*** "A-- apa maksudmu, Len? Kumpulan pelakor siapa?" Aku tertawa getir. Ibu dan Anak sama saja, pintar bersandiwara. Jelas-jelas di dalam rumah ini ada Mama Fiona dan Anita, tapi dia bersikap seolah-olah tidak tahu menahu tentang apa maksud dari ucapanku. "Len, duduk, Sayang! Kita bicarakan baik-baik! Mama dengar dari Anita kalau kamu salah paham dengan Andra, iya?" Aku berdecih. "Tidak ada yang namanya salah paham. Sudahlah, Ma, aku lelah! Aku cuma mau bilang kalau besok rumah ini harus dikosongkan!" "Lalu kami semua akan tinggal dimana, Helena?" "Kami?" Mama nampak gelagapan. Dia berkali-kali mengerjapkan mata dan berusaha menggenggam jemariku. "Iya, kami. Mama dan Kamila. Apa kami akan kamu bawa tinggal di rumahmu, Nak?" Aku tertawa terbahak-bahak. Menatap satu per satu wajah di dalam rumah ini yang sangat aku benci. Mereka ... tega-teganya mereka membuat hidupku hancur setelah apa yang aku berikan selama ini. "Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri di depan Mama. "Aku bawa Mam
PoV Author *** Helena terkekeh. Dia menarik rambut Anita hingga wanita itu berteriak kesakitan. Fiona menahan napas melihat anaknya diperlakukan kasar oleh Helena. Apalagi saat ini Anita sedang hamil, tentu saja Fiona takut jika satu-satunya senjata yang mereka miliki justru hilang begitu saja. Melihat ada pergerakan dari Fiona dan Desinta, Hazel menghalangi jalan mereka dengan tegap. "Berani meringsek maju, kupatahkan kedua tangan kalian!" serunya sengit. Desinta dan Fiona saling pandang sementara di depan pintu Helena semakin mengeratkan tarikannya di rambut panjang Anita. Wanita itu semakin mendongak, air mata mengalir di sudut-sudut matanya. "Gila kamu, Helena! Lepaskan aku!" teriaknya marah. "Kalau Mas Andra tau kamu memperlakukanku seperti ini, dia tidak akan mengampunimu!" "Kamu pikir aku butuh pengampunan dari laki-laki miskin itu, Nit?" tanya balik Helena seraya melirik Desinta sinis. "Dia dan keluarganya, atau bahkan kamu dan Mama lacurmu itu hidup dari uangku, dari bela
*** "Menangislah sekarang. Sepuasnya, seberapa banyak pun kamu ingin membuang air mata. Menangislah!" Helena semakin tergugu. Dia tidak menyangka jika selama ini Hazel justru selalu memantaunya dari jauh. "Andai saja dulu aku menikah denganmu, aku yakin Papa pasti masih hidup, Zel," lirih Helena sembari memanggil Hazel dengan sebutan masa kecil mereka. Hazel menoleh. Dadanya berdegup kencang, lebih kencang dari biasanya. Bibirnya tersenyum tipis kemudian membuang muka perlahan. Dia tidak mau Helena melihat wajahnya yang memerah karena bahagia wanita yang dia cintai memanggilnya dengan panggilan masa lalu mereka. "Bagaimana kalau kita menikah saja sekarang?" Helena menghembuskan napas kasar. Dia melengos dan mencebik. "Aku bahkan tidak berselera bercanda kali ini. Hatiku benar-benar hancur. Orang-orang yang aku anggap baik ternyata tidak ubahnya ular dalam hidupku," papar Helena mengurai pedihnya takdir yang menyapa. "Aku pikir menikah dengan laki-laki yang kucintai akan berakhir
*** "Len ... Helena!" Aku menutup telinga dengan bantal saat suara Mas Andra menggelegar di depan pintu pagar. "Keluar kamu, Helena!" Dadaku berdegup kencang. Untuk area Perumahan yang tidak banyak penghuni, suara Mas Andra cukup terdengar sampai ke lantai atas rumahku. Beruntung Hazel segera membawa dua orang satpam dan satu ART untuk menemaniku malam ini. Prediksinya benar, Mas Andra akan datang ke rumah ini karena sore tadi anak buah yang aku sewa sudah mengusir keluarganya dari rumah. "Bangsat kamu, Len!" Aku meremas tangan dengan gusar. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun kami menjadi suami istri, aku bisa mendengar umpatan yang akhirnya keluar juga dari mulut suamiku. Ah, calon mantan suami. Tiba-tiba mataku menyapu ruangan. Di dalam kamar ini dulu kita selalu memadu kasih, berbagi cerita tentang kegiatan sehari-hari, juga menyusun rencana masa depan yang ternyata semua itu hanyalah pemanis saja. Mas Andra benar-benar membuat duniaku hancur. "Lepaskan! Aku sua
PoV Helena *** "Cukup! Diam kalian berdua!" Aku berteriak lantang. Kesal sekali melihat Mama dan Kamila bersikap seolah begitu tertindas dengan perilakuku, padahal sebenarnya mereka lah yang bersalah. "Pergi dari sini atau kulaporkan tindakan Mas Andra yang sudah menguras keuangan perusahaan!" Mama Desinta dan Kamila sontak menoleh ke arah laki-laki di samping mereka. Aku bisa melihat wajah Mas Andra yang pucat mendapat tatajam tajam dari dua wanita dalam hidupnya. "Pergi! Kalian benar-benar keluarga tidak tau malu!" Setelah mengatakan demikian, aku berjalan dengan langkah lebar memasuki rumah dan menutup pintunya dengan keras. Suara panggilan Mas Andra masih terdengar, bahkan Mama dan Kamila juga tidak putus asa memanggil namaku. Hampir kurang lebih sepuluh menit lamanya kedua satpam pilihan Hazel akhirnya bisa membuat kutu-kutu itu pergi dari rumahku. Rasa lega tentu saja menyeruak di dalam dada meskipun sebenarnya hatiku masih saja merasakan sakit karena penghianatan mereka.
*** "Helena!" Aku tersentak. Kepalaku mendadak berputar dan tanganku bergetar menyadari ada sebuah gunting menganga yang siap menggores pergelangan tangan. Prak .... Jantungku berdebar hebat membayangkan bagaimana jadinya jika gunting tajam tadi berhasil mengoyak pergelangan tanganku. Ya Tuhan .... Plak .... Perih! Panas! Pipiku terasa begitu kebas mendapat tamparan yang begitu kuat dari tangan ... "Hazel?" lirihku terkejut. "Jangan bodoh! Kamu mau bunuh diri hanya karena laki-laki seperti Andra, hah?" "Aku ...." Bibirku bergetar hebat. Baru kali ini aku melihat kemarahan di wajah Hazel. Mengerikan! "Aku ... aku hanya ...." Hazel mencengkeram bahuku dengan kuat. Dia menatapku tajam dan berkata. "Sadarlah, Helen! Andra bukan laki-laki yang pantas buatmu, kamu wanita berharga yang berhak mendapatkan kebahagiaan meskipun bukan dari suamimu. Mengerti?" Aku menangis. Tidak bisa lagi menahan semuanya sendiri. Sekuat apapun aku berusaha untuk tegar dan kuat menghadapi semua yang
*** "Tenang! Tenang semuanya!" Suara lantang Pak RT membuat dua wanita di belakang Mas Andra mencebik. Aku bisa melihatnya dengan jelas meskipun suasana depan rumah sedikit redup karena cahaya lampu yang berpendar tidak cukup terang. "Saya sangat mengenal Mbak Helena dengan baik, sepertinya apa yang dia katakan memang benar. Isi video ini, biar saya yang berhak tau, karena ...." "Pak RT tidak becus! Pasti dia dan laki-laki brengsek itu sudah menyuap anda kan?" Sorot mata Mama menyiratkan kebencian yang teramat dalam. "Kita semua berhak tau kalau Helena dan laki-laki itu sudah berbuat zinah! Kenapa pula harus ditutup-tutupi begini?" Aku terkekeh getir. Melihat kemarahan di wajah Mama membuatku semakin menyadari jika betapa bodohnya aku yang hampir saja membuang nyawa karena merasa lelah menghadapi mereka. "Jangan samakan aku dengan anakmu, Ma! Sekarang silahkan kalian pergi, tidak ada gunanya membawa warga kesini karena semua tuduhan kalian hanyalah omong kosong!" Mas Andra terli
*** "Wow, ada angin apa seorang titisan pelakor datang ke kantorku? Ah, sepertinya aku harus membuat brifing pada para satpam agar wanita ular sepertimu tidak bisa masuk ke sini." Helena berdiri. Dia berjalan anggun mendekati Anita yang terpaku di depan pintu ruangannya. "Ada urusan apa mendatangi perusahaan saya, Nona Anita?" Anita membuang muka. Kedatangannya kali ini bukan tanpa alasan. Bagaimana tidak, tadi malam Andra dan Mamanya serta Kamila datang ke rumahnya tanpa diundang. Meminta tinggal sementara disana dengan dalih menyusun rencana untuk menghancurkan Helena yang sudah berbuat semena-mena pada keluarganya. Begitulah benalu! "Kamu keterlaluan, Len! Bisa-bisanya mengusir suami sendiri dari rumah mereka!" "Rumah mereka?" Ulang Helena terkekeh. "Sejak kapan mereka punya rumah, Dewi Anita? Bahkan rumah yang kamu tempati jika mau pun bisa merebutnya." Kedua tangan Anita mengepal kuat. Rahangnya mengatup rapat mendengar ancaman dari mulut Helena. "Rumah yang kalian tempat m