Share

Bab 3 : Penjatuhan Talaq

Sontak aku menatap Bang Rizal. Apa? Jadi, ini yang dimaksud suamiku itu soal kompensasi?

"Mak--maksud Abang apa, Bang?" tanyaku memastikan kepada suamiku.

Bang Rizal hanya melirikku sebentar tanpa menjawab.

"Kamu mau kompensasi berapa? Apa tidak cukup aku anggap lunas semua utangmu, heh?" tanya Tuan Steven dengan menyatukan alisnya.

Bang Rizal tersenyum tipis. "Nay ini istri yang baik, Tuan. Pintar masak ... dan dia juga cantik. Tuan lihat saja," ujar Bang Rizal sambil memegang lutut yang berbalut daster lusuhku.

Baru kali ini dia memuji rupaku. Akan tetapi, entah mengapa aku malah tidak senang. Alisku bertaut.

"Bang ...." bisikku memajukan sedikit badanku ke arahnya. Aku coba meraih punggung tapak tangan Bang Rizal, tapi segera ia lepaskan. Mengapa Bang Rizal malah bernegosiasi atas diriku untuk kompensasi? Bang Rizal tentu tidak serius untuk menyerahkan istrinya ke penjahat wanita seperti Tuan Steven Arnold. Tidak mungkin!

Anehnya, ketika aku mendekati Bang Rizal, Tuan Steven tampak sedikit mencebik. "Oke ... oke. Kamu mau berapa?" tanyanya to the point.

"Seratus juta," jawab Bang Rizal juga tanpa basa-basi.

Mendengar itu membuatku berpikir, ah, Bang Rizal memang pintar!

Aku rasa dia sengaja biar Tuan Steven mundur.

Tidak mungkin dia mau, kan?

Sudahlah merelakan piutang sejumlah dua ratus juta, eh, ditambah lagi dengan kompensasi seratus juta, seperti permintaan Bang Rizal!

Suamiku pandai untuk mengulur waktu pelunasan juga ternyata.

"Seratus juta?" tanya Tuan Steven pada akhirnya.

Nah, 'kan ... tidak mungkin Tuan Steven Arnold mau.

"Oke!"

Hah?? Betapa terkejutnya aku mendengar persetujuan dari Tuan Steven. "Apa?" Aku berdesis seakan tak percaya dengan apa yang kudengar.

Pandangan kuarahkan ke Bang Rizal. Dia tersenyum lebar dan terkekeh senang.

"Bang!" pekikku tertahan.

"Hmm," sahut Bang Rizal santai.

"Hanan! Sini berkas yang tadi!" Tuan Steven meraih sebuah map dari tangan Bang Hanan. Map tersebut tadi memang sudah dibawa oleh ajudannya itu dan diletakkan di lemari bufet kami di sebelahnya berdiri.

"Kalian tanda tangan di sini!" tunjuk Tuan Steven.

"Bang, aku gak mau cerai!" Panik rasanya melihat Bang Rizal meraih pulpen dari Bang Hanan. Kemudian, ia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu.

"Nay ...." Bang Rizal memberi isyarat kepadaku untuk menandatangani juga.

Aku pun bangkit dari sofa dan menggeleng.

"Nur ... cepat tanda tangan," ucap Bang Rizal lembut. Sangat jarang ia menyuruhku dengan nada selembut itu.

Aku kembali menggeleng keras. "Gak mau, aku gak mau tanda tangan!" cetusku keras.

"Ayolah!" Bang Rizal meraih lenganku.

Tuan Steven tampak menunggu di tempat duduknya dengan wajah tanpa ekspresi yang jelas. Ia hanya tampak bosan berada di rumah ini sepertinya.

"Abang tega nyeraiin aku hanya demi uang?" tanyaku sengit ke arah Bang Rizal.

"Nay, kita juga tidak cocok selama ini, 'kan. Mungkin ini jalan terbaik." Bang Rizal membujukku.

Tidak cocok? Jadi, selama ini Bang Rizal merasa kami pasangan yang tidak cocok satu sama lain? Apa karena aku belum memberinya keturunan?

"Maksud Abang tidak cocok bagaimana? Tidak, Bang ... aku gak mau cerai, aku gak mau jadi janda." Air mata yang dari tadi kutahan sudah nyaris keluar.

"Ya, kamu 'kan, gak suka Abang keluar malam. Sementara Abang suka. Kamu suka pakai jilbab, Abang gak suka kamu pake jilbab begitu. Kamu memang nurut kalo Abang suruh ini itu. Tapi, kamu juga suka bandel soal yang lain. Tuan Steven suka tuh, dengan kamu walau kamunya pake jilbab."

Aku menatap Tuan Steven Arnold yang tampak menarik napas. Sepertinya, ia semakin bosan menunggu. "Sudah-sudah. Aku kira ini sudah final," katanya.

"Aku gak bakal mau cerai dan kemudian nikah sama penjahat wanita kayak pria ini!" ketusku.

Baru kali ini aku berani berkata sekasar itu di hadapan Bang Rizal, bahkan orang lain.

Bang Rizal sampai tampak heran melihatku. Selama ini, aku selalu menurutinya.

"Oke, sorry, Zal. Kalau istri kamu tidak mau tanda tangan, maka besok kalian tinggalkan rumah ini, kebunmu juga aku sita." Tuan Steven pun melangkah pergi diikuti Bang Hanan di belakangnya yang dengan sengaja menyenggol bahu Bang Rizal ketika berjalan pergi.

Setelah Tuan Steven keluar dari pintu, rahang Bang Rizal tampak mengeras. Tiba-tiba saja ia mendekat dan–

Plak!

"Perempuan tidak tahu diuntung!"

Aku terjerembab jatuh ke lantai. Telingaku terasa berdenging. Kepala juga refleks terasa pening. Bang ... Bang Rizal menamparku?

"Abang ...." Mataku terasa kabur karena tiba-tiba ada kaca-kaca yang menghalangi pandangan ke arah suamiku.

"Derajatmu sudah aku angkat dari keluargamu yang miskin itu! Mestinya, kamu bayar semua kebaikanku!" Suara lelaki itu menggelegar membahana di ruang yang tak seberapa besar ini.

Air mata pun mengalir tak dapat kutahan. Bang Rizal mengapa tega terus berkata seperti itu? Jadi, selama ini sebenarnya aku dianggap apa?

"Aku tidak mau tahu! Kamu tanda tangani ini, sekarang juga!" Bang Rizal meraih kasar kertas dan map yang berada di meja. Kemudian ia sodorkan di hadapanku.

Aku menangis sesegukan. Mengapa hidupku begini ya, Rabb ...?

"Cepat tanda tangan!" bentaknya sembari menyerahkan pulpen ke arahku dengan sangat kasar.

Bang Rizal selama ini memang sering berkata kasar. Tapi dia tidak pernah sekasar ini, bahkan aku tak menyangka sama sekali lelaki itu sampai memukulku. Ini pertama kalinya.

Dengan hati yang ciut dan terasa perih sekali, tanganku bergetar memegang pulpen tersebut. Yaa Allah, sungguh kalaupun aku harus berpisah dengan suamiku, tapi tidak dengan cara seperti ini ....

"Cepat tanda tangan!" Bang Rizal mendorong kepalaku, dia terlihat geram.

"I–iya, Bang ...." jawabku terbata dan sambil terisak. Lalu aku bubuhkan tanda tanganku di kertas itu. Betapa perih batin ini. Air mata pun jatuh berderai membasahi pipi.

Bang Rizal memungut map dan kertas itu dari lantai dengan kasar. Ia lalu bangkit dan melangkah pergi keluar dari rumah ini.

"Anggap saja ini bayaran dari semua utang budimu kepadaku! Dasar perempuan mandul!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status