Laki-laki tampan dan gagah itu duduk bersebelahan dengan Pak Burhan. Acara pun segera dimulai setelah kedatangan laki-laki itu. Saat di tengah acara, tiba-tiba Luna menyenggol lengan Hana.
"Han! Hana ..." ucap Luna lirih.
"Ada apa, sih, Lun? Dengerin tuh Pak Burhan lagi bicara," sahut Hana lirih juga. Dia tengah menyimak isi pidato Pak Burhan yang berisi perpisahan.
"Laki-laki itu sejak tadi melihatmu terus. Kamu gak merasa apa?" ucap Luna sambil melirik ke arah laki-laki yang ternyata mereka tunggu yaitu Pak Marvin.
"Gak usah ngaco kamu, Lun. Mana? Gak ada tuh!" Ketika Hana mencoba melihat Pak Marvin, laki-laki itu membuang muka dan sepertinya salah tingkah.
"Iya beneran, Han. Aku dari tadi perhatikan dia. Jangan-jangan naksir kamu, Han?" terka Luna.
"Ehm ... ehm ..." Pak Burhan berdehem sambil memperhatikan Luna dan Hana.
"Apa yang ingin Ibu Luna dan Ibu Hana sampaikan? Sejak tadi saya perhatikan mengobrol terus," ucap Pak Burhan.
Hana dan Luna m*ti gaya. Mereka saling berpandangan dan merasa tidak enak hati dengan Pak Burhan.
"Maaf, Pak," ucap keduanya hampir bersamaan.
"Baiklah kalau tidak ada, saya akan lanjutkan kembali," sahut Pak Burhan. Beliau melanjutkan pidatonya yang sempat berhenti sejenak.
Kini, Hana dan Luna fokus memperhatikan ucapan Pak Burhan di depan. Keduanya melihat Pak Marvin tersenyum ketika Pak Burhan menegur mereka.
"Jadi, ini Pak Marvin yang akan menggantikan saya di sini. Dia baru saja lulus dari pendidikannya di Cairo. Beliau ini sekaligus pemilik yayasan tempat kita semua bernaung. Saya harap, Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian dapat bekerjasama dengan baik bersama Beliau. Mungkin Pak Marvin mau menyampaikan sepatah dua patah kata, saya persilahkan!"
Benar saja dugaan Hana dan Luna. Laki-laki yang umurnya mungkin sama dengan mereka ini adalah pengganti Pak Burhan. Marvin mengucapkan terima kasih kepada Pak Burhan. Lalu, dia mulai bicara di depan para guru di sana.
"Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Semoga Bapak dan Ibu Guru di sini semuanya dalam keadaan sehat walafiat. Pertama-tama, saya mohon maaf sekali karena terlambat datang. Ada insiden kecil di jalan yang membuat saya datang terlambat.
"Bolehkah saya bercerita sedikit tentang insiden itu?" Marvin melempar pertanyaan ke peserta yang ada di sana.
"Silahkan saja, Pak Marvin," sahut Pak Burhan mewakili semua orang yang hadir.
"Jadi, tadi saat saya dalam perjalanan, aku perempuan muda naik motor tapi tidak fokus. Dia sudah berulang kali saya klakson tapi tetap masih saja di tengah. Dan ya begitulah, terjadilah insiden kecil itu. Perempuan itu hampir terserempet dan dia jatuh," cakap Marvin panjang lebar. Matanya melihat ke arah Hana yang juga melihatnya.
Deg! Seketika Hana tegang. Dia tentu saja paham yang dimaksud oleh Marvin karena jelas itu pasti dirinya. Dari cerita Marvin, semuanya persis seperti kejadian yang menimpanya.
Hana jadi malu dan menundukkan kepala. Tak berani rasanya menatap laki-laki yang akan menjadi kepala yayasan itu.
"Kamu kenapa, Han? Kok kamu nunduk?" tanya Luna yang menyadari perubahan sikap Hana.
"Gawat ini, Lun! Ternyata yang tadi terlibat kecelakaan bersamaku, itu Beliau," jawab Hana berbisik.
"Apa? Maksudmu Pak Marvin, Han? Serius?!" tanya Luna memastikan. Hana pun mengangguk.
Sepanjang acara, Hana sama sekali tak berani menatap Marvin karena malu. Setelah acara serah terima dan ramah tamah dengan Kepala Yayasan yang baru, para guru kembali mengajar ke kelas masing-masing.
***
Hana benar-benar tidak bisa konsentrasi saat mengajar. Dia masih malu karena ternyata yang dia serempet adalah kepala yayasan tempat dia bekerja.
Tok! Tok! Tok!
"Selamat siang, Bu Hana. Pak Marvin ingin melihat para guru mengajar di kelas. Bolehkah kami masuk?" Terlihat Pak Burhan dan Marvin sudah ada di depan kelas yang Hana ampu.
"Bo—leh. Silahkan, Pak!" jawab Hana gugup.
Rasanya campur aduk. Hana tegang karena saat mengajar dilihat oleh Pak Burhan dan Marvin. Tapi, Hana harus tetap profesional. Walaupun dia juga ada masalah, itu tak menjadikannya alasan untuk tidak mengajar anak-anak dengan baik.
Hana tak sadar jika Marvin begitu memperhatikannya. Bahkan, dia sampai tak berkedip melihat Hana mengajar. Marvin begitu terpesona dengan kecantikan alami yang dimiliki oleh Hana.
"Sudah, Pak, yang dilihatin Ibu Hana. Beliau itu sudah berumah tangga, lho, Pak," tegur Pak Burhan sambil bercanda.
"Apa, sih, Pak Burhan ini?! Saya tidak memperhatikan Bu Hana kok. Saya itu memperhatikan cara Ibu Hana mengajar," bantah Pak Marvin berbohong.
"Oh ternyata dia sudah menikah. Berarti, tak ada lagi kesempatan untukku," batin Marvin kecewa.
Setengah jam mengamati kelas Hana, Marvin dan Pak Burhan kembali keliling ke kelas-kelas lain. Sebelum benar-benar pensiun, Pak Burhan ingin mengenalkan seluk-beluk yayasan itu. Walaupun Marvin anak pemilik yayasan, tapi dia belum pernah ke sana sama sekali.
Sementara di dalam kelas, Hana merasa lega karena Marvin sudah keluar. Dia pun kembali mengajar anak-anak dengan tenang. Selain PAUD, yayasan itu juga ada daycare yang menyediakan layanan full day untuk orang tua yang memiliki kesibukan bekerja.
Para guru akan digilir untuk menjadi petugas daycare yang full day. Dan hari itu, kebetulan adalah jadwal Hana. Selesai mengajar, Hana masih tetap di sekolah sampai semua orang tua murid menjemput mereka.
Tepat pukul lima sore, ada satu murid yang terlambat dijemput orang tuanya dan terpaksa Hana harus menunggu di sana. Saat dia sedang menunggu bersama siswa itu, Marvin datang menghampiri mereka.
"Belum pulang, Bu Hana?" sapa Marvin.
"Pak Marvin?! Be—lum, Pak," jawab Hana gugup.
"Pak, maaf atas insiden tadi pagi. Saya tidak tahu kalau ternyata itu Pak Marvin," sambung Hana kemudian.
"Ah tak mengapa, Bu, lupakan saja," sahut Marvin sambil tersenyum.
Dari kejauhan, ada seseorang yang tengah mengintai mereka berdua. Orang itu beberapa kali mengambil potret keduanya. Siapakah orang itu?
Perasaan Adam dan Hana campur aduk. Mereka tidak mau bahagia lebih dahulu karena belum ada bukti, biarpun yang memeriksa Hana adalah dokter kandungan. Selama perjalanan menuju poliklinik Dokter Arif, Hana dan Adam saling berpegangan. Mereka menguatkan satu sama lain. Mereka akan melalui hari ini secara bersama-sama apapun hasilnya. "Aku takut, Mas," kata Hana ketika mereka menunggu di ruang tunggu depan poliklinik kandungan. "Kita hadapi sama-sama, ya! Berdoa saja semoga hasilnya sesuai dengan apa yang kita harapkan.""Aamiin."Hana dan Adam masih menunggu karena jadwal praktek Dokter Arif masih setengah jam lagi. Sudah ada beberapa ibu hamil yang juga ikut menunggu. Rasa rindu menghinggapi Hana ketika melihat hal itu. Dia rindu dengan Kanaya. Rindu akan tawa kecil yang selalu menghiasi harinya kala itu. Rindu hingga membuat Hana berharap jika dirinya saat ini benar-benar hamil. Setengah jam kemudian, mereka melihat Dokter Arif masuk ke dalam ruangan. Hati keduanya semakin berdeb
Kesedihan Hana tak berlangsung lama karena dia harus terus menjalani hidupnya. Masih ada Keenan dan juga Adam yang membuatnya bahagia. Tak ada waktu untuk bersedih. Dia harus bisa mensyukuri pemberian dari Allah setelah semua yang telah dia lalui. Dua bulan berlalu setelah kejadian testpack pagi itu. Hana semakin hari semakin giat bekerja. Sekarang bisnis Adam dan Hana mereka kelola sendiri-sendiri. Hana fokus pada bisnis baju-bajunya. Sedangkan Adam meneruskan bisnisnya yang sudah lama. "Kamu kok pucat sekali, Sayang? Kamu lagi sakit?" tanya Adam saat mereka hendak berangkat bekerja. Hana menggeleng pelan. Dia memang merasakan pusing. Tapi karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, Hana terpaksa berbohong pada Adam. Jika Adam sampai tahu kalau dia sakit, pasti Adam tidak akan mengizinkannya untuk bekerja. Hana sudah terlalu mencintai pekerjaannya itu. Dengan bekerja, dia akan sedikit melupakan keinginannya untuk mempunyai anak. "Kamu yakin?" tanya Adam lagi untuk memastikan
"Ah rasanya aku sudah lupa hamil itu seperti apa. Apa aku cek saja? Tapi, nanti kalau hasilnya tak sesuai yang aku harapkan, pasti aku sedih. Tapi, aku penasaran juga. Toh aku juga sudah terlambat haid sudah hampir seminggu."Hati Hana bimbang. Dia merasa belum siap tapi penasaran juga. Apalagi dia juga sudah sangat merindukan kehadiran buah hati kembali. Walaupun ada Keenan, bukankah anak dari darahnya sendiri itu membahagiakan? Jikalau benar dia hamil, Hana berjanji akan tetap menyayangi Keenan seperti sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Adam, Hana pergi ke apotik untuk membeli testpack. Dia memasukkan benda tipis itu ke dalam tasnya dan kembali lagi ke kantor. Kebetulan ada apotik yang dekat dengan tempat yang dijadikan kantor oleh Adam. Di kantor, dia pun bekerja seperti biasanya. Saat pertama kali Adam masuk ke kantornya, dia sangat kagum dengan banyaknya perubahan. Bahkan ada beberapa bisnis baru yang dikerjakan oleh Hana dan itu sangat diapresiasi oleh Adam. "Kamu darimana, Saya
"Kenapa kamu bisa sampai di sini, Lun?" tanya Hana yang kebingungan melihat sahabat yang sudah lama tidak ditemui sekarang ada di rumahnya. Bahkan sampai Marvin ada di rumahnya. Padahal mereka sudah lama sekali tidak berkomunikasi. Luna tak menjawab. Dia mengajak Hana dan Lita untuk duduk terlebih dahulu. Lalu, Luna mengambilkan air minum untuk diminum mereka berdua. Tujuannya agar bisa membuat keadaan keduanya lebih tenang. Sayup-sayup terdengar beberapa orang yang tengah berbisik. Saat itu juga mendadak rumah Hana menjadi ramai. Hana sampai dibuat bingung karenanya. "Terima kasih," ucap Hana setelah kondisinya agak tenang. Keenan pun juga ikut tenang saat melihat Hana tenang. Suasana menjadi hening. Baik Hana maupun Luna tidak saling bicara. Dan mata Hana pun menatap Luna seolah sedang menunggu jawaban dari sahabat yang sudah lama tidak dia temui itu. "Luna ..." ucap Hana lirih. "Iya, Hana. Kamu mau tahu kenapa aku dan Mas Marvin bisa di sini? Iya, kan?" Hana mengangguk cepat.
Sebuah bungkusan plastik yang isinya sudah berhamburan keluar. Banyak darah di sekitar plastik hitam itu. Hana bertakbir karena terkejut melihat hal itu. Tak lama kemudian terdengar lagi suara kaca dilempar batu. "Astaghfirullah hal adzim!" seru Hana dan Lita hampir bersamaan."Apa lagi itu, Bu?" tanya Lita yang melihat kertas yang sudah diremas-remas ada di dekat batu yang dipakai untuk melempar. Hana dengan hati-hati mengambil kertas itu dan membukanya. Matanya melotot ketika melihat tulisan berwarna merah menyala itu. "MAT* KALIAN!" eja Lita saat membaca tulisan yang ada di kertas. "Siapa yang melakukan ini, Bu? Saya takut sekali, Bu," kata Lita kemudian. "Ayo kita masuk ke dalam kamar! Aku harus minta bantuan karena kita sudah diteror," balas Hana. Dia kemudian mengajak Lita untuk ke kamarnya. Saat itu Hana ponsel Hana terletak di dalam kamarnya. Dengan langkah yang cepat keduanya berjalan menuju ke kamar Hana. Sesampainya di kamar, Hana segera mengambil ponsel miliknya unt
Hana membawa Lita ke klinik terdekat untuk diperiksa. Masih dengan ditemani pengacara dan juga polisi. Dan saat pemeriksaan Lita selesai, Hana pun pulang ke rumah.Asam lambung Lita naik karena dia terlalu stres dan juga makan tidak teratur. Dia membawa Lita pulang ke rumah agar bisa dipantau dengan baik. "Dia siapa, Nak?" tanya Ibu Muh saat mengantarkan Keenan pulang ke rumah Hana. "Dia karyawan Mas Adam, Bu. Ada hal yang ingin dia sampaikan ke Hana tapi kemarin dia sempat hilang. Baru tadi ketemu tapi malah dia sakit," jawab Hana. "Oh begitu. Semoga masalahmu cepat selesai, ya, Nak. Dan semoga Nak Adam cepat pulih juga seperti semula.""Aamiin. Terima kasih, ya, Bu, sudah mau Hana repotkan terus.""Gak apa-apa, Nak. Ibu malah senang jadi ada kegiatan ngurus Keenan. Badan Ibu rasanya sakit kalau gak dipakai ngapa-ngapain," sahut Ibu Muh. Walaupun menempuh jarak yang tidak dekat, Ibu Muh tidak pernah mengeluh. Dia dan Pak Muh sama-sama baiknya. Terkadang Ibu Muh diantar Pak Muh ke