Hana memandang punggung abahnya dari belakang. Ya, Beliau tidak tahu kalau datang karena posisi mereka berlawanan. Setelah beberapa detik, Hana mengucap salam. "Assalamualaikum ..." seru Hana dengan mengukir senyum di bibir. "Waalaikumsalam!" Abah Hasan menoleh dan melihat putri semata wayangnya berdiri tepat dibelakangnya. "Hana? Ini beneran kamu, Nduk?" tanya Beliau sambil menghentikan aktivitasnya. "Iya, Bah, ini Hana. Hana kangen, Bah," sahut Hana sambil menghampiri Abah Hasan dan mencium punggung tangan Beliau. "Ya Allah, Nduk ... Abah juga kangen. Bagaimana kabarmu? Sehat, kan? Kamu datang sama suamimu?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Abah Hasan. Hana menggeleng pelan. "Mas Adam lagi ada sibuk, Bah. Tapi Hana sudah izin kok mau ke sini. "Hem begitu, ya. Tapi kalian gak ada apa-apa, kan? Usaha suamimu juga lancar?" Pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh Hana. Jika boleh jujur, Hana sekarang sedang berada di posisi yang tidak mengenakkan. Adam yang tiba-tiba
Adam tak bisa berpikir jernih. Dia sangat mengkhawatirkan Hana. Ponsel Hana tak bisa dihubungi dan itu membuat dirinya tambah khawatir."Sudahlah, Mas. Mbak Hana itu sudah besar. Nanti dia juga pulang ke sini," celetuk Alya lagi ketika mereka tengah makan bersama. Adam tak sedikitpun menanggapi ucapan istri keduanya. Dia terus saja menyalahkan diri sendiri karena kecerobohannya semalam."Bi ... apa benar Bibi tadi tidak lihat Bu Hana?" tanya Adam pada asisten rumah tangga yang bernama Bi Imah."Tidak, Pak. Tadi, waktu Bibi tiba di rumah, Ibu sudah tidak ada. Bibi kira memang Ibu sedang keluar, Pak. Memangnya Ibu tidak pamit sama Bapak?" jawab Bi Imah yang saat itu tengah membersihkan meja makan bekas sarapan majikannya. "Tidak, Bi. Kira-kira kemana perginya Ibu, ya, Bi?" tanya Adam lagi. Terlihat kesedihan mendalam yang dirasakannya kini. Dan Bi Imah paham akan hal itu."Kasihan Pak Adam dan Bu Hana. Kenapa Pak Adam bisa menikahi perempuan itu, sih? Apa Pak Adam diguna-guna?" batin
"Apa Hana ada di rumah Abah? Kalau itu benar, berarti Hana sudah cerita ke Abah soal Alya. Aku harus apa?" gumam Adam yang tampak kebingungan. Adam sangat menghormati ayah mertuanya itu. Beliau begitu baik kepada dirinya. Dengan masa lalunya yang begitu buruk, Abah Hasan menerimanya dengan tangan terbuka. Bahkan, Abah Hasan tak segan-segan merangkul Adam ke arah yang lebih baik lagi. "Kenapa, Mas? Memangnya siapa yang telepon?" tanya Alya yang kebetulan mendengar Adam sedang bicara dengan seseorang di telepon. "Bukan urusanmu. Oh iya, hari ini aku tidak akan pulang. Nanti kamu di sini biar ditemani Bi Imah. Biar nanti aku bicara sama Bi Imah," ucap Adam. "Lho, memangnya Mas Adam mau kemana? Mas! Mas Adam!" Alya mengikuti Adam yang pergi ke dapur mencari Bi Imah. Langkah Alya sedikit terhambat karena perutnya yang besar. Saat Alya sampai di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur, langkah Alya terhenti karena mendengar percakapan antara Adam dan juga Bi Imah. Alya memutus
Selama bekerja, Adam tak bisa fokus karena terus memikirkan Hana dan segala kemungkinan yang akan dia hadapi jika dia ke rumah mertuanya. "Pak, Bapak salah tanda tangan," ucap salah satu karyawannya di bidang keuangan. Sebuah map yang berisi laporan keuangan disodorkan oleh karyawan itu. Adam memang punya beberapa karyawan karena dia tidak bisa menghandlenya sendiri. Punya banyak agen dan reseller membuatnya harus profesional dalam menjalankan bisnisnya. "Iya,kah? Oh iya. Maaf, saya tidak fokus," sahut Adam setelah melihat dokumen itu. Adam kemudian menandatangani kembali dokumen itu di tempat yang seharusnya. Setelah itu, Adam memutuskan untuk rehat sejenak dengan meminum segelas kopi. Dia menyandarkan kepalanya dengan mata tertutup. Akibat ulahnya sendiri, kini dia harus menanggung semua beban pikiran ini. Adam tak mau kehilangan Hana dan juga tidak mungkin membebaskan Alya karena dia sekarang juga menjadi tanggung jawabnya. "Ya Allah, aku harus apa?!" keluh Adam sambil mengu
"Sekarang maumu apa, Alya? Kenapa kamu sampai nekat pergi dari rumah? Jika kamu ada apa-apa di jalan bagaimana?" ucap Adam dengan nada kesal. "Aku mau ikut Mas Adam cari Mbak Hana. Jika aku ditinggal di rumah sama Bi Imah saja, aku mending pergi dari sini. Gak ada gunanya juga, kan? Toh aku ini cuma istri siri," sahut Alya dengan memalingkan muka. "Ya Allah, Al, kenapa kamu gak ngerti juga, sih? Aku harus jelaskan apa lagi sama kamu, Al? Tolonglah, Al, jangan seperti ini!" Kedua tangan Adam menangkup kedua tangannya di depan Alya. Bahkan, Adam tak segan-segan duduk bersimpuh di depan Alya. Alya tampak tak peduli dengan yang dilakukan Adam itu. Dia masih merasa hadirnya di rumah Adam tidaklah diharapkan. Dia hanya sebagai biang kerok masalah antara Adam dan juga Hana. "Jujur sama Alya. Mas Adam mau kemana?" ucap Alya masih dengan muka berpaling. "Allahu Akbar! Masih yang itu, Al? Oke, aku jujur. Sore ini, Mas mau nyusul Hana ke rumah orang tuanya. Puas, kan?" jawab Adam. Pada akhi
Saat melintas di daerah tempat tinggalnya dulu, tiba-tiba saja terlintas sebuah ide dari Alya untuk mengulur waktu. "Mas ..." panggil Alya dengan suara sedikit dibuat-buat. "Ada apa, Al? Adakah yang sakit? Perlu kita berhenti di klinik?" jawab Adam yang khawatir mendengar suara lemas Alya. Adam langsung menepikan mobilnya di tepi jalan dan menyentuh badan Alya. Alya menggeleng pelan. "Gak usah, Mas. Aku takut jika nantinya malah kamu sampai di rumah orang tua Mbak Hana jadi terlambat gara-gara aku. Aku hanya pusing sedikit kok, gak perlu khawatir," sahut Alya lirih. Sebuah akting yang bagus untuk seorang Alya. Dia sangat lihai dalam hal itu. Tentu saja tak sulit bagi Alya melakukan itu karena dia sudah sering melakukannya. "Gak bisa gitu dong, Al. Kita istirahat dulu saja kalau begitu. Aku takut kamu dan anak ini kenapa-napa." Adam terlihat sangat khawatir melihat tubuh Alya yang lemas. "Maaf, ya, Mas. Harusnya aku tadi mendengarkan kamu untuk tetap tinggal di rumah. Sekarang,
Ayah Tri memandang anaknya dengan tatapan tajam ketika dia berteriak pada Adam. Tak semestinya seorang istri bicara dengan nada tinggi pada suaminya. "Alya! Jaga ucapanmu! Adam ini suamimu, Alya!" bentak Ayah Tri dengan mata tak kalah melotot. Semenjak ditinggal ibunya pergi dengan laki-laki lain, Alya menjadi anak perempuan yang suka berontak dan melanggar aturan. Ayah Tri sudah menyerah menghadapi Alya seorang diri. Hingga masalah anak dengan Adam muncul. Ada secercah harapan ketika tahu karakter Adam. Beliau berharap Adam bisa mengubah sifat Alya. Tapi, semua itu ternyata tidak mudah karena Alya yang benar-benar keras kepala. "Mas Adam gak bisa meninggalkan aku di sini. Pokoknya aku mau ikut! Jika Mas Adam meninggalkan aku di sini, jangan harap kamu bisa bertemu anak ini seumur hidupmu!" ancam Alya sambil menghentakkan kaki dan masuk ke dalam kamarnya yang dulu. "Astaghfirullah al'adzim!" Kedua laki-laki itu serempak beristighfar melihat kelakuan Alya."Sudahlah, Dam. Biarkan
Alya tersenyum dan menyeringai ketika melihat ekspresi Hana yang terkejut. Jika dilihat dari ekspresinya, tentu saja Hana belum menceritakan pernikahan kedua Adam itu kepada abahnya. "Mas Adam?" lirih Hana. Matanya memandang bergantian antara Abah dan juga suaminya. "Han, bukankah itu suamimu? Lalu, siapa wanita hamil yang bersama dengan Adam itu?" tanya Abah Hasan ketika mereka belum mendekat. "Ehm, itu ... dia, itu, Bah, dia ..." Hana sama sekali tidak mampu mengatakannya. Sangat sulit bagi dirinya menjawab pertanyaan Abah Hasan."Nduk, kamu kenapa jadi gugup begitu? Siapa perempuan itu?" Lagi, Abah Hasan bertanya dengan suara pelan. "Assalamualaikum, Bah!" Tepat saat Hana hendak menjawab, Adam mengucap salam. Di belakangnya ada Alya yang selalu mengikuti Adam. "Waalaikumsalam. Nak Adam, mari silahkan masuk!" jawab Abah Hasan seperti biasanya. Ramah. Abah Hasan selalu ramah dengan siapapun termasuk dengan Adam. "I—yah, Bah," jawab Adam terbata. Jika bisa digambarkan, perasaan