Share

Bab 5 : Acara Makan Malam

Alisku bertaut demi mendengar apa yang dikatakannya. Ada apa Tuan Steven menyuruh kami datang ke rumahnya?

"Wah, kamu diundang ke rumah mewah Tuan Steven, Nay?" Ana tampak antusias.

Dengan getir, aku berusaha mengulas sebuah senyum. Nanti saja bertanya ke Bang Rizal perihal ini, aku tidak enak, takut Ana berpikir yang macam-macam.

Bang Rizal menuju ke arah kamar, sejurus kemudian ia pergi lagi.

Ana segera meletakkan Lala, bayinya ke pangkuanku dengan tiba-tiba setelah Bang Rizal keluar dari pintu rumah. Ia meraih paper bag yang tadi aku letakkan saja di atas meja. Wanita muda itu langsung saja merogoh dan mengeluarkan isinya.

"Waaah, bagus sekali gamis ini, Naaay!" ucapnya kagum setelah menjembreng pakaian dari tas kertas tersebut.

Malah, dia mengepaskan ke badannya sendiri. Hanya saja tidak sesuai dengan tinggi badannya yang hanya 140-an centi itu. Tubuh Ana memang mungil. Sering disangka anak SMP jika ia tidak membawa anaknya.

"Bang Rizal lagi banyak job ya, Nay? Pantesan dia ngelarang kamu nyuci di tempatku lagi ya," tuturnya lagi dengan sok tahu.

Sungguh aku tak bisa menyahuti ibu muda yang memang bawel ini. Aku hanya bisa tersenyum mendengar apa yang dikatakannya. Jangan sampai Ana tahu kalau Tuan Steven Arnold ingin menikahiku. Bisa terkenal aku nanti satu kampung.

"Hmm ... aku mau beres-beres dulu, An," ujarku sembari meraih gamis yang dipegang Ana. Lalu kuserahkan Lala ke gendongannya.

"Ciyeee ... yang mau main ke rumah gede Tuan Steven," ucap Ana sambil mengejekku, "aku boleh ikut gak, Nay?" lanjutnya melantur.

"Eng–enggak bisa, An. Bang Rizal pasti gak ngebolehin." Aku melipat gamis yang kupegang dengan terburu-buru lalu memasukkan asal ke paper bag tadi.

Ana mengerucutkan bibirnya lucu. Wajahnya memang imut. Akan tetapi, aku tidak sanggup dengan rasa penasarannya yang sering di luar batas.

"Maaf ya, An. Kamu pulang dulu. Dah, Lala sayang ...." Aku mendorong tubuh kecil Ana dan mengecup singkat kening bayinya yang harum aroma minyak telon.

"Iya deh, hari juga udah sore." Ana hanya bisa pasrah aku usir, "eh, Nay!" panggilnya.

Huuuft. Apa lagi? Aku terpaksa menahan untuk tidak segera menutup pintu. Kuarahkan pandangan ke mata wanita muda itu dengan sorot tanda tanya.

"Jangan lupa, nanti cerita-cerita ya soal bisnis Bang Rizal dengan Tuan Steven. Proyek besar sepertinya." Sambil tersenyum Ana mengucapkan hal itu, setelahnya ia langsung berbalik pulang.

Aku mengembuskan napas lega. Si tukang kepo akhirnya bisa disingkirkan.

Setelah menutup pintu, aku melangkah menuju ke kamar.

Kukeluarkan lagi setelan gamis-kerudung yang ada si tas kertas. Baju terusan itu sangat bagus, bahannya ringan, tapi jatuh. Bercorak bunga-bunga kecil merah berwarna dasar pink muda. Warna kerudungnya juga kalem, senada dengan gamisnya.

Alangkah bahagia seandainya ini adalah pemberian suamiku. Hati ini meringis mengingat kalau hal itu tidaklah terjadi.

Bahkan, ini adalah pemberian Tuan Steven yang semakin hari, entah mengapa aku menjadi semakin membencinya. Ia menggunakan kekuasaan dan kekayaannya dengan sewenang-wenang hanya untuk kesenangannya.

Bang Rizal memang bukan suami idaman setiap wanita dengan perangainya yang demikian. Namun, dialah yang selama ini melindungi dan menjagaku setelah kehilangan kedua orang tua. Dengan sifat buruknya mungkin tidak banyak yang akan mampu bertahan. Akan tetapi, aku masih menyimpan harapan kalau ia akan kembali berubah seperti baru-baru kami menikah dulu.

Entahlah, Ana sendiri sering bertanya kepadaku. Mengapa aku yang cantik masih mau bertahan dengan lelaki penjudi dan berlisan kasar seperti Bang Rizal?

Ibu muda itu sering mendengar teriakan Bang Rizal ketika memerintah ataupun aku dianggap salah melakukan sesuatu. Pria berkumis tipis tersebut juga sering mencaci-maki dan merendahkan serta mengungkit tentang keluargaku yang miskin.

Sering aku menertawai diri sendiri. Aku menghindari perangai dan lisan jahat Bi Eli, tetapi malah mendapatkan perangai dan lisan jahat dari Bang Rizal, suamiku sendiri. Saat ini, aku merenungkan nasib diri. Mungkin jalannya memang aku harus berpisah dari Bang Rizal.

Namun, apakah aku sanggup kembali dikumpulkan dengan orang yang lebih jahat lagi seperti Tuan Steven?

Lelaki seperti apa yang sudah menjandakan tiga orang wanita? Tidak heran, bahkan Jarwo yang telah lama bekerja dengannya saja sampai cacat dikarenakan kekejamannya. Yaa, Rabb ... aku tidak boleh menikah dengannya. Tidak boleh!

***

"Kamu sudah siap, Nay?" Bang Rizal terlihat rapi dengan kemeja berwarna abu dan celana hitam. Wajahnya terlihat lebih manis semenjak ia semakin mudah memperoleh uang. Ya, dengan berkala Tuan Steven memberikan sejumlah uang kepadanya dikarenakan ia mesti menjagakanku selama masa iddah di rumah ini. Uang itu juga di luar kompensasi yang mesti diterimanya karena menceraikanku. Dari uang itu juga Bang Rizal membeli pakaian dan kendaraan baru.

Aku sendiri? Aku merasa seperti hewan ternak yang mesti dipelihara yang kemudian di suatu hari nanti siap untuk disembelih. Malam ini entah mengapa, Tuan Steven mengundang kami untuk makan malam. Aku sebenarnya malas jika harus bertemu dengannya. Semakin hari, aku semakin muak dengan lelaki berkuasa itu. Bang Rizal begitu tega. Aku seakan dijual olehnya kepada lelaki blasteran tersebut.

"Tunggu, Bang," sahutku sembari meraih tas selempang yang biasa kubawa-bawa jika hendak keluar rumah. Sehabis shalat Isya, aku langsung berkemas diri tadi.

"Ini apa-apaan?" Bang Rizal menarik tasku dan melemparkannya ke sofa.

Aku terkejut diperlakukan demikian.

"Tas jelek begitu kamu bawa. Nanti kita beli yang baru!" katanya, "ayo cepat, Hanan sudah nunggu di luar." Ia berjalan mantap di depanku.

Aku hanya bisa pasrah, lalu mengekorinya ke depan rumah. Di sana sudah menunggu di depan sebuah mobil mewah, Bang Hanan bersama seorang temannya.

"Gak telat, 'kan, Nan?" tanya Bang Rizal kepada Bang Hanan sambil ia melingkari mobil dan membuka pintunya untuk segera masuk. Ia nampak terburu-buru, padahal ini masih pukul setengah delapan.

"Tuan Steven sudah menunggu," jawab Bang Hanan kaku, begitulah pria tinggi besar itu, ka–ku, "silakan ...." Ia membukakanku pintu mobil.

Dengan tidak enak hati, aku memasuki mobil bagian belakang yang pintunya telah dibukakan oleh Bang Hanan. Seperti seorang majikannya saja aku diperlakukan seperti itu olehnya.

Bang Hanan menutup pintu kemudian ia masuk dan duduk ke kursi depan di sebelah temannya yang menyupiri kami semua.

"Mimpi apa kamu, Nay? Bisa menaiki mobil mewah seperti ini, hehehe," ujar Bang Rizal sembari melirikku, ia terkekeh senang.

Huh! Dulu kami juga memiliki mobil walau tentu tidak semewah ini.

Sudah habis terjual untuk membayar utang judinya. Bang Rizal akhirnya ke mana-mana hanya menggunakan motor butut yang sering kali mogok. Aku merutuk di dalam hati.

*****

Sesampainya di depan rumah sang tuan tanah di desa ini, tampaklah tembok setinggi dua meter setengah yang mengelilingi rumah besar di baliknya.

Ada dua orang lelaki yang membukakan pintu pagar rumah tersebut untuk mobil yang kami kendarai masuk.

Setelah memasuki halaman rumah itu Bang Rizal berdecak kagum. "Luas sekali pekarangan rumah ini!" pujinya.

Rumah besar dengan halaman yang dikelilingi pohon-pohon buah di sekitarnya. Sangat teduh dan asri.

Di dekat teras rumah tampak pot-pot yang berisi tanaman berbunga. Macam-macam bunga ada di sana. Ada yang mekar, dan ada yang kuncup kelopaknya. Kalau di siang hari, pasti cantik sekali bunga-bunga itu terkena sinar matahari.

Mobil pun berhenti di bawah sebuah pendopo. Bang Rizal kembali bergegas turun dan segera membukakanku pintu mobil. Sementara Bang Rizal sudah turun duluan di pintu sebelah kanan.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis tanda terima kasihku kepada Bang Hanan. Namun, percuma saja, wajahnya tetap saja kaku.

"Silakan masuk! Tuan sudah menunggu," ucap Bang Hanan seraya melangkah sekaligus mempersilakan kami mengikuti arah langkahnya.

Bang Rizal tak henti terkagum-kagum melihat suasana di dalam rumah besar itu dengan segala pernak-pernik mahalnya. "Harusnya aku minta lebih dari Steven itu," bisiknya ke telingaku.

Mendengar hal itu rahangku mengetat. Aku benci Bang Rizal seperti ini. Dia pikir aku barang dagangan yang seenaknya bisa dia tukar dengan uang?

"Ke mari " tutur Bang Hanan setelah kami masuk ke sebuah ruang makan.

"Hmm, sudah datang?"

Tiba-tiba terdengar suara bariton yang sudah tak asing di telingaku. Siapa lagi, selain Tuan Steven Arnold.

Bang Hanan mengangguk ke arah sang majikan, tanda permisi, kemudian ia pergi.

"Silakan," ucap Tuan Steven lagi mempersilakan kami duduk. Ia melangkah anggun menuju ke kursi utama meja makan tersebut.

Bang Rizal tersenyum lebar, kemudian melangkah dan mendaratkan bokongnya di salah satu kursi. Begitu juga aku, tak ada pilihan lain selain ikut duduk. Aku memposisikan diri di samping Bang Rizal.

Tak berapa lama, terdengar seperti barang yang terseret dari arah belakangku. Ternyata itu Nyonya Sarah, ibunda Tuan Steven. Dengan kursi rodanya ia didorong oleh seorang wanita paruh baya ke posisi di seberang kami. Aku berusaha mengulas senyum.

Kami mengenalnya, sebab Nyonya Sarah sering berjalan-jalan dengan ibu-ibu yang mendorong kursi rodanya itu bersama satu atau dua orang ajudan lelakinya. Terkadang kami menjumpai Nyonya di dekat pasar, atau di dekat perkebunan teh warga. Ya, kami mengenali mereka, walau tentu mereka tidak mengenal kami.

Siapa yang tidak kenal dengan keluarga paling kaya dan tuan tanah di desa ini? Sisa kecantikan di masa muda Nyonya Sarah Dramawan masih tampak jelas, walaupun kini mungkin usianya sudah menginjak hampir tujuh puluh tahunan saat ini dan ia juga mesti duduk di kursi roda karena stroke menyebabkan kelumpuhan di kakinya.

"Nyonya, apa kabar?" tanya Bang Rizal basa-basi.

"Hmmm." Nyonya Sarah hanya berdeham dengan wajah datar ke arah kami berdua.

Sungguh, aku tidak suka berada di sini. Nyonya Sarah yang biasanya tersenyum kepada warga desa, kini tampak tidak ramah sama sekali.

"Mom, kenalkan ini Kamal," ucap Tuan Steven memperkenalkan.

"Rizal, Nyonya." Bang Rizal berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Nyonya Sarah.

Akan tetapi, sekali lagi. Nyonya Sarah hanya menjawabnya dengan tatapan tidak bersahabat, dan dehaman saja. Tangan Bang Rizal dibiarkan tergantung di udara.

"Duduk saja, kamu, Zal." Tuan Steven mengisyaratkan dengan matanya agar Bang Rizal kembali duduk. Tidak perlu bersalaman.

Bang Rizal pun kembali duduk dengan malu-malu.

"Di sebelahnya itu calon istriku, namanya Nay." Tuan Steven juga memperkenalkanku.

Terus terang, aku tidak suka dengan predikat yang disematkannya terhadapku itu. Namun, aku hanya bisa tersenyum getir ke arah Nyonya Sarah.

"Oh, ini calon istrimu? Tumben, malah milih orang kampung sini kamu," cetus Nyonya Sarah sembari menatap tajam ke arahku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status