“Lagi pula, kau pasti membenci hidupmu, kan? Aku tahu tak ada yang mau menjadi pelacur.” Brata meraih sebuah apel dan mengupas kulitnya. “Kau harus berpikir tentang masa depanmu. Bayangkan jika kau bisa memiliki sebuah keluarga yang sehat, suami yang tak memaksamu bekerja, dan juga anak-anak yang mungkin berjumlah lebih dari dua di sekelilingmu.”“Anak-anak?” Entah kenapa Nania merasa amat canggung. “Apa anda juga menginginkanku untuk jadi Ibu anak-anak anda?”Kali ini Brata yang terdiam. Entah kenapa dia sadar kalau hayalnya sudah berjalan terlalu jauh. Dia ternyata sudah membayangkan hari depannya dengan seorang wanita yang bahkan berbeda kasta darinya.“Lupakan, Nan. Yang lebih penting, aku harus terus memastikan kalau kau tetap dalam kondisi sehat. Seluruh lukamu harus sudah sembuh sebelum akhirnya kau bekerja untukku.”Kalau boleh jujur, Nania merasa lega sudah dipertemukan dengan Brata. Walau setiap kalimatnya angkuh, tapi Brata selalu punya gambaran akan k
“Jadi dia ada di sini?” Nyonya Martha menatap Budi yang hanya bisa diam dengan wajahnya yang kaku. Saat ini Nyonya Martha sudah tak lagi tergeletak di ranjang kamarnya dia sudah sangat cantik dan bibirnya bahkan terpoles warna merah yang segar. “Kupikir Brata sudah angkat tangan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita asing itu. Kupikir drama ini sudah sempurna, tapi ternyata aku salah.”Mata Nyonya Martha teralih pada Evani. Dia menggigit bibirnya dan terlihat sama kesalnya seperti si ibu mertua.“Evani sayang, tenanglah. Kau ketakutan soal apa, sih? Soal wanita yang Brata dekati? Bukankah sekarang kau sudah jadi istrinya?” Nyonya Martha tahu jika Evani takut akan pesaingnya. Dia juga lebih takut saat tahu wanita yang merebut Brata darinya tak lebih dari seorang wanita yang kelasnya jauh di bawahnya.“Bud!” Evani masih menggigiti jarinya karena resah. “Kenapa kau tidak pernah bisa menjaga Brata? Apa kamu tidak tahu mana yang baik dan buruk bagi Tuanmu?”Budi terdiam. Di saat sep
“Apa yang kau perbuat, Nan?” Nania sedang bicara dengan dirinya sendiri. Dia baru saja mencium seorang CEO perusahaan ternama tanpa ragu. “Pelacur. Kamu pelacur, Nan. Kamu menyerahkan segala yang ada pada dirimu untuk jadi objek pria setampan Pak Brata.”Nania mendesah dan terdiam memandang jendela kamar rumah sakitnya. Brata meninggalkannya untuk mengurus beberapa keperluan dan berjanji akan menemuinya kembali dengan cepat.Tapi apa gunanya? Nania sangat sadar bahwa pria bernama Brata itu membuatnya masuk ke sebuah masalah yang menurut batin Nania cukup salah.“Tidak. Hidupku tak mungkin akan berjalan dengan mudah dengan jadi istri seorang CEO. Jadi istri germo saja sudah susah, apa lagi jadi istri seorang petinggi perusahaan yang bertindak tak wajar atas hidupku.”Rasa kepak sayap kupu-kupu di perut Nania kini berubah jadi melilit yang pedih. Nania pikir, dia harus membuat keputusan lain sebelum akhirnya bertemu kembali dengan Brata.“Aku harus pergi. Aku harus meninggalkan pri
Beberapa jam sebelum Nania datang ke rumah barunya, Brata sedang melamun di sudut ruang yang ia klaim sebagai ruang kerja. Lamunannya tak lain merupakan kilasan memori dari apa yang terjadi d rumah sakit tempat Nania dirawat.Banyak kejadian aneh yang membuatnya pusing. Dimulai dari dua pernikahannya dalam satu waktu, kebohongan Ibunya, dan juga ciumannya dengan Nania kala itu.Seperti halnya Brata, dia yakin jika ciuman itu bukan ciuman pertama Nania.“Masalahnya, apakah Nania menganggap ciuman itu sebagai ciuman biasa selayaknya dia menciumi para pelanggannya?” Tanpa sadar Brata bergumam. Dia bahkan bangkit hanya untuk berjalan bolak-balik di ruangannya.Nania. Wanita itu sungguh berbeda. Brata mungkin mengira jika yang ia rasa hanyalah bentuk kepeduliannya pada Nania. Tapi tidak. Alasan itu memang adalah alasan pemicu, tapi jauh di dalam hati Brata, ada rasa cinta yang mau tak mau ia amini adanya.Brata yang sedang bingung mulai memeriksa ponselnya. Sudah berkali-kali dia menc
Nania berjingkat keluar dari kamarnya dengan langkah yang nyaris tanpa suara. Saat itu masih pukul tiga pagi, dan rumah yang Nania tempati masih sangat sepi seperti tak berpenghuni.Brata sendiri memutuskan untuk tidur terpisah karena merasa bahwa Nania belum sepenuhnya siap untuk seranjang dengannya.Nania tak tahu dari mana pikiran seperti itu datang, tapi Nania akan menghargainya sebagai sebuah pemikiran dari manusia secerdas Brata yang penuh dengan perhitungan.Kembali lagi ke Nania yang tengah menuju dapur. Ada beberapa dapur di rumah itu. Satu dapur yang digunakan para pembantu untuk meracik makanan mereka, satu lagi adalah dapur khusus para koki yang tak boleh digunakan tanpa persetujuan kepala pelayan, dan satu sisanya adalah dapur yang sangat bersih dengan satu kompor induksi dan juga gelas-gelas mahal yang digantung di atasnya. Dapur terakhir tak pernah digunakan, dan Brata berpesan agar Nania tak repot-repot memasak di sana.Sebagai seorang istri, Nania ingin kesan pertaman
Entah kenapa atmosfer rumah megah terasa berbeda. Nania tak bisa untuk tak berdebar ketika dia melangkah. Ditambah, sepatu yang ia pakai terasa terlalu nyaman dibandingkan sepatu hak tinggi yang harus berkali-kali dia sol ulang.“Yuk.” Brata tiba-tiba menarik Nania dan membuat wanita itu bergerak kikuk.“Tuan. Kita mau ke mana?”“Jangan panggil aku dengan sebutan Tuan.” Brata tampak dingin dan tak suka cara Nania memanggilnya.“Tapi, Tuan.”“Nan ....” Brata berbalik dan hampir membuat Nania menabraknya. “Aku suamimu. Aku berhak meminta apa yang setiap suami ingin agar istrinya lakukan.”“Tapi ... ““Tidak ada tapi.”Nania melirik dan merasa tenggorokannya kering seketika. “Haruskah kupanggil Tuan dengan sayang?”“Ha?”“Sayangku?”Entah kenapa wajah Brata terasa panas. Dia ingin tersenyum tapi dia tak ingin kehilangan wibawanya.“Atau mau kupanggil dengan sebutan lain?”“Tidak!” Entah kenapa Brata tak mau menyetujui hal itu. “Aku hanya kaget.” Dia masih tak berani menatap
Brata tersenyum. Nania ada di depannya tapi dia lebih suka dengan Nania yang terekam ponselnya.Nania tak cantik, tapi dia sangat manis dan senyum itu adalah senyum yang hampir Brata ragukan pernah ada pada Nania.“Pak?”“Sayangku lebih baik dari Pak.”“Ah, iya maaf.” Nania berbisik, “sayang.”Brata puas. Lama-lama dia terbiasa dengan panggilan itu dan tak mau Nania mengubah caranya dalam memanggil.“Kenapa?”Nania tersenyum sembari menyesap kopinya.“Aneh saja melihat Ba-Sayangku tersenyum seperti itu. Maksudku, anda sudah senyum berjam-jam sampai kopi anda dingin.”Brata terkikis. “Yah, aku baru melihat teman wanitaku yang sangat cantik.”Nania mengangguk. Dia berpikir jika Brata mungkin punya wanita lain dan hidupnya mungkin memang terbiasa ada di dekat wanita, tanpa tahu jika wanita yang Brata maksud adalah Nania sendiri.“Kamu tidak pesan makanan?” Brata bangkit dan mencari dompetnya. “Aku pesan makanan dulu, ya. Kamu tunggu saja di sini.”Nania melihat punggung bidan
“Binilu mana?” Seorang bersafari masuk ke dapur rumah Dono dan terlihat mencari makanan di dapur. “Eh, gua nanya. Dijawab, kek.”“Kamu nanyeak?”“Eh, dia ngelawak. Serius gua nanya.” Pria bersafari itu kini mengunyah selembar mendoan yang lekas habis dalam hitungan detik.“Lu gak usah nanyain Nania, lah. Males gua.”Sosok bersafari itu tertawa seakan Dono pelawak. “Dicerein, lu? Kenapa? Nania jadi simpenan pejabat, sekarang?”Mata Dono melirik tajam. Dia seperti tak suka dan hendak menelan temannya itu.“Kalo gua bilang gua males, artinya gua males. Bisa gak sih lu ....”“Gua ketemu Nania di mall.” Kali ini wajah teman Dono terlihat serius. “Gua dilabrak di sana. Wah. Kalo gua gak sempet kabur, udah abis kali gua.”Dono tampak tertarik. “Serius lu?”“Iya, gua tuh ....”“Don! Sini kamu!” Suara Ibu Dono terdengar. Dia mendekat dengan tak sabar saat tahu anaknya tak menggubrisnya. “Lihat dulu nih Hp. Istrimu jadi sorotan, nih.”Sebuah siaran terlihat. Dalam siaran itu, Nania m