Share

Bab 4 : Undangan Makan Malam

Mendengar ucapan Bang Rizal sontak aku terkejut.

Aku tak mengira, akhirnya kata-kata itu keluar dari lisan suamiku.

Kukira selama ini dia tidak mempermasalahkan jika kami belum mempunyai keturunan.

Aku juga sering melihat Bang Rizal seperti tidak peduli dengan anak-anak. Dia tidak menyukai anak-anak.

Aku tahu itu karena terkadang aku membawa bayi Ana—tetanggaku—untuk sekadar bermain sebentar di rumah ini, tapi Bang Rizal tidak pernah mempedulikannya. Padahal bayi itu kelihatan sangat lucu. Perkataannya membuatku semakin merasa tak berguna. Apa mungkin memang ini akhir semuanya? Apakah ini jalan agar kami berpisah?

*****

TOK! TOK! TOK!

Aku tersentak kaget karena tiba-tiba saja ada orang yang menggedor pintu rumah dengan sangat kasar.

Baru saja diri hendak merebahkan badan di tempat tidur. Hari ini aku sangat lelah, karena mencuci serta menyetrika pakaian Ana yang banyak.

Waktu pun sudah cukup malam, sudah pukul 21.15 WIB. Siapa sih, malam-malam begini berisik? Mana Bang Rizal belum pulang lagi. Aku merutuk di dalam hati.

Semenjak hasil panen kebun Bang Rizal tidak seberapa akibat hama yang menyerang, aku berinisiatif untuk menambah penghasilan keluarga dengan mengambil upah dari pekerjaan itu.

Kebetulan, tukang cuci-setrika Ana sedang pulang kampung, jadi aku bisa menggantikan sementara.

Aku membutuhkan uang, selain untuk menambah uang belanja, aku juga harus mengirim kepada Hendi—adikku—sebagai uang sakunya di pondok.

"Tunggu ... tunggu sebentar!" pekikku. Paling tidak mereka sebentar menghentikan gedoran yang berisik itu. Aku segera meraih bergo yang tersampir di balik pintu kamar, lalu gegas melangkah menuju ke luar.

Ketika baru saja aku buka kunci selop, tanpa tedeng aling-aling orang-orang yang ada di depan mendorong pintu dan masuk ke dalam rumah. Apa-apaan? Tidak sopan!

"Mana si Rizal?" tanya salah seorang dari mereka tanpa basa-basi.

Alisku bertaut. "Abang-abang ini siapa?" Balik aku bertanya. Dengan seenaknya mereka masuk rumah orang tanpa permisi.

Empat orang laki-laki berumur tiga puluh tahun ke atas itu memasang wajah sangar.

"Rizal harus membayar utangnya!" tegas salah seorang dari mereka.

Bang Rizal berutang lagi. Aku lelah sebenarnya. Ini bukan kali pertama orang melabrak rumah kami. Beberapa sudah dibayar, eh, yang lainnya pula datang. Dan utang kepada Tuan Steven Arnold itu memang yang paling banyak. Sebab itu dulu untuk kami memodali usaha perkebunan yang waktu itu tengah gagal panen.

Sebenarnya, beberapa kali hasil panen setelah itu bagus dan hasilnya bisa untuk mencicil utang kami. Akan tetapi, Bang Rizal justru menghamburkannya di meja judi. Padahal Bang Rizal sudah berjanji untuk tidak berjudi lagi, tapi setahun belakangan malah ia kembali ke lembah kotor itu kembali. Aku sudah kehabisan kata-kata untuk melarangnya.

"Ada apa ini?"

Nah, itu dia Bang Rizal. Alhamdulillah ... aku merasa lega dengan kedatangannya.

"Kamu Rizal, 'kan?" tanya salah seorang yang berbadan tambun dan perutnya buncit.

"Iya. Kalian siapa?" tanya suamiku heran.

Aku kira Bang Rizal kenal dengan mereka. Ternyata tidak.

"Kami suruhan Juragan Dimas. Kamu harus bayar utangmu sekarang juga, Rizal," ujar lelaki dengan perut buncit itu.

Pria itu meraih kerah baju Bang Rizal, membuatku bergidik. Takut kejadian seperti beberapa hari lalu kembali terjadi, suamiku dipukuli oleh Bang Hanan.

"Oh, sabar-sabar!" Bang Rizal mengangkat kedua tangannya, "ini aku ada uangnya. Tenaaang ...," katanya menenangkan pria-pria berwajah garang itu.

Mendengar hal itu, sontak si pria tambun melepaskan cengkraman tangannya dari kerah Bang Rizal.

"Utangku pada Dimas cuma dua juta, 'kan? Tenang ... ini duitnya," tutur Bang Rizal sembari merogoh kocek celananya, lalu ia mengeluarkan segepok uang merah lalu menghitungnya.

Aku heran, Bang Rizal dapat uang banyak dari mana?

"Ini!" Bang Rizal menyerahkan sejumlah uang ke arah orang-orang tersebut.

Orang-orang itu pun segera pergi setelah mendapat apa yang mereka harapkan.

Aku menutup pintu rumah dan menguncinya. Kemudian berjalan mengekori Bang Rizal ke arah kamar kami.

"Ini!" Lelaki berkumis tipis di hadapanku itu tiba-tiba meraih bantal dan selimut kemudian menyerahkan barang tersebut kepadaku dengan sekonyong-konyong.

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Maksudnya apa coba?

"Kamu tidur di sofa sana!" katanya sambil memonyongkan mulutnya menunjuk ke arah luar.

"Kenapa kok–" Belum juga aku mempertanyakan perihal dari mana datangnya uang tadi, malah hal lain pula ia lakukan kepadaku.

"Kamu kuceraikan. Jadi, sekarang kamu sudah berada di masa iddah." Dengan santainya Bang Rizal berkata demikian, kemudian pria itu duduk dan bersender di ranjang.

"Ap–apa?" Aku bukan tak mendengar ucapannya, tetapi benarkah dengan semudah itu Bang Rizal menalaq-ku?

"Kamu tidak tuli, Nay ... tunggu tiga bulan. Kamu nanti dinikahi oleh si Steven itu." Bang Rizal menatapku dengan tanpa beban.

"Bang ... Abang kok, tega sama aku? Abang benar-benar menyerahkan aku ke penjahat perempuan itu?" ucapku memelas sambil menatap wajah orang yang selama ini kuhormati sebagai suami.

"Sudahlah, Nay. Steven itu kaya raya. Kamu pasti senang jadi istrinya," ujar Bang Rizal lagi, ia lalu merebahkan badannya dan memeluk guling.

Aku berlutut, lalu memegang lengan Bang Rizal. "Aku ... aku rela Abang ceraikan. Mungkin memang aku wanita yang tidak berguna untuk jadi istri Abang. Aku tidak bisa memberi keturunan buat Abang. Tapi aku gak mau dinikahi oleh Tuan Steven, Bang ... antar saja aku ke rumah Bi Eli."

Lebih baik aku tinggal bersama bibiku dibandingkan aku harus menikah dengan lelaki penjahat kelamin seperti Tuan Steven itu. Biarlah aku makan hati dengan perlakuan dan ucapan bibiku dibandingkan hidup menderita bersama lelaki yang sudah menjandakan tiga wanita itu.

"Aah, udah sana! Aku lelah, mau tidur!" Bang Rizal menepis tanganku dan berbalik membelakangiku.

Hatiku terasa hancur. Aku harus mencari cara agar bisa menghindari pernikahan dengan Tuan Steven Arnold. Lebih baik jadi janda selamanya, daripada harus menikah dengannya.

"Jangan bodoh kamu, Nay! Aku tahu ... dulu kamu suruh aku cepet ngelamar karena gak mau tinggal sama bibimu yang cerewet itu, 'kan? Sekarang sok-sokan mau tinggal sama dia. Huh!" Bang Rizal kembali berbalik menghadapku dan menyindir apa yang pernah aku lakukan dulu.

"Mmm ... tapi ... tapi aku gak mau dinikahkan dengan Tuan Steven, Bang." Aku menunduk sedih. Bang Rizal sudah menceraikan aku, ke mana lagi tempat aku mengadu? Lebih baik setiap hari mendengar ucapan Bi Eli yang nyelekit dibandingkan bersama pria seperti Tuan Steven Arnold.

"Kamu jangan macam-macam, Nay! Aku sudah ambil uang dari si Steven itu. Kamu tahu 'kan, apa yang terjadi kalau sampe keinginan dia gak terpenuhi. Habis aku dihajar sama si Hanan dan anak buahnya yang lain. Atau kamu memang mau aku cacat kayak si Jarwo itu, hah?!" cecar Bang Rizal.

Jarwo adalah pekerja dari Tuan Steven. Ia pernah meminjam uang juga dari tuan tanah itu, tapi tak sanggup mengembalikan. Kini ia bekerja dengan kaki yang pincang karena dianiaya oleh para ajudan lelaki blasteran itu.

"Bu–bukan begitu, Bang ... aku cum–"

"Sudah! Sana tidur! Aku gak mau dengar alasan kamu lagi!" Bang Rizal mendorong bahuku hingga aku terduduk.

Semakin lama, Bang Rizal semakin sering berlaku kasar kepadaku. Apa yang harus kulakukan ya Allah?

Aku lalu bangkit dan beranjak membawa bantal serta selimut yang diberikan oleh Bang Rizal tadi ke ruang tamu.

Kamar di rumah ini hanya satu. Sekarang, karena aku dan Bang Rizal harus berpisah, maka kami pun tidak boleh tidur satu kamar lagi.

Di awal pernikahan, kami sebenarnya tidak tinggal di rumah kecil ini.

Ini semua terjadi semenjak ibu mertuaku meninggal dunia satu setengah tahun yang lalu.

Ayah mertua jadi stress dan Bang Rizal juga seperti kehilangan arah.

Kebiasaan lamanya yang senang berjudi kembali lagi. Sedikit demi sedikit harta kami ludes. Ayah mertua berang dan mengusir kami dari rumahnya.

Bang Rizal akhirnya menjual sebagian kebun dan membeli rumah kecil yang kini kami tempati.

Pengusiran dari ayah mertuaku dan habisnya harta berharga satu per satu bukan menjadi pelajaran bagi Bang Rizal. Malah hasil kebun pun tidak diserahkan untuk membayar utang-utangnya. Bahkan ia terus-menerus tenggelam di meja judi yang haram.

Benar kata orang. Judi hanya meninggalkan harapan palsu. Ingin kaya, tetapi malah sebaliknya. Bahkan hal itu merupakan salah satu dosa besar.

****

Sudah dua bulan dari hari ketika aku resmi berstatus janda secara agama.

Bang Rizal, seorang diri, bolak-balik ke pengadilan mengurus perceraian kami.

Dia juga menyewa seorang pengacara agar semuanya berjalan dengan lancar tanpa hambatan.

Uang dari mana untuk mengurus itu semua? Tentu saja dari Tuan Steven.

Tidak lama lagi akan diadakan sidang mediasi. Semakin hari, aku semakin pasrah dengan keadaan. Aku tidak bisa memaksa Bang Rizal untuk mempertahankan rumah tangga kami. Apalagi ia selalu diberikan uang oleh Tuan Steven, ia semakin digelapkan mata oleh harta.

"Nih!" Tiba-tiba saja Bang Kamal melempar sebuah paper bag ke arahku.

"Ini apa, Bang?" tanyaku sembari memegang barang itu.

Saat ini, ada Ana yang sedang membawa bayinya bertandang ke rumah. Ia hanya diam ketika melihat kedatangan Bang Rizal.

Dia sudah tahu perangai suami, eh, mantan suamiku itu, walaupun ia tidak tahu bahwa aku sudah di-talaq. Karena aku tidak pernah menceritakan hal itu kepadanya.

"Nanti malam kita ke rumah Steven. Kamu pake itu!" suruh Bang Rizal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status