia merasa ada yang janggal.Segera saja, dia menghentikan mobilnya dan berbicara pada Rizky, atasannya."Maaf, Pak. Sepertinya, ada wanita tergeletak di jalan. Bagaimana jika kita menolongnya?" ucapnya memberanikan diri.Mendengar ucapan sang sopir, kening pria tampan itu mengerut. Diletakkannya ponsel yang sedang dia gunakan untuk mengecek laporan keuangan kuartal 3 tahun ini."Kamu yakin? Jalanan ini sangat sepi. Takutnya itu hanya akal-akalan orang yang berniat jahat kepada kita."Rizky lalu menoleh ke arah wanita yang dimaksud sang sopir dari dalam mobil.Namun, alangkah terkejutnya karena perawakan wanita itu sangat familiar.Pakaiannya juga merupakan style wanita yang dicintainya sejak dulu.Seperti ada yang mengendalikan tubuhnya, Rizky langsung turun dari mobil.Diperiksanya keadaan wanita itu dengan cepat.Deg!“Inara?”Pria itu seketika membeku kala mengenalinya wanita itu memang mantan kekasihnya meskipun wajahnya kini sudah Inara terkelupas parah.“Pak? Bagaimana?”Teriakan sang sopir yang menyusulnya membuat Rizky seketika tersadar.Tanpa basa-basi, dia pun gegas menggendong tubuh Inara ke mobil."Nara, aku mohon bertahanlah!" ucap Rizky menahan kekhawatirannya, “kau harus selamat.”CEO muda yang terkenal sebagai pemimpin perusahaan nomor satu di negeri itu memangku Inara dengan hati-hati.Dulu, hubungan mereka harus berpisah karena orang tua Rizky tak menyetujui hubungan keduanya.Pria itu bahkan patah hati kala mendengar kabar pernikahan Inara dengan kerabat jauhnya. Tapi, mengapa keadaanya bisa seperti ini? Apa selama ini dia disiksa oleh suaminya?Tangan Rizky mengepal membayangkan itu semua.Dengan nada rendah dan penuh kemarahan, dia bergumam. “Siapapun yang membuat seperti ini, akan kupastikan menderita!”"Mengapa kamu ada di kamar saya? Dasar pembantu tak tahu diri. Kamu sengaja ya mengambil kesempatan, di saat istri saya sedang tak ada?" Gio berkata sinis. "Saya ini korban Bapak. Bapak yang memaksa saya untuk melakukan. Bapak sudah melecehkan saya," sahut Monika terisak tangis. Dia berakting, seolah dia pihak yang dirugikan. "Bapak mabuk saat pulang ke rumah, dan bapak memaksa saya karena mengira saya adalah Bu Sita," jelas Monika membuat Gio merasa tersudut. "Baiklah, saya akan bayar uang tutup mulut untuk kamu. Anggap saja, semalam saya habis menyewa kamu. Jangan pernah katakan pada siapapun, apa yang terjadi pada kita! Anggap semua gak pernah terjadi diantara kita," ucap Gio sombong. Dia mengusir Monika dari kamarnya. Gio mengerutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia melakukan dengan seorang pembantu. "Kalau saya nanti hamil gimana Pak? Semalam, Bapak melakukannya tidak hanya satu kali. Bapak juga membuangnya di dalam," Monika berkata. "Tak perlu khawatir! Istri saya dan selin
"Jawab Mas! Aku ingin dengar kejujuran kamu," Sita memaksa suaminya menjawab. Gio terlihat hanya diam. Namun, merasa gusar. Namanya bangkai yang ditutupi, pada akhirnya akan terbongkar. Sita terlihat kecewa di benar-benar syok, tak percaya suaminya akan selingkuh darinya. Sita menangis. Dia sudah tak sanggup menahan air matanya lagi. Wanita mana yang tak merasa sakit, saat mengetahui suami tercintanya ternyata bermain api di belakangnya. "Kalau Mas tak menjawab, berarti benar. Mas selingkuh. Aku ingin kita cerai," ucap Sita tegas. Meskipun selama ini suaminya selalu memberikan kemewahan. Dia tetap manusia biasa yang memiliki hati dan perasaan. Dia merasa tak terima. Melihat sang istri memasukkan barang-barangnya, Gio terlihat panik. Dia langsung beranjak turun menghampiri istrinya. Kemudian memeluknya dari belakang. "Aku mohon, maafkan aku! Aku khilaf. Aku janji tak akan mengulanginya lagi. Aku cinta sama kamu," Gio memohon agar Sita mau memaafkan dirinya. Sita membalikkan tubu
Gio sudah terbangun, dan tak melihat sang istri di kamarnya. "Kemana dia?" Gio berkata. Dia memilih untuk mandi dahulu, sebelum mencari keberadaan sang istri. Kemarin-kemarin, dia kurang tidur. Hingga baru sekarang dia merasa lemas. Dia kerap berolahraga ranjang, selama bersama Liana kemarin. Kini dia sudah merasa lebih segar. Gio langsung keluar dari kamar dan mencari keberadaan sang istri. Namun, di luar pun sang istri tak ada. "Kemana Ibu?" Tanya Gio kepada Monika. Dia masih saja bersikap dingin kepada Monika. "Ibu pergi lagi, Pak. Tak lama Bapak pulang," jawab Monika. Tanpa berbasa-basi lagi, Gio langsung kembali ke kamar lagi. "Sepertinya, Sita sangat marah. Tak biasanya dia seperti itu."Gio mencoba menghubungi sang istri melalui ponsel pintarnya. Namun, berkali-kali dia menghubungi sang istri. Sang istri tak mengangkatnya. "Si*al! Berani-beraninya dia mengabaikan telepon dariku," umpat Gio. Wajah Gio terlihat sangat kesal. Selama ini, sang istri tak pernah berani bersik
Setelah di rawat selama tiga hari, hari ini Inara dan kedua anaknya sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Kondisi Inara sudah membaik, hanya tinggal pemulihan saja. Rizky sudah mengurus administrasi kepulangan sang istri. "Sekarang, kita sudah boleh pulang," ujar Rizky kepada sang istri. Inara tampak sumringah. Akhirnya, dia bisa merasakan tidur nyenyak di rumah. Meskipun dia di rawat di ruang eksekutif, tetap saja lebih nyaman tidur di kasur empuk di rumah. "Apa semua sudah dibawa? Tak ada yang ketinggalan lagi?" Tanya Rizky kepada baby sister kedua anaknya. "Sudah, Pak," jawab salah seorang baby sister. Rizky sudah menyiapkan kursi roda, untuk sang istri turun nanti ke lobby. Dia khawatir sang istri belum kuat berjalan. "Sudah mas, aku jalan saja! Aku kuat kok, Mas. Mas gak usah khawatir," ucap Inara menyakinkan. "Gak apa-apa. Kamu duduk di sini aja, biar mas dorong," Rizky berkata. Rizky mempekerjakan dua orang baby sister untuk membantu sang istri, mengurus kedua anaknya. Di
Suasana tampak tegang, Inara dan Rizky kini sudah berada di ruang operasi. Sejak tadi Rizky menggenggam tangan istrinya erat, menguatkannya. "Jangan tegang ya! Ada mas di samping kamu," bisik Rizky dan Inara tampak menganggukkan kepalanya lemah. Operasi mulai berjalan. Rizky dapat melihat perjuangan sang istri, untuk melahirkan kedua buah hatinya. Sejak tadi dia tak melepas genggamannya, dan membisikkan kata-kata cinta untuk menguatkan istrinya. Suara penuh haru, saat satu persatu anak mereka terlahir ke dunia. Suara tangis kedua anak mereka terdengar. Rizky sampai meneteskan air matanya. Mereka kini sudah menjadi orang tua. "Selamat ya Sayang, kamu sudah menjadi seorang ibu. Alhamdulillah anak kita terlahir dengan selamat, sehat, dan tanpa kurang satupun. I love you," Rizky membisikkannya di telinga istrinya. Dokter meletakkan bayi mereka secara bergantian, di dada Inara untuk dilakukan inisiasi dini. Setelah selesai, kedua bayi mungil itu diambil kembali untuk dibersihkan. Sete
"Mas—" Ucapannya terhenti. Inara mengurungkan niatnya untuk bicara. "Kenapa? Kok berhenti ngomongnya?" Rizky bertanya lembut kepada sang istri. Bukannya menjawab, Inara justru menatapnya lekat. Rizky menautkan alisnya, seolah bertanya gerangan apa yang ingin istrinya katakan. "Kalau umur aku gak panjang gimana? Apa kamu akan menikah kembali dengan wanita lain? Mencari ibu sambung untuk kedua anak kita," akhirnya Inara mengungkapnya. Mendengar penuturan sang istri, Rizky merasa tak suka. "Aku gak suka kamu bicara seperti itu. Sampai kapanpun hanya kamu istri aku dan ibu Anak-anak kita. Kamu harus ingat perjuangan cinta kita sampai ke titik sekarang ini. Kita sama-sama berat melewatinya. Udah ya, jangan bicara seperti itu! Kita berdoa, semoga operasi sesar kamu besok berjalan lancar. Kamu dan kedua anak kita selamat dan sehat. Kita bisa berkumpul bersama," ucap Rizky panjang lebar. Inara terdiam. Perasaannya menjelang persalinan, semakin deg-degan. Dia khawatir, nyawanya tak tertol