***
"Dew-- Dewi anak Mama Fiona?"
Hazel mengangguk lemah. Entah mengapa aku membenci sikapnya yang terkesan mengasihaniku. Aku yakin, di dalam lubuk hatinya pasti merasa puas karena aku sudah salah memilih lelaki dan menolak perjodohan dengannya dulu.
"Ba-- Bagaimana bisa, Hazel? Dewi dan Mas Andra tidak saling kenal," kilahku. Berharap apa yang Hazel katakan adalah sebuah kesalahan.
"Banyak hal yang tidak kamu tau, Len. Kamu terlalu sibuk dengan butik dan ya ... terlalu menikmati gombalan Andra, mungkin." Kulihat Hazel menyandarkan punggungnya di sofa. "Terlalu banyak kesalahan yang Andra buat, keluarlah dari zona nyamanmu. Sudah saatnya kamu mengurus semua peninggalan Papamu dengan baik, Len. Hentikan kebucinan yang benar-benar merugikanmu. Andra adalah laki-laki brengsek yang tidak pantas mendapat cinta dari wanita sepertimu. Aku ...."
"Cukup!" selaku cepat. "Kamu boleh kembali ke kantor, aku ada urusan sebentar lagi."
"Len ... setelah kuberitahu apa yang Andra lakukan dengan adik tirimu, kamu masih tidak percaya juga? Bodoh!"
"Jaga batasanmu, Hazel!" Tanpa sengaja suaraku meninggi. Entah kenapa aku kesal sekali saat dia mengataiku bucin dan bodoh, atau memang sesuatu di dalam diriku membenarkan itu sehingga respon yang kuberikan adalah marah ingin menyangkal, tapi yang Hazel katakan ada benarnya. Aku terlalu bucin dan bodoh.
Kalau memang Anita yang berkirim pesan pada Mas Andra adalah Dewi Anita anak Mama Fiona, aku benar-benar akan menghancurkan dua kubu sekaligus. Aku masih yakin sekali kalau kematian Papa ada hubungannya dengan Mama Fiona, tapi sayang ... sejauh ini belum ada bukti yang bisa aku jadikan boomerang.
Hazel berdiri setelah memastikan laptopnya masuk ke dalam tas. Dia membungkuk dan berkata, "Saya pamit, Bu Helena. Semoga harimu menyenangkan." Ucapan yang selalu keluar dari mulut pada staf di kantor setiap kali selesai melakukan pertemuan singkat.
Aku menghela napas kasar dan menatap punggung Hazel yang semakin menjauh. Akhirnya dia keluar dari dalam rumah dan deru mobilnya terdengar semakin menjauh.
Air mataku mengalir deras. Akankah penghianatan ini benar adanya? Aku benar-benar bodoh karena berharap Hazel salah memberikan informasi mengenai hubungan Mas Andra dan Dewi.
Kalau memang benar, aku tidak yakin bisa membalas sakit ini pada keduanya. Setelah Mama Fiona yang merebut Papa dari Mama sehingga Mama harus meninggal karena depresi berat, apakah ini akan terulang lagi padaku?
Buah jatuh memang tidak pernah jauh dari pohonnya. Napasku sesak membayangkan mereka bergumul di atas ranjang. Air mata mengalir begitu saja karena sakit di dalam hati semakin mendesak.
Kuhapus air mata dengan kasar. Hari ini juga aku akan datang ke rumah Mama Desinta-- Mama Mas Andra. Aku harus memastikan sendiri siapa wanita yang sedang mengandung anak suamiku.
Terlahir sebagai anak tunggal bukan hal yang mudah. Apalagi perusahaan Papa seringkali menjadi harta rebutan oleh sanak saudara, terbayang jika aku tidak memiliki keturunan, entah siapa yang akan mengelola semua ini. Tapi mendapatkan penghianatan dari Mas Andra, aku sedikit bersyukur karena belum juga diberi kepercayaan untuk memiliki anak dari suami penghianatan itu.
Kuambil kunci mobil di atas nakas. Tanpa berlama-lama aku segera mengendarai mobil menuju Perumahan Elite Permata Indah yang terletak di kota Surabaya, hanya lima belas menit jarak kesana dari rumahku. Rumah Mama yang kubeli dua tahun yang lalu, karena merasa kasihan jika keluarga suami harus tinggal di kontrakan sempit. Sempat kutawarkan untuk tinggal bersama, namun Mama menolak tegas dengan alasan agar kami bisa bermesraan setiap hari tanpa ada gangguan. Dan bodohnya aku percaya dengan alibi itu.
Sepanjang perjalanan dada terasa begitu sesak. Bayangan wajah Papa saat terakhir kali menatapku membuatku ingin menjerit saat ini juga. Bagaimana bisa suami yang aku perjuangkan agar hubungan kami mendapat restu ternyata tega bermain api.
"Maafkan aku, Pa."
Lagi-lagi dada terasa begitu sesak. Bayangan wajah Mama, Mama Fiona dan Dewi berkelebatan di depan mata. Masa-masa kelam yang aku harap tidak akan terulang justru diundang oleh suamiku sendiri.
"Kamu akan menyesal sudah menghianatiku, Mas. Aku bukan Mama yang lemah, kamu salah lawan!"
Sengaja kuhentikan mobil di depan rumah tetangga. Aku tidak mau mereka mengendus kedatanganku kali ini.
"Halo, Gea. Apa Pak Andra sudah berada di kantor?"
"Halo, Bu. Maaf, tapi Pak Andra tidak masuk kantor hari ini, bahkan pertemuan dengan klien pun dibatalkan."
Aku mengumpat dalam hati. Dia benar-benar sudah melalaikan Perusahaan yang Papa rintis mulai dari nol.
"Baiklah. Terima kasih, Ge. Jangan katakan pada Pak Andra kalau aku menelepon. Mengerti?"
"Baik, Bu."
Aku menutup panggilan telepon pada Gea, sekertaris Mas Andra di kantor. Ah, kenapa aku tidak berpikir lebih jauh, seharusnya aku bisa meminta Gea memantau kegiatan suamiku. Kamu memang bodoh, Helena!"
"Mbak Helen? Apa kabar?"
Aku menoleh ke belakang. Nampak Bu Jihan sedang menggendong cucunya mendekat ke arahku. Kuulas senyum tipis, beberapa tetangga Mama memang mengenalku karena dulu aku hampir setiap Minggu kesini.
"Baik, Bu. Ini anak Mira? Ya Ampun, lucu sekali." Aku menoleh pipinya yang gembul. Menahan air mata sedemikian kuat agar tidak baper melihat anak selucu ini dalam gendongan.
"Saya berkali-kali mencoba menyapa, tapi Pak Andra sepertinya tidak mau Mbak Helen berada di luar rumah. Oh ya, kandungannya sehat? Tapi ... maaf, kemarin sepertinya sudah terlihat sedikit buncit, tapi sekarang ...."
"Kandungan?" tanyaku lirih. Kurasa Bu Jihan bisa melihat air mataku yang menggenang.
Bu Jihan mengangguk. "Maaf, Mbak. Tapi sudah beberapa bulan ini memang ada wanita hamil di rumah Bu Desinta, saya pikir itu Mbak, Helen. Sekali lagi maaf, mungkin saya salah lihat," jelas Bu Jihan nampak salah tingkah.
Aku berusaha mengulas senyum dan mengangguk samar. "Kalau begitu saya masuk dulu ya, Bu. Terima kasih untuk informasinya."
Bu Jihan terlihat mengangguk ragu. Aku meninggalkannya di depan rumah dan berjalan gontai memasuki halaman rumah Mama yang terawat dengan banyak bunga-bunga cantik.
"Calon bayinya sehat, Ma. Aku nggak sabar ingin segera punya anak."
Langkahku terhenti. Aku berdiri di depan pintu yang tertutup dan memasang telinga dengan sangat baik agar bisa mendengarkan percakapan di dalam rumah mewah yang kubeli.
"Kalau sudah melahirkan nanti, aku mau kamu segera menceraikan Helena, Mas. Harta yang kita kuras rasanya cukup, aku tidak mau berbagi suami lagi!"
Aku meremas pinggiran baju dengan kuat. Tidak ada air mata. Penghianatan itu tersibak di depanku sendiri dan telingaku yang mendengarnya.
"Tidak bisa, Nit. Kita butuh Perusahaan itu bagaimanapun caranya. Lagipula Helena adalah yatim piatu, jika kita bisa menguasai semuanya, maka dia tinggal kita tendang saja. Beres kan?"
Aku yakin sekali itu suara Mas Andra. Tidak mungkin salah aku mengenali suara suaminya sekalipun tidak bisa melihat wajahnya saat ini.
"Kurang ajar kamu, Mas!" desisku geram.
Saat tangan hendak membuka handel pintu, ponselku tiba-tiba bergetar.
|Jangan gegabah, datang ke kantor dan kita hancurkan Andra perlahan-lahan|
"Hazel?" gumamku dengan bibir bergetar. Aku mengurungkan niat untuk melabrak mereka semua. Hazel benar, mereka semua harus hancur lebih dulu.
Bersambung***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban