Home / Rumah Tangga / Wanita Dambaan Tuan Otoriter / Bab 3 : Penjatuhan Talaq

Share

Bab 3 : Penjatuhan Talaq

Author: Adny Ummi
last update Last Updated: 2023-01-12 07:08:54

Sontak aku menatap Bang Rizal. Apa? Jadi, ini yang dimaksud suamiku itu soal kompensasi?

"Mak--maksud Abang apa, Bang?" tanyaku memastikan kepada suamiku.

Bang Rizal hanya melirikku sebentar tanpa menjawab.

"Kamu mau kompensasi berapa? Apa tidak cukup aku anggap lunas semua utangmu, heh?" tanya Tuan Steven dengan menyatukan alisnya.

Bang Rizal tersenyum tipis. "Nay ini istri yang baik, Tuan. Pintar masak ... dan dia juga cantik. Tuan lihat saja," ujar Bang Rizal sambil memegang lutut yang berbalut daster lusuhku.

Baru kali ini dia memuji rupaku. Akan tetapi, entah mengapa aku malah tidak senang. Alisku bertaut.

"Bang ...." bisikku memajukan sedikit badanku ke arahnya. Aku coba meraih punggung tapak tangan Bang Rizal, tapi segera ia lepaskan. Mengapa Bang Rizal malah bernegosiasi atas diriku untuk kompensasi? Bang Rizal tentu tidak serius untuk menyerahkan istrinya ke penjahat wanita seperti Tuan Steven Arnold. Tidak mungkin!

Anehnya, ketika aku mendekati Bang Rizal, Tuan Steven tampak sedikit mencebik. "Oke ... oke. Kamu mau berapa?" tanyanya to the point.

"Seratus juta," jawab Bang Rizal juga tanpa basa-basi.

Mendengar itu membuatku berpikir, ah, Bang Rizal memang pintar!

Aku rasa dia sengaja biar Tuan Steven mundur.

Tidak mungkin dia mau, kan?

Sudahlah merelakan piutang sejumlah dua ratus juta, eh, ditambah lagi dengan kompensasi seratus juta, seperti permintaan Bang Rizal!

Suamiku pandai untuk mengulur waktu pelunasan juga ternyata.

"Seratus juta?" tanya Tuan Steven pada akhirnya.

Nah, 'kan ... tidak mungkin Tuan Steven Arnold mau.

"Oke!"

Hah?? Betapa terkejutnya aku mendengar persetujuan dari Tuan Steven. "Apa?" Aku berdesis seakan tak percaya dengan apa yang kudengar.

Pandangan kuarahkan ke Bang Rizal. Dia tersenyum lebar dan terkekeh senang.

"Bang!" pekikku tertahan.

"Hmm," sahut Bang Rizal santai.

"Hanan! Sini berkas yang tadi!" Tuan Steven meraih sebuah map dari tangan Bang Hanan. Map tersebut tadi memang sudah dibawa oleh ajudannya itu dan diletakkan di lemari bufet kami di sebelahnya berdiri.

"Kalian tanda tangan di sini!" tunjuk Tuan Steven.

"Bang, aku gak mau cerai!" Panik rasanya melihat Bang Rizal meraih pulpen dari Bang Hanan. Kemudian, ia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu.

"Nay ...." Bang Rizal memberi isyarat kepadaku untuk menandatangani juga.

Aku pun bangkit dari sofa dan menggeleng.

"Nur ... cepat tanda tangan," ucap Bang Rizal lembut. Sangat jarang ia menyuruhku dengan nada selembut itu.

Aku kembali menggeleng keras. "Gak mau, aku gak mau tanda tangan!" cetusku keras.

"Ayolah!" Bang Rizal meraih lenganku.

Tuan Steven tampak menunggu di tempat duduknya dengan wajah tanpa ekspresi yang jelas. Ia hanya tampak bosan berada di rumah ini sepertinya.

"Abang tega nyeraiin aku hanya demi uang?" tanyaku sengit ke arah Bang Rizal.

"Nay, kita juga tidak cocok selama ini, 'kan. Mungkin ini jalan terbaik." Bang Rizal membujukku.

Tidak cocok? Jadi, selama ini Bang Rizal merasa kami pasangan yang tidak cocok satu sama lain? Apa karena aku belum memberinya keturunan?

"Maksud Abang tidak cocok bagaimana? Tidak, Bang ... aku gak mau cerai, aku gak mau jadi janda." Air mata yang dari tadi kutahan sudah nyaris keluar.

"Ya, kamu 'kan, gak suka Abang keluar malam. Sementara Abang suka. Kamu suka pakai jilbab, Abang gak suka kamu pake jilbab begitu. Kamu memang nurut kalo Abang suruh ini itu. Tapi, kamu juga suka bandel soal yang lain. Tuan Steven suka tuh, dengan kamu walau kamunya pake jilbab."

Aku menatap Tuan Steven Arnold yang tampak menarik napas. Sepertinya, ia semakin bosan menunggu. "Sudah-sudah. Aku kira ini sudah final," katanya.

"Aku gak bakal mau cerai dan kemudian nikah sama penjahat wanita kayak pria ini!" ketusku.

Baru kali ini aku berani berkata sekasar itu di hadapan Bang Rizal, bahkan orang lain.

Bang Rizal sampai tampak heran melihatku. Selama ini, aku selalu menurutinya.

"Oke, sorry, Zal. Kalau istri kamu tidak mau tanda tangan, maka besok kalian tinggalkan rumah ini, kebunmu juga aku sita." Tuan Steven pun melangkah pergi diikuti Bang Hanan di belakangnya yang dengan sengaja menyenggol bahu Bang Rizal ketika berjalan pergi.

Setelah Tuan Steven keluar dari pintu, rahang Bang Rizal tampak mengeras. Tiba-tiba saja ia mendekat dan–

Plak!

"Perempuan tidak tahu diuntung!"

Aku terjerembab jatuh ke lantai. Telingaku terasa berdenging. Kepala juga refleks terasa pening. Bang ... Bang Rizal menamparku?

"Abang ...." Mataku terasa kabur karena tiba-tiba ada kaca-kaca yang menghalangi pandangan ke arah suamiku.

"Derajatmu sudah aku angkat dari keluargamu yang miskin itu! Mestinya, kamu bayar semua kebaikanku!" Suara lelaki itu menggelegar membahana di ruang yang tak seberapa besar ini.

Air mata pun mengalir tak dapat kutahan. Bang Rizal mengapa tega terus berkata seperti itu? Jadi, selama ini sebenarnya aku dianggap apa?

"Aku tidak mau tahu! Kamu tanda tangani ini, sekarang juga!" Bang Rizal meraih kasar kertas dan map yang berada di meja. Kemudian ia sodorkan di hadapanku.

Aku menangis sesegukan. Mengapa hidupku begini ya, Rabb ...?

"Cepat tanda tangan!" bentaknya sembari menyerahkan pulpen ke arahku dengan sangat kasar.

Bang Rizal selama ini memang sering berkata kasar. Tapi dia tidak pernah sekasar ini, bahkan aku tak menyangka sama sekali lelaki itu sampai memukulku. Ini pertama kalinya.

Dengan hati yang ciut dan terasa perih sekali, tanganku bergetar memegang pulpen tersebut. Yaa Allah, sungguh kalaupun aku harus berpisah dengan suamiku, tapi tidak dengan cara seperti ini ....

"Cepat tanda tangan!" Bang Rizal mendorong kepalaku, dia terlihat geram.

"I–iya, Bang ...." jawabku terbata dan sambil terisak. Lalu aku bubuhkan tanda tanganku di kertas itu. Betapa perih batin ini. Air mata pun jatuh berderai membasahi pipi.

Bang Rizal memungut map dan kertas itu dari lantai dengan kasar. Ia lalu bangkit dan melangkah pergi keluar dari rumah ini.

"Anggap saja ini bayaran dari semua utang budimu kepadaku! Dasar perempuan mandul!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   EKSTRA PART

    Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 140 : Bicara dari Hati ke Hati

    "Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 139 : Ucapan yang Sangat Menusuk

    Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 138 : Kunjungan

    Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 137 : Perhatian

    Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 136 : Bayi Mungilku

    Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status