"Dasar pencuri! Sana pergi, bawa ibumu yang miskin itu keluar dari rumah ini!" hardik Ratna, mertuaku yang sombong.
"Besan, sungguh saya nggak mencuri kalung. Dari tadi saya ada di belakang bersama Inem," ungkap ibu cemas.
"Nggak usah bohong kamu, dari awal saya nggak suka dan nggak percaya kamu masuk ke rumah ini. Ayo, ambil dan buka tas kamu!" hardik mertua.
Aku yang melihat ibu diseret mertua segera mencegah dan melerai mereka. "Ma, apa yang Mama lakukan pada ibuku?"
"Tanya aja sama ibu kamu!"
"Yu, Ibu nggak tau! Ibu nggak ada mencuri kalung besan, sungguh nggak melakukannya," isak ibu menangis.
Aku memeluk Ibu, kasihan. Kenapa mertuaku semakin beringas, tanpa rasa belas kasihan sama sekali.
"Sudah, Tante! Kita periksa aja tasnya biar lihat langsung," hasut Maya mengompori mertua.
Aku menatap tajam Maya, dia orang luar tapi seenaknya saja ikut campur. Mertua lalu merampas tas dan membuka isinya dengan kasar. Lalu saat mengeluarkan tangannya bersamaan dengan kalung yang dicarinya.
Aku begitu shock, begitu juga ibuku. Beliau menggeleng tidak mengerti, tidak mungkin. Bagaimana bisa kalung itu ada dalam tas ibu.
"Ini apa, hah? Masih juga nggak mengaku!" bentak mertua.
"Ma, demi Allah! Ibuku nggak ada mencuri kalung Mama," kataku memohon.
Namun, rengekan demi rengekan ibuku tidak digubris mertua. Malah dia tega menendang ibu hingga jatuh tersungkur. Aku memeluk ibu yang meringis kesakitan. Belum puas, mertua juga melempar tas pakaian ibu keluar rumah.
"Cukup, Ma! Jangan sakiti ibuku lagi. Bagaimana mungkin Mama lebih percaya wanita itu daripada menantu Mama sendiri," teriakku emosi sambil menunjuk wanita yang sedari tadi berdiri di sebelah mertua.
"Halah, nggak usah mengelak kamu! Bukankah udah terbukti kalung Tante ada di tas ibu kamu," cetus Maya mencibir, pelakor sekaligus dalang di balik keributan ini.
Dengan amarah meluap, aku berjalan ke arah Maya lalu menampar pipinya.
Plak!!
"Kamu yang sudah memfitnah ibuku, apa kamu pikir aku nggak lihat kalo kamu yang sdah masuk ke kamar Mama, hah!" teriakku lantang.
"Ayu, apa-apaan kamu?" pekik mertua kaget.
Semua orang di ruangan itu kaget melihatku menampar Maya. Mertua menghampiri Maya yang berakting dengan menangis memegang pipinya.
"Sakit, Maya?" tanya mertua sambil mengelus pipinya.
Maya mengangguk dan ekspresi wajahnya dibuat sesedih mungkin. Huh, dasar pelakor masih saja bisa bersandiwara. Sepertinya tamparan dariku belum cukup untuk membuatnya jera.
"Ada apa ini?" tanya Mas Lucky--suamiku, tiba-tiba sudah berdiri bergabung.
"Ini, istrimu menampar Maya yang nggak tau apa-apa. Padahal ibunya sendiri yang mencuri kalung Mama dan itu sudah terbukti kalung Mama ada di tas ibunya Ayu," jelas mertua sambil marah."Benar itu?" tanya Mas Lucky ketus.
"Mas, itu nggak benar. Ibu nggak mencuri tepatnya nggak mungkin mencuri," jawabku sambil memeluk ibu.
"Itu benar, Mas! Buktinya aku dan Tante melihat sendiri kalung itu ada di tas ibunya Ayu," timpal Maya nyengir, mertua juga ikut mengangguk membenarkan.
Mas Lucky menatapku dan ibu dengan tajam. Aku tak mungkin mendapat pembelaan darinya. Mas Lucky selalu percaya pada mamanya, selain itu juga tidak menyukai ibuku.
"Jadi ini kelakuan ibumu, Yu! Kemarin kamu masih marah kalo Mas nggak mengajak ibu ngobrol tapi kenyataannya malah mencuri. Buat malu aja kamu!" hardik Mas Lucky.
"Mas, udah aku katakan ibu nggak mencuri karena saat itu ibu lagi di belakang rumah dengan Bi Inem. Malah aku lihat Maya lah yang masuk ke kamar Mama. Maya ..." Aku berteriak keras karena sangat marah.
Mama melotot demi mendengar suaraku yang keras. Masa' bodoh dengan mereka, hatiku sudah sangat kesal. Tidak ada satupun dari mereka yang membela apalagi percaya padaku dan ibu.
"Ayu! Nggak usah kamu teriak-teriak di rumah ini, mana buktinya kalo Maya yang mengambil kalung Mama?" protes mertua sambil berkacak pinggang.
"Oh, ternyata kalian semua bodoh! Walaupun kalian nggak percaya apa yang aku tuduh, lihat di sana ada cctv. Kalian bisa memeriksa sendiri."
Aku menunjuk ke arah cctv dan mereka semua mengikuti tanganku. Mertua dan Mas Lucky terlihat seperti orang yang minim ilmu. Ya di rumah yang besar ini mertuaa memang menyuruh orang memasang kamera pengawas itu.
Dulu saat aku baru menikah, melihatku yang miskin mertua tidak percaya. Selalu memantau gerak gerik diriku, sampai memasang cctv. Namun, aku selalu berbuat yang wajar karena aku tahu bagaimana bersikap di rumah besar ini.
Bila ada yang bertanya kenapa mertua tidak menyukai ibuku. Karena saat menikah dulu dia tidak hadir. Pernikahan kami sendiri diadakan secara sederhana di rumahku jadi mertua malu untuk datang.
Mas Lucky sendiri yang merayu mamanya agar mengizinkan aku tinggal di rumah. Sengaja Mas Lucky tidak membeli rumah karena tidak mengizinkan suamiku jauh darinya. Mertua kesepian tinggal sendiri sebab Papa mertua sudah berpulang ke Rahmatullah.
Hari demi hari saat melewati hidup bersama mertua, awal yang penuh kesukaran hingga jalan dua tahun sedikit demi sedikit mulai menerima kehadiranku. Tapi, bukan berarti mertuamemberi kebebasan, bila aku dan Mas Lucky ada masalah beliau pasti ikut campur hingga kami jadi bertengkar.
Seketika aku sadar dari lamunan, melihat wajah Maya yang berubah pucat. Ya aku tau rekaman itu pasti bisa membuktikan siapa pelaku sebenarnya. Aku menyungging senyum kemenangan saat Maya melirikku.
Kamu tidak bisa lari, Maya. Sebentar lagi, kamu pasti akan malu akibat perbuatan tanganmu sendiri, batinku menyeringai.
Mas Lucky lalu berjalan ke ruang kerja tempat memeriksa rekaman cctv itu. Sebelum melangkah jauh, Maya berlari ke arah Mas Lucky dan mencekal tangannya. Mereka terlihat berbicara pelan sambil melirikku.
Entah apa yang mereka bicarakan hingga Mas Lucky berbalik dan kembali ke tempat semula. Mertua masih tetap tak bergerak dan terus memperhatikan kami. Saat Maya mengejar Mas Lucky pun dia diam saja membiarkan.
"Ayu, cctv itu nggak hidup karena Mama bilang sudah rusak. Iya nggak, Ma?" tanya Mas Lucky menodong mertua.
"Eh, iya, iya! Cctv itu sebenarnya sudah nggak berfungsi seminggu ini," jawab Mertua gelagapan.
Aku mengerinyitkan dahi heran. Melihat sikap mertua yang gugup aku tau pasti berbohong. Tatapanku beralih pada Mas Lucky yang terlihat santai dan Maya yang menyunggingkan senyum.
Sebenarnya apa yang terjadi? Mereka masih berpura-pura terus, aku tidak bisa tinggal diam. Aku yang akan memeriksa sendiri rekaman itu.
"Kalian bohong, kan? Cctv itu nggak mungkin mati, lihat lampu kecil di bawahnya itu pertanda kamera aktif. Apa kalian masih mau bersandiwara, baiklah aku sendiri yang akan memeriksanya," kataku sambil berjalan menuju ruang kerja.
Langkahku berhenti kala dicegat Mas Lucky. Aku tetap menerobos tapi Mas Lucky menangkap tanganku dan memegangnya kuat. Terpaksa aku tidak bisa melanjutkan berjalan.
"Lepas, Mas! Aku akan buktikan sendiri dan melapor ke polisi agar Maya dan Mama kamu ditangkap," kataku keras.
Bab 2 : Menyimpan bukti rekaman "Apa kamu bilang, Yu? Seenaknya aja kamu main lapor," sergah mertua tidak terima. "Ya, seharusnya Maya dan Mama ditangkap. Maya yang sudah memfitnah dan sebagai pelaku pencurian serta Mama yang sudah menyeret serta menendang ibuku sampai luka. Rekaman itu cukup untuk memasukkan kalian ke penjara," jeritku menantang mereka. Maya dan mertua serta Mas Lucky menciut nyalinya. Mereka yang awalnya angkuh dan zolim terlihat lemas dan tak berdaya. Mereka semua terdiam cukup lama seraya saling memandang satu sama lain tanpa bicara. "Ayu, begini aja! Kita lupakan aja masalah ini. Mama akan maafkan ibumu dan nggak mengusirnya tapi terserah ibumu masih mau tinggal di sini atau nggak!" ucap mertua akhirnya angkat bicara dan melunak. "Iya, Yu! Jangan laporkan Mama ya sayang. Mama sudah tua apa kamu nggak kasihan padanya," rayu Mas Lucky memegang tanganku. Aku menatap aneh pada Mas Lucky, selama ini tidak pernah memanggilku sayang. Akan tetapi, demi merayu agar
Bab 3 : Tamu spesial"Apanya yang nggak ada? Apa Mas mau melihat siapa yang jadi maling sebenarnya? Yakin Mas nggak terkejut nanti atau Mas udah tau?" tanyaku menjebaknya. "Eh, eng-nggak kok! Mungkin memang benar rusak. Ya udah, nggak usah dibahas lagi. Mas mau mandi dulu," katanya sambil masuk ke kamar mandi. Aku tertawa dalam hati, terus sajalah kamu membohongiku Mas. Satu bukti sudah ada di tanganku, tinggal mencari bukti perselingkuhan kalian. Sengaja aku masih menyuruh ibu tinggal di sini untuk memuluskan rencanaku. Ya, aku punya rencana untuk menghancurkan mereka. Jangan mereka pikir selama ini aku diam mengalah itu karena takut. Aku hanya mencari waktu yang tepat dan ibulah yang membuat rencanaku berjalan. Mas Lucky tidak pernah tau siapa aku sebenarnya. Karena sebelum menikah aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan. Namun, baru beberapa bulan bekerja karena fitnah seseorang membuatku dipecat. Setelah dipecat, aku membantu ibu berjualan
Bab 4 : Kehilangan barang "Mas nggak menonton TV?" tanyaku. Mas Lucky yang baru saja masuk kaget melihatku. Lalu dengan pura-pura menguap melanjutkan langkahnya menuju kamar. "Nggak, Mas mau tidur udah ngantuk! Kamu nggak tidur?" tanyanya balik. "Ayu blom ngantuk, ya udah Mas dulu tidur sana!" ucapku bohong lalu menoleh kembali ke TV. Padahal aku penasaran kemana tadi Mas Lucky keluar setelah sholat. Lima menit, sepuluh menit hingga setengah jam sengaja aku menunggu agar Mas Lucky tertidur. Masuk ke kamar, aku pura-pura akan tidur dan mengetes Mas Lucky. Menggoyang tubuhnya tapi Mas Lucky tidak bangun juga. Segera aku sambar kunci mobil di meja dan menutup pintu kamar dengan pelan. Tiba di garasi, memasukkan kunci lalu pintu mobil terbuka gegas aku masuk ke dalam. Mengambil kotak coklat dan membukanya dengan berdebar. Lalu saat melihat isinya, aku terkejut dan mulut mendadak kelu. Kotak besar itu berisi pakaian seksi wanita, sebuah lingerie hitam. Begitu cantik dipadu celana da
Bab 5 : Pengakuan "Sudah dapat blom, Ky?" tanya mertua berjalan mendekat. Mas Lucky menggeleng frustasi, lalu mertua menatap ibu tajam. "Pasti ibu Ayu yang mengambilnya!" Spontan ibu terkejut bila kejadian kemarin terulang kembali. "Tunggu, sebenarnya apa yang kalian cari sampai menuduh ibuku?" kataku berpura-pura marah. "Mas kehilangan barang di mobil dan itu sangat penting buat Mas," jawab Mas Lucky berang. "Mas, apa kamu nggak lihat kalo ibu aja susah berjalan bagaimana mungkin bisa mengambil barang di mobil. Lagian kunci mobil 'kan Mas yang simpan. Sebenarnya barang apa sih?" Aku terus merongrong agar Mas Lucky mau bicara.Mas Lucky tetap tidak mau jawab, aku akan menjebaknya. "Apa barang itu untuk Maya?" tanyaku ketus. "Bu-bukan! Ya udah kalo kamu nggak tau," ujar Mas Lucky. "Tunggu, Ky! Sebaiknya kita geledah kamar ibu Ayu," seru mertua sukses membuat mata ibu membulat sempurna. Sedangkan Bi Inem yang berdiri di sudut dapur mulai gemetar. "Mas, jangan sampai kamu masuk k
"Maafkan Ayu, Bu! Kalo suatu saat nanti kita nggak berada di rumah ini lagi?" "Maksud kamu?" tanya Ibu tak mengerti. "Ibu masih ingat kan wanita yang kemarin udah memfitnah Ibu?" tanyaku menatap Ibu dalam. "Ya, memang kenapa dengan dia?" "Wanita itu yang akan menjadi istri kedua Mas Lucky, Ayu nggak menyangka Bu kalo Mas Lucky mengkhianati Ayu. Dia udah nggak cinta Ayu lagi!" ujarku sesenggukan. Ibu lalu iba dan memeluk, dielusnya punggungku lembut. "Ayu, Ibu udah tau walaupun kamu nggak ngomong apa-apa. Dari perilaku mereka semua itu sudah menampakkan mereka nggak suka sama kita. Jadi, mau kamu bagaimana Ibu akan tetap mendukungmu." Aku terharu mendengarnya, ah Ibu ternyata dirimu peka dan terus memberi semangat. Oleh karena itu membuatku semakin sayang dan ingin memberi kebahagiaan pada Ibu. Diusianya yang sudah tua aku harus mengurusnya dengan baik. Tetapi bagaimana? Aku belum menemukan caranya. Kalo pergi sekarang juga bisa saja tapi aku tidak mau balik ke kampung lagi. Lag
"Sudah sana pergi jangan kebanyakan bacot, ambil tas kalian dan pergi dari sini!" hardik mantan mertua dengan kasar mendorongku. Aku membawa Ibu ke kamarnya untuk mengambil tas. Bi Inem menangis melihat kami akan pergi. "Non, mau kemana?" tanyanya sedih. "Bi, Ayu sudah ditalak Mas Lucky jadi sekarang juga kami akan pergi! Bibi harus jaga kesehatan dan baik-baik disini," kataku sambil memeluknya. Sedikit tidak rela meninggalkan Bi Inem. Tetapi dia dan aku harus melanjutkan hidup masing-masing. Aku janji dalam hati kalo suatu saat nanti kaya aku akan mencari Bi Inem. "Non, gimana cincin itu?" ujar Bu Inem berbisik. "Bibi simpen dulu, besok saat Bibi akan belanja ke pasar Bibi bawa dan kita ketemu disana. Kalo Ayu bawa sekarang ntar mereka akan menggeledahnya lagi," titah ku, Bi Inem mengangguk mengerti. Selesai membereskan tas Ibu, aku melanjutkan ke kamarku. Tidak banyak barang yang kubawa, hanya baju tanpa perhiasan. Ya perhiasan yang aku punya hanya cincin nikah. Sebelum keluar
"Iya, Non Alhamdulillah! Oh iya selama Non Ayu pergi, si Maya itu hampir tiap hari datang dan membuat Bibi jijik melihatnya. Dia dan den Lucky kerap berciuman di ruang tamu. Kabarnya Minggu depan mereka akan menikah Non, Maya minta yang mewah di gedung. Dasar pelakor nggak tau malu!" umpat Bi Inem kesal. Aku hanya menyengir mendengarnya dan tidak kaget. Apalagi mantan mertua pasti lebih senang, dulu saat Mas Lucky menikah denganku saja dia tak mau hadir karena malu. Aku tersentak kala ponsel berdering dan terlihat dilayar ada sebuah notifikasi pesan masuk di wa. Aku mengerinyitkan dahi membacanya, dari nomor asing yang tak terdaftar. [Assalamualaikum, ini Ayu kan? Anaknya Mbak Asih] [Iya, benar! Maaf ini siapa ya?] balasku cepat dan penasaran. [Saya Oom kamu Ayu, Brotoseno! Adik kandung Mbak Asih, Ibumu] balasnya. Mataku terbelalak, adik Ibu? Benarkah, selama ini Ibu tak ada menceritakan tentang adik kandungnya. Dulu pernah juga mendengar dari saudara kalo Ibu dan adiknya sudah
Esoknya, Ibu bangun lebih pagi dan memasak. Aku yang sudah siapan menunggu Ibu untuk sarapan. Hari ini aku akan berusaha mencari pekerjaan, semoga saja diterima. Sudah sepuluh surat lamaran yang ku kirim ke perusahaan tapi belum ada satupun yang memanggil. Kali ini aku harus lebih gigih, pantang menyerah karena ada misi untuk membalas perbuatan orang-orang yang sudah membuat hidupku hancur. Walaupun berbeda orang tapi mereka masih satu keluarga. Mas Lucky, Mamanya dan si pelakor Maya serta sepupu Mas Lucky si Terry. Aku akan tunjukkan pada mereka bahwa aku pun bisa seperti mereka bahkan aku ingin melebihi mereka. Agar mereka tau apa itu yang namanya kezoliman dan penderitaan. Untuk saat ini biarlah mereka bersenang-senang dulu, tiba saatnya mereka akan bertekuk lutut. Usai sarapan aku pamit pada Ibu. "Hati-hati di jalan ya Yu! Ibu doakan kamu dapat pekerjaan." "Aamiin, iya Bu. Ayu berangkat dulu ya, Assalamualaikum!" "Wa'alaikumussalam!" jawab Ibu lalu masuk kedalam rumah. Aku m