"Mama bilang nggak ya nggak! Pembantu itu makanya di belakang bukan dengan majikan. Ngerti kamu, Ayu!" hardik Tante Ria. Aku mengangguk dan senyum kecut saat menatap Pak Adit yang juga tak percaya Mamanya akan seperti itu. Dari sorot matanya, Pak Adit ingin meminta maaf atas sikap Mamanya. Aku hanya diam tak tau harus buat apa. "Pak! Kalo gitu, Ayu ke atas dulu menyiapkan baju," ijinku lalu Pak Adit mengangguk. "Eh, saya kan udah bilang tadi jangan ke atas. Kamu ngeyel ya!" pekik Tante Ria melarang. "Ma, itu udah tugas Ayu tiap hari. Mama jangan larang Ayu!" balas Pak Adit membelaku. "Nanti dia mengambil barang kita diam-diam seperti pembantu yang dulu. Lagian kamu kan bisa mengambil baju sendiri seperti biasanya," kukuh Tante Ria tetap tak setuju. Pak Adit terlihat gusar, aku masih berdiri menunggu keputusan Pak Adit. Tanpa di duga, Pak Adit berdiri lalu mengajakku naik bersama. "Ayo, kita keatas!" "Adit, kamu kok ninggalin Mama makan sendiri. Jangan karena pembantu itu membu
Tiba di kantor, Pak Adit yang baru masuk disuguhi laporan dari sekretaris. Dewi memberikan beberapa map, kemudian keluar. Aku yang sedang mengganti baju kantor di ruangan pribadi Pak Adit pun keluar. "Ada pekerjaan apa hari ini, Pak?" tanyaku lalu duduk berhadapan. Pak Adit yang masih serius memeriksa dokumen, belum menjawab. Aku menunggu sambil menyiapkan buku dan pulpen untuk mencatat hal penting. Pak Adit terlihat mengerutkan keningnya. "Ada apa, Pak?" tanyaku heran. "Ada perusahaan asing yang ingin bekerjasama." "Wah, bagus itu Pak!" pekik ku senang. "Tapi, skalanya terlalu besar. Saya blom berani memutuskan," jawab Pak Adit. "Memangnya mengenai apa?" tanyaku ingin tau. "Perusahaan asing itu ingin kerjasama dengan kita membangun sebuah pusat perbelanjaan. Selain modal yang besar, kita juga membutuhkan ijin pemerintah setempat untuk meminta surat izin mendirikan bangunan," jelas Pak Adit. "Apa sulit untuk dapat surat IMB itu, Pak?" "Tentu saja banyak kendalanya, salah satu
Tiba-tiba ponsel ku bergetar, sebuah pesan masuk dari Pak Adit. [Gimana Ayu, udah dapat?] Aku pun menepuk jidat, hampir lupa kalo aku ditugaskan Pak Adit. Segera aku balas pesan Pak Adit. [Blom, Pak! Ini lagi istirahat sebentar] [Kalo nggak dapat, balik aja. Besok bisa cari lagi] Tanpa membalas lagi, aku kembali mencari lahan. Setelah memutar dua kali mataku melihat ada sebuah lahan kosong cukup lebar. Letaknya juga cukup strategis, dipinggiran kota yang masih ramai. Akhirnya ketemu juga, gumam ku senang. Setiba disana, ternyata ada sebuah mobil terparkir. Seorang pria berjas sedang mengamati sekitarnya. Sepertinya juga mencari lahan yang sama denganku. Turun dari motor, aku berjalan mengamati lahan itu. Tanpa diketahui pria berjas itu, aku membelakanginya hingga saat kami saling pandang sama-sama terkejut. "Loh, Ayu?" "Om Seno?" "Kamu ngapain disini? Sama siapa?" tanya Om Seno mendekati dan celingukan. "Ayu sendiri, Om! Ayu dapat tugas dari Pak Adit," jawabku masih tak men
"Lihat dulu Om, sebentar lagi Om akan terkejut!" Benar saja saat rekaman itu menampakkan lelaki preman itu, Om Seno nyaris shock apalagi saat Tante Fitri memberikan amplop pada lelaki itu. "Kurang ajar kamu Fitri, jadi ini kelakuanmu. Lihat aja apa yang akan aku perbuat padamu!" gumam Om Seno marah sampai menggeletukkan giginya. Terlihat amarah di wajah Om Seno, hingga keluar segala makian dari mulutnya. Baru sekali ini aku melihat Om Seno begitu murka yang biasanya bersikap lembut. Ini sama aja dengan membangunkan singa yang tertidur. "Ayu, bisa kirimkan video ini ke ponsel Om?" "Bisa, Om bentar! Sekalian sama foto rumah lelaki itu," jawabku membuka aplikasi hijau. "Kamu tau rumahnya?" tanya Om tak percaya. "Ya, tadi setelah merekam Ayu membuntuti lelaki itu hingga ke rumahnya. Dan ini alamatnya," kataku menyerahkan secarik kertas yang ku tulis tadi. Om Seno mengangguk, aku tidak tau apa yang akan dilakukannya. Aku tidak bisa membantu banyak, mungkin ini sedikit bisa memecahk
Baru saja siap makan, tiba-tiba pintu kantor terbuka. Masuk Tante Ria dengan wajah sangar, di belakangnya berdiri Marissa. Aku dan Pak Adit terkejut. "Mama ngapain datang lagi, bukankah tadi sudah pulang?" tanya Pak Adit heran. "Oh, jadi gini kerja pembantu kamu itu! Nggak di rumah sama di kantor sama aja, cuma mengurusi kamu makan aja," ucap Tante Ria keras sambil menatapku dan meja yang masih berserak kotak nasi dan plastik. "Eh, kamu pembantu nggak tau malu! Berkaca dong, ini kantor jangan ganggu Adit kerja dengan godaan murahan kamu itu," ejek Tante Ria menunjuk-nunjuk. "Mama apa-apaan, sih? Ayu juga kerja di sini, bukan hanya mengurusi makan Adit. Dia juga baru pulang dari mengurus hal luar perusahaan," jawab Pak Adit berang. Aku hanya diam tanpa berkomentar, apalagi kulihat Marissa menatap sinis dan mencibir. Aku heran kenapa dia bisa datang dengan Tante Ria? Pasti dia ingin mengadu domba aku dengan Pak Adit. "Halah, kamu aja yang tertipu, Dit! Ayu keluar itu cuma main-mai
Proyek kerjasama dengan perusahaan asing menggantung. Baik Pak Adit maupun Om Seno belum ada yang mengambil keputusan. Aku juga tak ingin ikut campur masalah proyek karena bukan ranah untuk ku sentuh. Sudah beberapa hari belum mendengar kabar dari Om Seno. Apakah terjadi sesuatu? Ingin datang menjenguknya tapi Om Seno melarang katanya nanti dijemput kalo mau datang. Aku juga cerita pada Ibu masalah Om Seno, Ibu tidak berhenti istighfar. Sepertinya beliau sangat mengkhawatirkan kehidupan adik kandungnya itu. Bagaimanapun sesama saudara pasti ikut merasa prihatin. Kebetulan hari ini libur kerja, bertepatan hari Minggu. Aku luangkan waktu belanja ke pasar. Awalnya Ibu yang ingin belanja tapi aku cegah, biar Ibu di rumah saja memasak. Pulang dari pasar, setiba didepan rumah sudah terparkir sebuah mobil mewah. Aku mengerutkan dahi, siapa yang datang. Gegas aku masuk kedalam rumah. "Assalamualaikum!" salamku. "Wa'alaikumussalam, nah itu dia Ayu sudah pulang," ucap Ibu sambil menyambut
"Halo, Ayu kalian dimana sekarang? Om cari ke rumah kata tetangga sudah pindah?" tanya Om Seno via telepon. Kami memang sudah pindah sejak kedatangan orang tua Adit. Bahkan nomer HP Pak Adit juga sudah diblokir agar dia tidak mencari. Aku tidak ingin lagi berhubungan dengannya atau keluarganya. "Om, Ayu dan Ibu udah pindah. Ntar Ayu share lokasinya ya!" jawabku. "Oke, Om perlu bertemu! Ada yang ingin Om bicarakan pada kalian, oke kalo gitu Om tutup dulu ya!" Tut! Telepon terputus. *** POV author Sementara itu, keadaan Adit begitu bingung. Dia sangat kehilangan Ayu dan sudah berusaha menelpon tapi tidak diangkat tepatnya sudah diblokir. Adit bahkan mendatangi rumah Ayu, tapi kosong. Ayu dan Ibunya sudah pindah. "Ayu, kemana kamu pergi? Kenapa kamu nggak bilang apa-apa padaku, apa yang terjadi?" gumam Adit frustasi. Hingga dua hari Adit tidak semangat, bahkan untuk makan juga malas. Ria sebagai Mama pun merasakan kesedihan Adit. Tapi, hatinya sudah terlanjur membenci Ayu. "Wan
Beberapa hari setelah aku share lokasi rumah pada Om Seno, dia menepati janji datang. Seperti dulu Om Seno tetap datang sendiri, karena kami sudah paham watak anak istrinya. "Assalamualaikum!" ucapan salam di luar. "Wa'alaikumussalam, masuk Seno!" jawab Ibu menyambut. Ibu mengajak adik kandungnya ke dalam, Om Seno masuk dengan menjinjing barang lalu duduk di kursi. Kali ini rumah yang kami sewakan ada perabot juga, lengkap dengan kursi di ruang tamu. Om Seno memperhatikan keadaan rumah dengan menatap kesana kemari. "Mbak, kenapa kalian pindah kesini? Apa nggak nyaman rumah yang kemarin?" tanyanya setelah puas memandangi. Aku keluar membawa nampan berisi minum dan cemilan. "Minum Om!" tawarku meletakkan suguhan di meja. Om Seno mengangguk dan minum. "Bukan nggak nyaman tapi Ayu yang minta pindah!" jawab Ibu. Om Seno beralih padaku seraya menyipitkan matanya. "Memang kenapa, Yu?" Aku menghela napas, kemudian perlahan menceritakan hal tentang kedatangan orang tua Pak Adit yang me