Melihat Fanny tancap gas membuat Debby bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Tanpa pikir panjang, Debby berniat menyusul Fanny ke apartemennya. Tak ingin membuang-buang waktu dengan mengganti pakaian, Debby hanya menyambar jaket untuk menutupi kaus tanpa lengannya dan meraup kunci mobil beserta dompet dari atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia pun berlari untuk menyambar ponsel di atas meja bar. Larinya tak berhenti hingga ia mengunci pintu depan rumah. Dengan tergesa-gesa, wanita berparas cantik itu lalu membuka pagar lipat, menyalakan mesin mobil dan keluar rumah dalam hitungan detik. “Sial, sial, sial! Baru kali ini aku merasa direpotkan sama pintu pagar!” Debby tak henti-hentinya menggerutu karena ia harus turun lagi dari mobil hanya untuk menutup pintu pagar dan menguncinya. Namun, begitu pantatnya menyentuh bantalan jok mobil, Debby langsung tancap gas. Merasa yakin jika Fanny kembali ke apartemennya, Debby tak memedulikan hal lainnya lagi selain segera sampai ke apa
Rupanya butuh waktu lama bagi Leon untuk mengumpulkan semua berkas pelamar yang diminta William. Hingga waktu pulang kantor tiba, lelaki itu belum juga memunculkan batang hidungnya di ruangan sang CEO. Tak sabar menanti, William berencana untuk menyusul Leon ke bagian HRD begitu pekerjaan yang sedang ia tangani saat ini selesai dikerjakan. Namun, belum juga sepuluh menit berlalu, pintu ruangannya sudah keburu diketuk dari luar, disusul dengan munculnya wajah Leon dari balik pintu. Kedua tangannya memegang setumpuk berkas. Tanpa menutup pintu, Leon berjalan menuju meja kerja William. “Ini belum semuanya, Will, baru sebagian dari berkas pelamar yang nggak lolos seleksi. Aku nggak tahu apa tujuanmu meminta semua berkas pelamar ini. Jadi, kupikir lebih baik kubawa dulu berkas-berkas yang sudah diseleksi biar nggak mengganggu pekerjaan mereka,” lapor Leon seraya meletakkan tumpukan berkas tersebut di tepi meja kerja William yang kosong. “Sisanya akan menyusul besok.” “Hmm, bagus! Begitu
Sebuah mobil SUV cokelat gelap berhenti di jalur masuk sebuah rumah yang tampak tertutup rapat dari luar. Pagar tembok setinggi satu setengah meter lebih mengelilingi rumah di sisi kanan dan kiri, sedangkan di bagian depan tertutup oleh pagar tembok yang hanya memiliki celah-celah sempit dengan jarak tertentu. Pintu pagar lipatnya yang berbahan aluminium pun tampak tertutup rapat tanpa celah. Debby keluar dari mobil untuk membuka sebagian pintu pagar yang didominasi warna cokelat tua dan cokelat muda itu. Tiga daun pintu didesain supaya membuka ke sisi kiri dan tiga lainnya membuka ke sisi kanan. Secara berselang seling, masing-masing permukaan daun pintu berwarna cokelat muda tersebut memiliki motif pohon bambu dan garis-garis vertikal. Tak berselang lama, mobil pun meluncur mulus memasuki sebuah carport berlantai batu koral sikat dengan motif kotak-kotak. Atapnya yang berupa kanopi berbahan polikarbonat bening itu melindungi mobil SUV kesayangan Debby dari paparan sinar matahari la
“Oh, kamu sudah sampai?” sahut Debby dengan nada santai. Ia melepas kacamata yang sedari tadi setia bertengger di atas pangkal hidungnya. Matanya melirik jam digital di pojok kanan bawah laptop. Seketika, mata sipitnya membesar.‘Astaga! Sudah jam segini?’“Ya! Aku sampai jamuran nungguin kamu buka pintu,” keluh si penelepon.Debby terkekeh mendengarnya. Ia bangkit berdiri, meraih kunci rumah dan keluar dari ruang kerjanya menuju pintu depan. “Masa sih?” tanya Debby tanpa merasa bersalah. “Tunggu sebentar.”“Kamu nggak baca pesanku, ‘kan?” tuduh sosok di ujung lain telepon.“Ha? Kapan kamu kirim pesan? Aku nggak dengar ada notif kok.” Debby segera menjauhkan benda pipih tersebut dari telinganya dan mengecek notifikasi.Sejurus kemudian, benda tersebut sudah kembali menem
Fanny baru saja selesai mencuci piring dan peralatan memasak setelah mereka berdua menghabiskan masing-masing seporsi nasi goreng. Olahan nasi yang gurih dan lezat bertabur sayuran berwarna hijau, kuning, dan oranye serta potongan sosis itu habis dalam sekejap. Ketika menginap di rumah ini, Fanny selalu berusaha untuk tidak merepotkan sang tuan rumah. Jadi, ia tidak pernah keberatan berbagi tugas dengan sang tuan rumah. Setelah mengeringkan tangan, Fanny beranjak dari dapur untuk menyusul Debby yang sudah lebih dahulu duduk di karpet di depan televisi. Debby tengah mendengarkan siaran berita di salah satu saluran televisi nasional ketika Fanny duduk di sampingnya. Kaki jenjang Debby yang berselonjor tengah memangku bantal sofa berwarna merah dengan motif polkadot warna putih. Fanny ikut mengambil bantal sofa dan memeluknya di depan dada. Belum sempat ia buka suara, Debby sudah lebih dahulu membuka mulutnya. “Sebenarnya ini ide siapa sih? Kamu apa kokomu itu?” tanya Debby sembari memi
Suara dering ponsel memecah konsentrasi Niel yang tengah menyusun laporan keuangan di ruang kerjanya yang berada di lantai atas kelab malam miliknya. Perhatiannya yang tertuju pada layar laptop segera beralih pada ponselnya. Selembar nota yang dipegang di tangan kirinya langsung diletakkan di atas tumpukan nota yang lain ketika mengetahui siapa yang menelepon. Niel segera menggeser tombol hijau sembari mengulas senyum. Tangannya yang lain juga bergerak memindahkan pemberat kertas ke atas tumpukan nota.“Akhirnya aku bisa menghubungimu, Ko! Dari pagi sampai sekarang kalau nggak ikut rapat, ya, bikin laporan yang batas waktunya buat hari ini juga. Hah!” seru Fanny dari seberang telepon.“Memangnya ada apa? Heboh banget kamu.” Senyum Niel berubah menjadi tawa. Punggungnya disandarkan ke belakang.Fanny terkekeh. “Nggak ada apa-apa sih, Ko, cuma mau kasih info aja. Minggu kemarin Ko Niel minta n
Niel memasuki sebuah kafe yang cukup lengang, hanya ada beberapa gelintir orang saja dalam ruangan yang cukup luas itu. Maklum saja, ini sudah lewat waktu sarapan, tetapi juga masih terlalu dini untuk orang-orang bersantap siang. Memandang sekilas berkeliling, lelaki jangkung itu langsung bisa menangkap sosok perempuan yang telah mengundangnya untuk datang kemari. Dengan langkah cepat, Niel menghampiri meja di salah satu sudut ruangan yang ditempati oleh wanita tersebut. Meja yang dipilih wanita itu jauh dari pengunjung yang lain dan berada di sisi terjauh dari pintu masuk, membuat Niel memiliki waktu untuk mengamati sosok tersebut. Postur tubuhnya tampak santai dengan punggung bersandar pada sandaran kursi. Niel bisa melihat puncak kepala berambut burgundi yang tengah menunduk itu. Ujung rambut panjangnya yang diekor kuda menjuntai di depan bahu kiri. Sebuah buku terbuka di hadapannya yang disandarkan pada tepi meja. Tangan kirinya menyangga bagian bawah buku, sedangkan tangan kanan
Niel tersenyum kecil melihat respons Debby sebelum kembali memusatkan perhatian pada ponselnya. Selang beberapa saat kemudian, suara gemerincing halus kembali memasuki gendang telinganya. Lelaki yang tengah menyeruput cairan hitam dari cangkir putih itu segera menoleh mengikuti sumber suara yang baru saja melewati sisi kirinya. Debby kini sudah duduk kembali di hadapannya. Namun, wajah wanita itu tampak datar. Tidak ada sama sekali jejak tawa bahkan senyum yang beberapa saat yang lalu menghiasi wajah bulat telurnya. “Hmm, ke mana perginya senyum dan tawa tadi?” batin Niel sambil menelisik wajah bulat telur di hadapannya. “Maaf, sudah membuat Ko Niel menunggu.” “Oh, enggak apa-apa. Ehm … apa kamu tahu, Deb, kalau kamu semakin terlihat cantik dan manis saat tersenyum atau tertawa?” “Apa?” “Oh, aku enggak punya maksud apa-apa, cuma menyampaikan apa yang aku lihat aja kok. Kamu semakin cantik kalau tersenyum,” puji Niel lagi, “dan bukan berarti sekarang enggak cantik, ya.” Niel lagi-