Bab 2 : Menyimpan bukti rekaman
"Apa kamu bilang, Yu? Seenaknya aja kamu main lapor," sergah mertua tidak terima."Ya, seharusnya Maya dan Mama ditangkap. Maya yang sudah memfitnah dan sebagai pelaku pencurian serta Mama yang sudah menyeret serta menendang ibuku sampai luka. Rekaman itu cukup untuk memasukkan kalian ke penjara," jeritku menantang mereka.
Maya dan mertua serta Mas Lucky menciut nyalinya. Mereka yang awalnya angkuh dan zolim terlihat lemas dan tak berdaya. Mereka semua terdiam cukup lama seraya saling memandang satu sama lain tanpa bicara.
"Ayu, begini aja! Kita lupakan aja masalah ini. Mama akan maafkan ibumu dan nggak mengusirnya tapi terserah ibumu masih mau tinggal di sini atau nggak!" ucap mertua akhirnya angkat bicara dan melunak.
"Iya, Yu! Jangan laporkan Mama ya sayang. Mama sudah tua apa kamu nggak kasihan padanya," rayu Mas Lucky memegang tanganku.
Aku menatap aneh pada Mas Lucky, selama ini tidak pernah memanggilku sayang. Akan tetapi, demi merayu agar Mama tak dipenjara kata manis itu baru keluar dari mulutnya.
Aku masih diam saja melihat rayuan mereka padaku. Tiba-tiba, ibu mendekat dan menepuk bahuku. Aku menoleh ke arah ibu dan melihat wajahnya yang tersenyum lembut.
"Yu, maafkanlah mereka, Nak! Semua ini salah paham, yang penting mereka sudah mengaku. Jangan marah lagi, lapangkan hatimu insya Allah semua jadi berkah," tutur ibu menasehati.
Air mataku luruh, perasaan bercampur aduk antara marah, benci, kesal juga terharu atas kebaikan ibu. Sudah disiksa ibu masih saja mau memaafkan.
"Baiklah, kalo ibu ikhlas! Ayu akan maafkan mereka. Dan Ayu minta ibu terus di sini menemani Ayu, boleh kan Mama?" tanyaku pada mertua.
"Boleh, Yu! Mama nggak melarang, oke sekarang Mama mau ke kamar dulu. Capek!" jawabnya beranjak bangun lalu berjalan naik ke atas.
Mas Lucky juga pergi ke kamar setelah melirik Maya. Sedangkan Maya menghentakkan kakinya dengan kesal dan pergi dari rumah.
Jangan coba bermain-main denganku, pelakor! gumamku kesal menatap kepergian Maya.
Setelah semua orang bubar dan pergi, aku mengambil tas ibu lalu memasukkan baju yang sudah diacak-acak mertua tadi ke dalam tas. Kemudian menuntun ibu ke kamar belakang, mengambil obat lalu mengoleskan luka di siku dan tangannya.
Terlihat ibu menahan perih akibat obat yang dioleskan. Hatiku begitu terenyuh tak terasa air mata menetes dan bobol menahannya. Aku sudah bersalah pada ibu hingga dia harus tersiksa begini karena aku. "Yu, kenapa kamu menangis?" tanya ibu sambil memegang pipiku. "Maafkan Ayu, Bu! Selama ini Ayu nggak pernah menjenguk dan ibu juga harus menerima siksaan di sini demi Ayu," ucapku menatap ibu sedih. Ibu mengelap air mataku dan tersenyum. "Sudahlah, Yu! Ibu nggak apa-apa, Ibu lebih senang dengan begini bisa lebih dekat kamu." Kembali terisak dan memeluk ibu. Beliau mengelus lembut punggungku. Tubuh kurus ibu begitu terasa saat dipeluk, sudah setahun juga aku tidak pernah bersua dengan ibu, itu karena mertua yang melarang pulang atau aku menerima konsekuensinya. Selesai mengolesi obat, aku meletakkan baju ibu di lemari dan menyimpan tasnya. Di kamar ini Ibu tidur sendiri karena di sebelahnya adalah kamar Bi Inem. Ibu tidak masalah di tempatkan di kamar pembantu, lebih nyaman katanya. Keluar dari kamar ibu, aku bergegas menuju ruang kerja. Terlebih dahulu melihat ke lantai atas, kedua pintu dalam keadaan tertutup pasti mertua dan Mas Lucky masih di dalam. Aman, aku masuk ke ruangan yang mirip kantor. Begitu tiba di meja, aku membuka laptop dan menghubungkan ke cctv. Untung saja rekaman itu belum diambil Mas Lucky. Dengan kemampuan yang tersembunyi, mengotak-atik untuk mengambil data dari laptop lalu kupindahkan ke ponselku. File berpindah cepat dan selesai, aku langsung menghapusnya dari laptop. Bukti rekaman bisa dipakai sewaktu-waktu nanti. Aku tersenyum puas dan saat mataku tertuju pada layar, terlihat Mas Lucky keluar dari kamar mertua dan berjalan turun. Aku harus cepat-cepat keluar dari sini sebelum Mas Lucky curiga. Masih ada jarak sebelum suamiku sampai jadi aku keluar dan menyelinap ke dapur. Pura-pura mengambil minum untuk ibu. Saat berpapasan dengan Mas Lucky, dia menatap tajam lalu pandangannya tertuju ke tanganku yang memegang gelas. "Untuk ibu!" kataku ketus sambil melengos pergi. Syukurlah, Mas Lucky tidak curiga. Aku membawa gelas air ke kamar ibu dan melihatnya sudah tertidur. Ibu pasti lelah karena tubuhnya sakit akibat ditendang mertua. Aku menghampiri Bi Inem di kamarnya. "Bi Inem, boleh Ayu masuk?" kataku seraya mengetuk pintu. "Masuk aja, Non!" jawab Bi Inem dari dalam. Bi Inem sedang melipat pakaian. Melihatku masuk, Bi Inem berlutut. "Apa yang Bibi lakukan?" kataku kaget lalu menyuruhnya bangun. "Maafkan Bibi, Non! Bibi nggak bisa bantu saat ibu Non Ayu tadi disakiti Nyonya. Bibi takut dipecat, Non!" sesalnya memohon. "Sudahlah, Bi! Ayu nggak menyalahkan, sebaliknya Ayu ingin minta tolong Bi Inem. Mau 'kan?" "Apa itu, Non? Asal nggak buat Nyonya marah," cetusnya berharap. "Bi Inem bisa buatkan ibu minuman jamu? Kasihan ibu pasti tubuhnya luka di dalam," kataku sedih. "Oh, itu gampang! Bibi akan buat, tapi apa nggak sebaiknya dibawa ke dokter aja, Non?" tanya Bi Inem heran. "Ibu nggak mau, Bi! Lagian, Ayu nggak ada uang. Bibi taulah selama Ayu tinggal di sini, Ayu nggak pernah pegang uang." "Pake uang Bibi aja, mau?" tawarnya. "Nggak usah, Bi! Terima kasih, oh ya udah Ayu mau ke kamar dulu. Jangan lupa jamu ibu," pintaku. Bi Inem mengangguk dan mengantar keluar kamar. Bi Inem menuju dapur, sedangkan aku naik ke lantai atas untuk mandi. Selesai mandi, aku duduk menyisir dan memakai bedak. Mas Lucky masuk dengan wajah masam. Aku tak pedulikan dan terus bercermin. Mas Lucky terus menatapku seperti ingin bicara tapi ragu. Membalikkan badan lalu memandangnya tak berkedip. "Ada apa? Kenapa menatapku terus?" tanyaku menaikkan alis. "Mas tadi dari ruang kerja memeriksa cctv, kok nggak ada ya!" jawabnya gugup dan salah tingkah. Aku mendengkus dalam hati, pasti kamu mau menghapus rekaman itukan, Mas. Untung saja tadi aku cepat memeriksa dan memindahkannya. Dengan pura-pura bodoh, aku pun bertanya, "Apanya yang nggak ada? Apa Mas mau melihat siapa yang jadi maling sebenarnya?"Aku tersenyum mencoba bersikap ramah. "Tante Fitri, ada apa pagi-pagi kesini?" tanyaku. "Halah, nggak usah pura-pura kamu Ayu! Kamu pasti sudah merayu suamiku agar memberikan perusahaan ini padamu kan!" kata Tante Fitri dengan keras. Tanpa tendealing, Tante Fitri langsung mengamuk. Aku yang merasa malu dilihat banyak orang pun mengajak Tante masuk ke kantor untuk berbicara baik-baik. "Tante, bisa kita bicara di kantor? Agar nggak mengganggu yang lain bekerja," ajak ku sambil melangkah. Akan tetapi, langkahku di cekal. "Kenapa? Kamu malu kalo yang lain tau bahwa sebenarnya kamu orang miskin yang sudah merayu suami orang, hah!" hardiknya. Mendengar suara Tante Fitri mulai banyak pasang mata yang melihatnya. Aku bukannya malu terhadap diriku tapi malu dengan kelakuan Tante Fitri. Bisa saja aku memanggil satpam untuk menyeretnya keluar tapi selama masih berhubungan dengan Om Seno, aku pun harus sabar. Setidaknya menjaga image baik Om Seno didepan orang. "Terserah Tante mau bilang ap
"Diam kamu! Marissa bukan anakku, apa kamu pikir aku akan menyerahkan perusahaan pada kalian yang hanya gila harta dan suka menghamburkan uang. Dan kamu Fitri, sebenarnya apa yang kamu lakukan selama ini di perusahaan?" selidik Om Seno marah. "Apa maksud Papa?" tanya Tante Fitri heran sekaligus terkejut. Wajahnya seperti ketakutan. Kami semua memandang pertengkaran Om Seno dan istrinya. Karena malu jadi tontonan, akhirnya Om Seno pamit pada kami. "Maaf semuanya, saya pulang duluan ya!" Dengan gusar Om Seno melangkah pergi sambil mendorong paksa Marissa dan Tante Fitri naik mobil. Ibu cuma menggeleng kasihan melihatnya. Sedangkan orang tua Mas Adit ikut heran, aku menowel tangan Mas Adit agar membawa orang tuanya pulang. Mas Adit mengerti lalu mengajak Om dan Tante pergi. Kami berjalan bersama menuju parkir, setelah para tetua masuk mobil tinggal aku dan Mas Adit di luar. Kekasih hatiku itu menggenggam erat tanganku. "Ayu, nanti sampai rumah telepon Mas ya, Yang! Kamu masih ingatk
"Ayu, walaupun begitu kami nggak akan melarang karena demi kebahagiaan Adit kami hanya bisa mendukung dan mendoakannya. Kami nggak akan mengganggu hubungan kalian lagi dan merestuinya. Bukankah begitu, Pa?" tanya Tante Ria pada suaminya. "Benar, apa yang diucapkan istri saya. Sebenarnya kami ingin menguji sampai mana kesetiaan kalian dalam hubungan ini. Kami juga ingin mencari menantu yang mencintai Adit tulus tanpa status dan embel kekayaan. Sekarang kami bisa melihat bahwa kamulah calon menantu yang tepat untuk Adit." Om Ridho akhirnya buka suara. Aku berjalan mendekati keduanya dan membantu agar mereka bangun. "Om dan Tante, Ayu sudah maafkan kalian! Ayu juga minta maaf kalo masih ada kekurangan!" "Nggak Ayu, kamu sudah sempurna! Adit sudah menjelaskan pada kami bahwa kamu sosok istri yang diinginkannya. Tante mohon beri Adit kesempatan ya! Besok, kami akan balik keluar negeri. Tolong jaga Adit untuk kami," pinta Tante Ria memohon. Karena terharu aku refleks memeluk Tante Ria.
"Ayu! Tunggu!" panggil Pak Adit. Kami bertiga berhenti melangkah dan menoleh kebelakang. Terlihat Pak Adit mengejar sampai tersengal-sengal. Begitu sudah mendekat beliau berhenti, aku menunggu apa yang akan dikatakannya. "Ayu, maafkanlah orang tua saya atas perbuatannya. Sungguh saya nggak mengira mereka akan melakukan hal memalukan itu," ucap Pak Adit sedih. Aku masih diam, memberi kesempatan Pak Adit untuk mendengar penjelasannya. Sengaja ingin berlama-lama menatap wajahnya. Bagaimanapun aku juga merindukannya. Tiba-tiba tanpa aku duga, Pak Adit berlutut. Matanya berembun menatap dalam padaku. Aku dan Ibu juga mister Nicholas menjadi terkejut, tak menyangka Bos besar seperti Pak Adit mau berlutut di depanku hanya ingin permintaan maaf dariku. "Pak Adit bangun! Jangan begini, nggak enak dilihat orang," kataku akan berniat membuatnya bangun tapi Pak Adit tak bergeming. "Nggak, Ayu! Sebelum kamu memaafkan orang tua saya, maka saya akan terus berlutut," kata Pak Adit menyedihkan.
Mencari keberadaan Om Seno dan keluarganya. Saat ada yang mengangkat tangan, aku segera menoleh. "Sini, Ayu!" panggil Om Seno. Semua mata memandang ke arahku saat mendengar Om Seno memanggil. Marissa dan Tante Fitri cemberut tak senang. Sedangkan Pak Adit sampai tak berkedip, Tante Ria dan suaminya melongo. Aku dan Ibu berjalan dengan anggun menuju meja dimana dua keluarga saling bertemu itu. Hingga tiba, Om Seno bangun lalu memperkenalkan diriku pada calon besan. "Pak Ridho dan Bu Ria, kenalkan ini keponakan saya dan Ibunya," ucap Om Seno menunjuk. Kulihat Tante Ria dan suaminya menganga tak percaya. Aku tersenyum mengangguk dan membatin, ini belum seberapa Tante Ria. Nanti kalian akan lebih terkejut lagi. "Jadi, Ayu keponakan anda ternyata Pak Broto?" tanya Tante Ria masih tak percaya. "Benar, saya dan Ibunya sudah lama berpisah jadi baru ini bertemu. Bagaimana, cantik kan keponakan saya!" puji Om Seno sengaja membuat Marissa cemburu. "Papa apa-apaan sih! Sudah tentu cantik a
Sudah beberapa hari sejak diriku menggantikan posisi Om Seno, sejak itu pula kesibukanku menjadi direksi. Aku mencoba untuk berbaur dan mengenal semua staf dan karyawan. Sejauh ini mereka menghormati diriku selaku Bos grup Atmajaya. Om Seno masih malang melintang di perusahaan untuk membantuku sampai aku bisa mandiri. Bahkan aku masih mempersilahkan Om Seno duduk di kursi kebesarannya dan aku duduk di hadapannya. Awalnya Om Seno menolak tapi aku minta hanya sampai aku bisa berdikari. Seperti hari ini, aku dan Om Seno asyik mempelajari tentang kerjasama dengan perusahaan lain. Tiba-tiba aku teringat proyek dengan perusahaan asing itu. "Om, gimana proyek dengan perusahaan asing itu? Apa mau kita saja yang mengerjakan?" tanyaku. "Kemarin Pak Adit nggak jadi ambil kah?" Aku menggeleng tak tau. "Kemarin Pak Adit bilang proyek itu diserahkan pada Om aja. Tapi entah sekarang gimana, Ayu kurang tau." "Kalo gitu, Om telepon dulu!" ucap Om Seno lalu mengambil ponsel dan menelepon. Aku me