Share

Kebenaran Mulai Tersibak

***

"Dew-- Dewi anak Mama Fiona?"

Hazel mengangguk lemah. Entah mengapa aku membenci sikapnya yang terkesan mengasihaniku. Aku yakin, di dalam lubuk hatinya pasti merasa puas karena aku sudah salah memilih lelaki dan menolak perjodohan dengannya dulu.

"Ba-- Bagaimana bisa, Hazel? Dewi dan Mas Andra tidak saling kenal," kilahku. Berharap apa yang Hazel katakan adalah sebuah kesalahan.

"Banyak hal yang tidak kamu tau, Len. Kamu terlalu sibuk dengan butik dan ya ... terlalu menikmati gombalan Andra, mungkin." Kulihat Hazel menyandarkan punggungnya di sofa. "Terlalu banyak kesalahan yang Andra buat, keluarlah dari zona nyamanmu. Sudah saatnya kamu mengurus semua peninggalan Papamu dengan baik, Len. Hentikan kebucinan yang benar-benar merugikanmu. Andra adalah laki-laki brengsek yang tidak pantas mendapat cinta dari wanita sepertimu. Aku ...."

"Cukup!" selaku cepat. "Kamu boleh kembali ke kantor, aku ada urusan sebentar lagi."

"Len ... setelah kuberitahu apa yang Andra lakukan dengan adik tirimu, kamu masih tidak percaya juga? Bodoh!"

"Jaga batasanmu, Hazel!" Tanpa sengaja suaraku meninggi. Entah kenapa aku kesal sekali saat dia mengataiku bucin dan bodoh, atau memang sesuatu di dalam diriku membenarkan itu sehingga respon yang kuberikan adalah marah ingin menyangkal, tapi yang Hazel katakan ada benarnya. Aku terlalu bucin dan bodoh.

Kalau memang Anita yang berkirim pesan pada Mas Andra adalah Dewi Anita anak Mama Fiona, aku benar-benar akan menghancurkan dua kubu sekaligus. Aku masih yakin sekali kalau kematian Papa ada hubungannya dengan Mama Fiona, tapi sayang ... sejauh ini belum ada bukti yang bisa aku jadikan boomerang.

Hazel berdiri setelah memastikan laptopnya masuk ke dalam tas. Dia membungkuk dan berkata, "Saya pamit, Bu Helena. Semoga harimu menyenangkan." Ucapan yang selalu keluar dari mulut pada staf di kantor setiap kali selesai melakukan pertemuan singkat.

Aku menghela napas kasar dan menatap punggung Hazel yang semakin menjauh. Akhirnya dia keluar dari dalam rumah dan deru mobilnya terdengar semakin menjauh.

Air mataku mengalir deras. Akankah penghianatan ini benar adanya? Aku benar-benar bodoh karena berharap Hazel salah memberikan informasi mengenai hubungan Mas Andra dan Dewi.

Kalau memang benar, aku tidak yakin bisa membalas sakit ini pada keduanya. Setelah Mama Fiona yang merebut Papa dari Mama sehingga Mama harus meninggal karena depresi berat, apakah ini akan terulang lagi padaku?

Buah jatuh memang tidak pernah jauh dari pohonnya. Napasku sesak membayangkan mereka bergumul di atas ranjang. Air mata mengalir begitu saja karena sakit di dalam hati semakin mendesak.

Kuhapus air mata dengan kasar. Hari ini juga aku akan datang ke rumah Mama Desinta-- Mama Mas Andra. Aku harus memastikan sendiri siapa wanita yang sedang mengandung anak suamiku.

Terlahir sebagai anak tunggal bukan hal yang mudah. Apalagi perusahaan Papa seringkali menjadi harta rebutan oleh sanak saudara, terbayang jika aku tidak memiliki keturunan, entah siapa yang akan mengelola semua ini. Tapi mendapatkan penghianatan dari Mas Andra, aku sedikit bersyukur karena belum juga diberi kepercayaan untuk memiliki anak dari suami penghianatan itu.

Kuambil kunci mobil di atas nakas. Tanpa berlama-lama aku segera mengendarai mobil menuju Perumahan Elite Permata Indah yang terletak di kota Surabaya, hanya lima belas menit jarak kesana dari rumahku. Rumah Mama yang kubeli dua tahun yang lalu, karena merasa kasihan jika keluarga suami harus tinggal di kontrakan sempit. Sempat kutawarkan untuk tinggal bersama, namun Mama menolak tegas dengan alasan agar kami bisa bermesraan setiap hari tanpa ada gangguan. Dan bodohnya aku percaya dengan alibi itu.

Sepanjang perjalanan dada terasa begitu sesak. Bayangan wajah Papa saat terakhir kali menatapku membuatku ingin menjerit saat ini juga. Bagaimana bisa suami yang aku perjuangkan agar hubungan kami mendapat restu ternyata tega bermain api.

"Maafkan aku, Pa."

Lagi-lagi dada terasa begitu sesak. Bayangan wajah Mama, Mama Fiona dan Dewi berkelebatan di depan mata. Masa-masa kelam yang aku harap tidak akan terulang justru diundang oleh suamiku sendiri.

"Kamu akan menyesal sudah menghianatiku, Mas. Aku bukan Mama yang lemah, kamu salah lawan!"

Sengaja kuhentikan mobil di depan rumah tetangga. Aku tidak mau mereka mengendus kedatanganku kali ini.

"Halo, Gea. Apa Pak Andra sudah berada di kantor?"

"Halo, Bu. Maaf, tapi Pak Andra tidak masuk kantor hari ini, bahkan pertemuan dengan klien pun dibatalkan."

Aku mengumpat dalam hati. Dia benar-benar sudah melalaikan Perusahaan yang Papa rintis mulai dari nol.

"Baiklah. Terima kasih, Ge. Jangan katakan pada Pak Andra kalau aku menelepon. Mengerti?"

"Baik, Bu."

Aku menutup panggilan telepon pada Gea, sekertaris Mas Andra di kantor. Ah, kenapa aku tidak berpikir lebih jauh, seharusnya aku bisa meminta Gea memantau kegiatan suamiku. Kamu memang bodoh, Helena!"

"Mbak Helen? Apa kabar?"

Aku menoleh ke belakang. Nampak Bu Jihan sedang menggendong cucunya mendekat ke arahku. Kuulas senyum tipis, beberapa tetangga Mama memang mengenalku karena dulu aku hampir setiap Minggu kesini.

"Baik, Bu. Ini anak Mira? Ya Ampun, lucu sekali." Aku menoleh pipinya yang gembul. Menahan air mata sedemikian kuat agar tidak baper melihat anak selucu ini dalam gendongan.

"Saya berkali-kali mencoba menyapa, tapi Pak Andra sepertinya tidak mau Mbak Helen berada di luar rumah. Oh ya, kandungannya sehat? Tapi ... maaf, kemarin sepertinya sudah terlihat sedikit buncit, tapi sekarang ...."

"Kandungan?" tanyaku lirih. Kurasa Bu Jihan bisa melihat air mataku yang menggenang.

Bu Jihan mengangguk. "Maaf, Mbak. Tapi sudah beberapa bulan ini memang ada wanita hamil di rumah Bu Desinta, saya pikir itu Mbak, Helen. Sekali lagi maaf, mungkin saya salah lihat," jelas Bu Jihan nampak salah tingkah.

Aku berusaha mengulas senyum dan mengangguk samar. "Kalau begitu saya masuk dulu ya, Bu. Terima kasih untuk informasinya."

Bu Jihan terlihat mengangguk ragu. Aku meninggalkannya di depan rumah dan berjalan gontai memasuki halaman rumah Mama yang terawat dengan banyak bunga-bunga cantik. 

"Calon bayinya sehat, Ma. Aku nggak sabar ingin segera punya anak."

Langkahku terhenti. Aku berdiri di depan pintu yang tertutup dan memasang telinga dengan sangat baik agar bisa mendengarkan percakapan di dalam rumah mewah yang kubeli.

"Kalau sudah melahirkan nanti, aku mau kamu segera menceraikan Helena, Mas. Harta yang kita kuras rasanya cukup, aku tidak mau berbagi suami lagi!" 

Aku meremas pinggiran baju dengan kuat. Tidak ada air mata. Penghianatan itu tersibak di depanku sendiri dan telingaku yang mendengarnya. 

"Tidak bisa, Nit. Kita butuh Perusahaan itu bagaimanapun caranya. Lagipula Helena adalah yatim piatu, jika kita bisa menguasai semuanya, maka dia tinggal kita tendang saja. Beres kan?"

Aku yakin sekali itu suara Mas Andra. Tidak mungkin salah aku mengenali suara suaminya sekalipun tidak bisa melihat wajahnya saat ini.

"Kurang ajar kamu, Mas!" desisku geram.

Saat tangan hendak membuka handel pintu, ponselku tiba-tiba bergetar.

|Jangan gegabah, datang ke kantor dan kita hancurkan Andra perlahan-lahan|

"Hazel?" gumamku dengan bibir bergetar. Aku mengurungkan niat untuk melabrak mereka semua. Hazel benar, mereka semua harus hancur lebih dulu.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
nona
tegas tapi oon di bilangin yg benar masih bela laki laki sampah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status