***
|Kalau kamu masih juga nungguin Helen di rumah, aku akan bilang ke semua orang kalau aku juga istrimu, Mas|
Hancur sudah persendianku. Mas Andra dengan wanita yang bernama Anita itu ternyata sudah menikah?
Tapi kapan?
Apa sebegitu sibuknya aku selama ini sampai-sampai tidak mengendus perselingkuhan suamiku sehingga hampir menghasilkan seorang anak?
Kuraup udara dengan rakus. Berusaha mengeluarkan semua sesak yang berdesakan di dalam dada. Sekarang bukan waktunya untuk menangis, Helen! Ada masa depan yang harus kamu perjuangkan dan jika Mas Andra memang ingin lepas dari ikatan pernikahan suci ini, maka dia harus kembali menjadi Andra yang dulu.
Bel di depan rumah berbunyi, aku yakin sekali jika Hazel yang datang menemuiku pagi ini. Selain tanggap, dia juga cekatan selama membantuku mengurus perusahaan yang Papa tinggalkan. Apalagi saat Mama tiriku berusaha merebut harta yang Papa tinggalkan, Hazel berusaha keras agar harta Papa tidak jatuh ke tangan mereka.
Tiba-tiba air mata menggenang begitu saja saat mengingat semua perlakuan Mama Fiona dan Dewi-- anaknya yang usianya tiga tahun di bawahku.
Segera kuhapus air mata dengan kasar dan bergegas membuka pintu untuk Hazel. Ada banyak hal yang harus aku urus dengan tanganku sendiri mulai sekarang.
"Selamat pagi, Bu Helena," sapanya ramah.
Aku mengangguk dan mempersilahkan Hazel untuk duduk sementara kuambil laptop di dalam kamar untuk menyalin data-data yang sempat aku minta.
"Apa Bu Helen sudah merasakan ada yang tidak beres?"
Mataku memicing. Kubuka laptop dengan perasaan bingung. Kenapa Hazel bisa bertanya seperti itu?
"Apa yang kamu tau?"
Hazel mengedikkan bahu. "Saya hanya staf biasa, Bu. Mana tau mengenai masalah pribadi ...."
"Hentikan, Hazel!" bentakku. "Berhenti bersikap seperti ini. Panggil aku Helen!"
"Tapi bukankah itu akan terdengar sangat tidak sopan, Bu? Apalagi kalau Pak Andra tau jika kita pernah sedekat nadi lalu tiba-tiba terasa sangat jauh sejauh bumi dan matahari?"
Aku membuang muka. Tidak banyak yang tau kalau kami ....
"Aku masih ingat saat kamu menolak perjodohan kita saat itu, Helena. Saat kamu begitu mempertahankan seorang laki-laki seperti Andra yang bahkan tidak kamu kenal seperti apa perangainya!"
Deg ....
Jantungku berdegup kencang saat Hazel mulai mengungkit masa lalu kami. Hazel yang merupakan anak dari sahabat Papa memang selalu ada di sisiku, tapi aku hanya menganggapnya sebagai seorang Kakak, tidak lebih.
"Sekarang apa kamu mulai terusik dengan sikap Andra yang berbeda?"
Lagi-- aku hanya melengos tanpa mau membagi apa yang sudah aku temukan di dalam ponsel Mas Andra. Aku tidak mau Hazel mengetahui keretakan hubungan rumah tanggaku untuk saat ini, meskipun aku yakin jika dia akan selalu membantuku karena balas budinya pada Papa yang dia anggap tidak akan ada habisnya.
"Berhenti membicarakan suamiku, aku ingin kamu menyalin laporan keuangan selama beberapa tahun belakangan!"
Kulihat Hazel menarik ujung bibirnya. Dia membuka laptop dan menyalin semua data yang aku pintakan. "Semoga setelah ini kamu bisa membuka mata, Len. Wanita yang hidup sendiri sepertimu seringkali dimanfaatkan oleh orang terdekat dan kamu tidak merasakan itu."
"Cukup, Hazel! Cukup kamu memojokkan Mas Andra, bagaimanapun dia suamiku, orang nomor satu di kantor tempat kamu bekerja."
Wajah Hazel memerah. Kulihat dia menarik napas panjang dan jemarinya mulai bergerak di atas laptop. Tidak ada lagi kalimat sarkas yang keluar dari mulutnya, Hazel mendadak diam setelah aku menegaskan jika Mas Andra adalah suami yang seharusnya aku percaya, meskipun sebenarnya di dalam hati perasaanku hancur berkeping-keping mengetahui kebenaran yang lain.
Setelah beberapa laporan masuk ke dalam laptop, aku segera menelisik semuanya. Mulai saat ini aku akan memantau semua pengeluaran dan pemasukan dari Kantor.
"Kenapa bulan kemarin membengkak sekali pengeluarannya, Hazel?"
Hazel mengedikkan bahu. "Bukankah saat itu aku sudah melaporkan itu padamu, dan kamu bilang kalau mungkin suamimu-- orang nomor satu di kantor itu sedang ada keperluan besar," sindir Hazel sinis. "Mungkin memang ada keperluan besar-besaran sehingga uang Kantor terkuras hampir 200 juta. Untuk biaya pernikahan misalnya," celetuknya mampu membuatku berhenti bernapas sejenak.
"A-- apa maksudmu?"
"Kamu masih tidak mengerti, Lena?" Aku menggeleng samar, berusaha menutupi apa yang sedang terjadi dan berharap jika pengeluaran yang cukup besar ini memang digunakan untuk kepentingan Perusahaan, bukan yang lain. "Suamimu itu sudah menikah lagi, dan kamu tau dengan siapa ...?"
Aku tercengang. Benarkah Hazel tau semuanya? Tapi kenapa aku ....
"Kamu terlalu percaya pada laki-laki serakah itu, Helena. Buka matamu, sudah waktunya Perusahaan Om Bagas bergerak lebih maju, tidak hanya menghabiskan dana seperti saat ini. Keluar dari zona nyamanmu sekarang, atau kamu mau Perusahaan yang Papamu dirikan hancur di tangan orang yang salah?"
"Ka-- kamu tau semuanya, Hazel?"
Suaraku tercekat. Kerongkongan terasa begitu sakit saat mengucapkan kalimat tanya pada laki-laki yang sedang duduk di hadapanku ini.
Kulihat Hazel mengusap wajahnya kasar. Dia mengepalkan kedua tangan dan berkata. "Itu yang sedang ingin aku katakan dari dulu, Len. Tapi kamu ...."
"Kamu begitu mempercayai Andra sampai-sampai penghianatan sebesar ini kamu tidak tau? Cinta memang kerap kali membuat orang begitu bodoh, sekalipun itu adalah orang yang cerdas jika sudah mendewakan cinta maka akan menutup semua mata pada kebenaran yang ada."
Aku sekuat tenaga menahan agar tidak mengeluarkan air mata. Hazel benar, aku adalah wanita bodoh yang begitu mudah percaya pada laki-laki seperti Mas Andra. Siapa kira sikapnya yang selama ini begitu lembut di depanku ternyata ...?
"Apa kamu tau wanita yang menjadi madumu?"
"Aku ... aku ...."
Aku menutup mulut menahan tangis. "Aku bahkan baru tau hari ini, Zel. Aku tidak menyangka jika Mas Andra berani berbuat kotor di belakangku. Anita, wanita yang mengirim pesan pada suamiku itu bernama Anita, haruskah aku menghabisi mereka semua dan membuat Mas Andra mengingat darimana mereka berasal?"
Hazel tersenyum kecut. "Ya. Wanita itu memang bernama Anita. Dewi Anita."
Kedua mataku membulat sempurna. Aku bahkan menggeleng samar mendengar nama yang tidak asing di telingaku.
"Dewi Anita?"
Bersambung***"Dew-- Dewi anak Mama Fiona?"Hazel mengangguk lemah. Entah mengapa aku membenci sikapnya yang terkesan mengasihaniku. Aku yakin, di dalam lubuk hatinya pasti merasa puas karena aku sudah salah memilih lelaki dan menolak perjodohan dengannya dulu."Ba-- Bagaimana bisa, Hazel? Dewi dan Mas Andra tidak saling kenal," kilahku. Berharap apa yang Hazel katakan adalah sebuah kesalahan."Banyak hal yang tidak kamu tau, Len. Kamu terlalu sibuk dengan butik dan ya ... terlalu menikmati gombalan Andra, mungkin." Kulihat Hazel menyandarkan punggungnya di sofa. "Terlalu banyak kesalahan yang Andra buat, keluarlah dari zona nyamanmu. Sudah saatnya kamu mengurus semua peninggalan Papamu dengan baik, Len. Hentikan kebucinan yang benar-benar merugikanmu. Andra adalah laki-laki brengsek yang tidak pantas mendapat cinta dari wanita sepertimu. Aku ....""Cukup!" selaku cepat. "Kamu boleh kembali ke kantor, aku ada urusan sebentar lagi.""Len ... setelah kuberitahu apa yang Andra lakukan dengan adik
***Aku melangkah mundur dengan perlahan. Meskipun ingin sekali melabrak mereka sekarang juga, tapi aku tidak mau penghianatan yang Mas Andra berikan hanya berujung pada perceraian semata. Aku akan membalaskan dendam Mama dan Papa jika memang wanita yang menggoda suamiku adalah Dewi. Akan kupastikan jika balas dendam yang kuberikan tidak akan bisa dia lupakan. "Kok balik lagi, Mbak?"Bu Jihan yang masih menggendong cucunya melihatku dengan mengernyit. Aku terkekeh, lalu menarik tangan tetangga yang terkenal ramah itu untuk bersembunyi di balik mobil."Boleh saya minta tolong, Bu?"Bu Jihan nampak mengerjapkan mata lalu mengangguk samar. "Kalau saya bisa, insyaallah saya bantu, Mbak Helen."Aku menceritakan tentang wanita hamil di rumah Mertuanya, nampak wajah Bu Jihan begitu terkejut, lalu kembali menguasai diri karena terlihat jelas dari senyum yang dia paksakan."Mungkin adik ipar Pak Andra, Mbak. Kenapa tidak langsung masuk saja untuk memastikan."Aku mematung. Kugigit bibir denga
***Hazel berbicara panjang lebar dengan klien sementara aku lebih banyak diam menyimak. Jujur, setelah lama tidak mengurus Perusahaan Papa rasanya aku kembali kikuk jika harus berhadapan dengan orang-orang penting ini."Mulai besok kembali bekerja di kantor, cari alasan agar Andra tidak curiga. Satu klien bisa kita atasi, tapi entah ada berapa banyak orang yang Andra hubungi, kamu harus bisa menghentikan sebelum semakin jauh dia bertindak."Aku mengangguk. Setelah pertemuan di Cafe Cempaka aku segera membawa mobil pulang ke rumah. Rasanya lelah sekali, jiwa dan raga."Darimana kamu, Len? Sakit bukannya tidur malah kelayapan!"Aku berjingkat. Untuk pertama kalinya melihat Mas Andra menggerutu di depanku. "Kenapa memangnya? Kamu khawatir?" sindirku. "Helena, sini, Sayang. Andra bilang kamu sakit, Mama datang membawa sup ayam, makan selagi masih hangat."Aku hanya mengangguk. Jika dulu aku akan luluh dan merasa disayangi dengan sikap mereka, maka tidak dengan saat ini. Muak sekali meli
*** "Mau kemana, Len, kenapa rapi sekali?" Aku berjingkat mendengar suara Mama, pasalnya tadi malam dia sudah keluar diantar Mas Andra setelah mencaci makiku di belakang. Tapi pagi ini dia tiba-tiba sudah berada di dapur. "Lena?" "Ah, ehm ... ada urusan di kantor, Ma," sahutku cepat. "Apa Mas Andra sudah berangkat?" Mama Desinta mengangguk. Dia membawa sepiring nasi goreng dan satu gelas susu hangat di atas meja makan. Tanpa menghiraukan sarapan yang sudah Mama buat, aku segera berbalik hendak pergi ke kantor secepatnya, jangan sampai Mas Andra tahu jika aku sudah membatalkan semua pengajuan pinjaman yang sudah dia rencanakan. "Helena, makan dulu, Nak. Kamu baru pulih!" teriak Mama dari arah dapur. Aku berjalan semakin cepat menuju kamar, menyambar kunci mobil dan tas yang sudah berisi banyak bukti siapa sebenarnya Anita. Aku tidak akan memaafkan kalian! Setelah merebut Papa dari Mama, sekarang anaknya pula ingin merebut Mas Andra dariku. Apa mereka pikir aku akan selemah Mama beg
***"Jaga bicaramu, Len. Aku suamimu, tidak seharusnya kamu mempermalukan suami sendiri di depan umum," kata Mas Andra tegas. "Lihat, gara-gara suara kamu para staf sampai terganggu, sekarang ayo kita pergi!"Mas Andra menarik tanganku kasar. Kulihat senyuman tipis tergurat di bibir Anita. Oh ya, apa dia pikir aku selemah itu akan menangisi tamparan suamiku? Tentu tidak!"Lepaskan!" "Tolong jangan buat keributan di kantorku, Len. Aku tidak mau sampai harga diriku rusak gara-gara kamu yang terbakar cemburu!"Aku tertawa lantang. Saat Mas Andra menoleh ke arahku dengan setengah tercengang, disaat itulah aku melepaskan cekalan tangannya. Lihat, anak pelakor itu bahkan mengintil di belakang kami."Kamu sadar apa yang kamu katakan, Mas?"Wajah suamiku memerah. Mungkin dia merasa terhina. Ah, bukankah dia dan selingkuhnya memang hina. Kurang baik apa aku selama ini, sehingga dia berani mengkhianati ikatan suci sebuah pernikahan?"Ini Perusahaan Papaku, Mas. Mana ada kantor milikmu," jelask
*** "Sayang, sudah hentikan! Kamu hanya salah paham dan tersulut cemburu buta." "Cemburu buta?" kataku meniru ucapan Mas Andra. "Ha ... ha ... yang benar saja, Mas. Aku tidak akan menaruh rasa cemburu pada wanita murahan sepertinya! Bahkan jika dia mau ambil kamu, silahkan! Tapi jangan harap bisa mengambil harta orang tuaku sepeserpun!" Kulihat Mas Andra menggelengkank epalanya samar, dan saat itu pula Anita berlalu tanpa berani membalas hinaan yang keluar dari mulutku. Ayolah, Anita ... sakit hati atas ucapanku tidak sesakit kamu merebut suamiku bukan? Kamu dan Mamamu yang jalang itu sudah menghancurkan keluargaku. Aku merasakan tangan Mas Andra menggenggam jemariku. Bisa kulihat kedua mata Anita melotot melihat aksi laki-laki yang dia cintai memelas di depanku saat ini. "Pergilah, Nit! Jangan bikin suasana tambah runyam!" Aku membuang muka. Menepis tangan Mas Andra dan mulai berjalan hendak memasuki ruangan. "Kamu kenapa sih, Len? Kenapa tiba-tiba datang dan mau atur Perusaha
*** "A-- apa maksudmu, Len? Kumpulan pelakor siapa?" Aku tertawa getir. Ibu dan Anak sama saja, pintar bersandiwara. Jelas-jelas di dalam rumah ini ada Mama Fiona dan Anita, tapi dia bersikap seolah-olah tidak tahu menahu tentang apa maksud dari ucapanku. "Len, duduk, Sayang! Kita bicarakan baik-baik! Mama dengar dari Anita kalau kamu salah paham dengan Andra, iya?" Aku berdecih. "Tidak ada yang namanya salah paham. Sudahlah, Ma, aku lelah! Aku cuma mau bilang kalau besok rumah ini harus dikosongkan!" "Lalu kami semua akan tinggal dimana, Helena?" "Kami?" Mama nampak gelagapan. Dia berkali-kali mengerjapkan mata dan berusaha menggenggam jemariku. "Iya, kami. Mama dan Kamila. Apa kami akan kamu bawa tinggal di rumahmu, Nak?" Aku tertawa terbahak-bahak. Menatap satu per satu wajah di dalam rumah ini yang sangat aku benci. Mereka ... tega-teganya mereka membuat hidupku hancur setelah apa yang aku berikan selama ini. "Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri di depan Mama. "Aku bawa Mam
PoV Author *** Helena terkekeh. Dia menarik rambut Anita hingga wanita itu berteriak kesakitan. Fiona menahan napas melihat anaknya diperlakukan kasar oleh Helena. Apalagi saat ini Anita sedang hamil, tentu saja Fiona takut jika satu-satunya senjata yang mereka miliki justru hilang begitu saja. Melihat ada pergerakan dari Fiona dan Desinta, Hazel menghalangi jalan mereka dengan tegap. "Berani meringsek maju, kupatahkan kedua tangan kalian!" serunya sengit. Desinta dan Fiona saling pandang sementara di depan pintu Helena semakin mengeratkan tarikannya di rambut panjang Anita. Wanita itu semakin mendongak, air mata mengalir di sudut-sudut matanya. "Gila kamu, Helena! Lepaskan aku!" teriaknya marah. "Kalau Mas Andra tau kamu memperlakukanku seperti ini, dia tidak akan mengampunimu!" "Kamu pikir aku butuh pengampunan dari laki-laki miskin itu, Nit?" tanya balik Helena seraya melirik Desinta sinis. "Dia dan keluarganya, atau bahkan kamu dan Mama lacurmu itu hidup dari uangku, dari bela