Di sisi lain, Abimanyu Haninditya kini melangkah ringan ke dalam rumah usai memarkirkan mobil dengan sempurna di garasi. "Assalamualaikum …""Wa'alaikumsalam. Baru pulang kamu, Bi?" Seorang wanita paruh baya dengan kacamata baca sedang sibuk dengan buku tebalnya di sebuah kursi santai di ruang tengah. Ibundanya memang akan selalu menunggu, selarut apapun anak lelakinya itu pulang. "Iya, Ma. Belum tidur?" Perbincangan yang sama berulang-ulang, tapi sepertinya tak pernah bosan diucapkan oleh sepasang ibu dan anak itu. Kejadian selanjutnya pun sudah bisa ditebak, yaitu adegan cium tangan Abimanyu pada sang ibu. "Sabtu bukannya kamu nggak ke kantor? Memangnya pergi kemana sih, Bi?" tanya wanita itu lagi setelah membiarkan putranya duduk di sebelahnya untuk melepas sepatu. "Biasa Ma, ngurusin apotek," jawab si anak bungsu. "Kamu tuh kalau lagi libur, nggak usah kebanyakan ke luar kenapa sih? Nggak kasihan mama kesepian di rumah?" keluh wanita itu, yang memang sudah menjadi makanan se
Malam itu, Kemala sedang berada di kamar putrinya untuk membacakan dongeng seperti biasa. "Gimana kalau sekarang gantian Bia yang bacain cerita buat mama? Mama ngantuk nih, pengen tidur sambil didongengin," kata wanita itu manja, usai menyelesaikan sebuah kisah lumayan panjang untuk Abiya. "Enggak ah. Mama aja yang bacain cerita. Bia kan nggak bisa," ucap gadis kecil itu dengan muka cemberut. "Loh kok gitu? Masa' dari Bia kecil, mama terus yang bacain cerita. Sekali-kali dong ganti Bia yang dongengin mama," kata wanita yang tengah mengenakan setelan piyama panjang berbahan satin itu. Dia makin melebarkan senyum melihat anak semata wayangnya makin cemberut. “Telpon papa Abi aja yuk, Ma?” kata Abiya tiba-tiba dengan raut muka sudah kembali ceria. Padahal sebenarnya gadis kecil itu hanya ingin mengalihkan perhatian ibunya saja padanya. Kemala melirik sebentar arloji di tangannya, lalu berkata. “Ini sudah malam, Sayang. Nanti gangguin papa Abi.”“Cuma sebentar aja kok. Bia mau tanya
“Ke rumah sama Bia?” Abimanyu kaget bukan kepalang. Tapi demi tak membuat Kemala tersinggung, dia berusaha menanggapi hal itu dengan santai. “Iya, Mas. Kenapa? Mas masih belum siap aku ketemu sama mamamu?” Kemala sambil menahan nafas saat menanyakan itu. Sebenarnya bukan hanya Abimanyu saja yang mungkin belum siap mempertemukan kembali dirinya dengan keluarganya, dia pun sama. Tapi demi melihat keseriusan Abimanyu dan mengetahui kepastian hubungan mereka ke depan, Kemala dengan terpaksa mengajukan permintaan itu. “Jika tidak dimulai dari sekarang mendekati calon ibu mertuanya, kapan lagi?” pikirnya. Sedangkan hubungannya dengan lelaki itu pun sudah sangat jauh. Fitnah kemungkinan besar akan segera terjadi jika hubungan keduanya tak segera diresmikan. Dia tak bisa menunggu dalam ketidakpastian lebih lama lagi. Apalagi, Bia makin tumbuh dewasa. “Bukan gitu. A-ku sih nggak masalah kamu sama Bia mau ke sini. Aku justru senang kamu bilang kayak gitu, Sayang. Tapi kan kamu tahu mama itu
Pagi itu suasana hening di meja makan rumah Bu Rosmala. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu di piring, nyaris tanpa celotehan wanita itu seperti biasa. Di seberangnya, putranya sesekali menatap sang ibu dengan bimbang. Ingin mengajaknya bicara, tapi masih takut jika ibundanya itu belum berkenan mengobrol dengannya. “Pak Abi mau nambah nasi gorengnya?” Suara Lastri dari samping tempatnya duduk, membuyarkan lamunan Abimanyu. “Eh, enggak. Makasih,” jawabnya singkat. “Mama barangkali mau nambah?” tanyanya kemudian pada wanita yang masih khusyu’ dengan piring di depannya. Bu Rosmala rupanya juga sedang larut dalam pikirannya sendiri hingga sedikit kaget saat anak lelakinya itu mengajaknya bicara. “Apa?” tanyanya, membuat Abimanyu sedikit lega karena ternyata ibundanya sudah mau berbicara padanya. “Mau nambah nasi goreng lagi, Ma?” ulang Abimanyu. Tapi Bu Rosmala malah memandang Lastri yang kini telah berdiri di sebelah sang nyonya rumah dengan siaga..“Oh, enggak Las, makasih. A
Dugaan Abi ternyata tidak salah. Kekeras-kepalaan ibunya berujung pada disodorkannya lagi perempuan lain untuk dijodohkannya padanya. Namun yang lebih membuat lelaki itu kaget adalah, kenapa harus Tabitha?“Tabitha?! Anaknya Tante Fenny yang baru lulus tahun ini?” tanyanya dengan bibir menahan tawa. “Iya, kenapa memangnya?” “Ya ampun, Mam. Come on, dia itu masih anak-anak.”“Justru itu, kamu tidak akan kesulitan untuk mendidik dia menjadi istri yang baik nantinya, Bi.” Bu Rosmala masih tetap ingin meyakinkan putranya. Abi justru makin terkekeh. Tabitha adalah anak dari salah seorang sahabat Bu Rosmala yang tinggal di luar kota. Abimanyu mengenalnya karena Bu Rosmala cukup sering menceritakan perihal sahabatnya yang paling dekat itu dalam perbincangan mereka selama ini. Dan lucunya, baru satu bulan yang lalu Abimanyu mengantarkan sang ibunda menghadiri perayaan syukuran kelulusan sarjana strata satu anak gadis itu. Apakah mamanya sudah kehilangan stock perempuan hingga harus menyodor
Keenan–mantan suami Kemala–yang sangat jengkel dengan kelakuan Irene hari sebelumnya, ternyata memilih untuk tidak pulang ke rumah. Sepulangnya dari kantor, dia rupanya langsung pergi ke rumah orangtuanya untuk menghindari pertengkaran dengan istrinya itu. Dia yakin, kejengkelannya pada Irene yang telah membuatnya mendapatkan surat peringatan dari kantor justru akan membuatnya tak bisa menahan diri untuk tak bertengkar dengan wanita itu jika mereka sampai bertemu. Sang ibu, rupanya bukan cuma satu dua kali ini saja mendapati anak lelaki satu-satunya itu pulang ke rumah tanpa membawa Irene. Dia pun sudah bisa menebak apa yang terjadi pada anaknya itu kala malam harinya melihat Keenan datang dengan taksi online ke rumahnya. Tapi demi tak membuat sang putra gundah, Bu Ratih memilih menunggu pagi untuk mengajaknya bicara. “Bertengkar lagi dengan istrimu?” tanyanya pagi itu, saat melihat Keenan dengan muka bangun tidur langsung menyusulnya ke meja makan. Dengan malas-malasan Keenan pun
Hari berikutnya seperti biasa, Abimanyu menuju kantor usai menghabiskan sarapan dengan sang ibunda. Dia sebenarnya sudah tak sabar ingin mengabarkan berita gembira soal ibunya yang akhirnya bersedia bertemu dengan Kemala. Tapi kemudian lelaki itu memilih untuk memberikan surprise pada wanita itu nanti di apotek. Saking bersemangatnya hari itu, Abi pun memilih memarkirkan mobilnya sendiri tanpa meminta bantuan satpam yang berjaga di lobby seperti biasanya. Lelaki itu turun dari roda empatnya setelah mengambil tas kerja di jok samping, lalu berjalan cepat menuju ke arah lobby. Sementara dari arah gerbang perkantoran, mobil Irene melaju dengan lumayan cepat memasuki area parkir. Saking kagetnya, Abi sampai harus menghindar saat kuda besi itu hampir saja menyenggol tubuhnya. Dalam hati lelaki itu mengumpat sambil mengamati siapa yang berada di dalam mobil itu. “Aduh mati!” Sementara itu di dalam mobilnya, Irene tiba-tiba menepuk dahi setelah baru sadar bahwa lelaki yang baru saja kelua
Keenan tiba di kantor tepat waktu hari itu. Surat peringatan dari sang boss membuatnya harus lebih memperhatikan kinerjanya. Dari rumah ibunya, lelaki itu langsung menuju ke kantor, bahkan pesan-pesan dan panggilan dari Irene pun masih diabaikannya hingga hari menjelang siang. Jam makan siang, Keenan bermaksud mengisi perutnya saat istrinya itu menelponnya lagi. “Kamu kemana sih, Mas? Ke rumah mami lagi?” wanita itu langsung mengomel saat mendengar salam suaminya dari seberang. Keenan menutup kupingnya. Kejengkelan yang sudah sedikit reda, mulai muncul kembali gara-gara mendengar suara omelan Irene. “Iya, aku nginep di rumah mami kemarin,” jelas lelaki itu malas-malasan. “Kebiasaan deh. Lelaki kok kalau ngambek sama istri langsung lari ke ketiak ibunya. Sadar dong, Mas tuh udah gede, udah tua!” Irene yang awalnya menelpon untuk mengajak berbaikan suaminya, justru jadi meradang mendengar pengakuan sang suami bahwa dirinya menginap lagi di rumah ibu mertuanya. “Jaga bicaramu, Ren!