Chiiit!Peter menginjak pedal rem secara mendadak, nyaris saja ia menabrak seekor anjing yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilnya."Shit!"Peter mengumpat kesal."Tuan. Apakah anda baik-baik saja?" tanya Peter dengan nada cemas.Dari balik kaca spion di depannya, Peter dapat melihat jika Marcel semakin terlihat pucat. Pria itu senantiasa memejamkan matanya dengan menyandarkan kepala ke belakangDan Raya yang terbangun karna mendengar Peter mengumpat. Wanita itu kembali dibuat terkejut begitu menyadari jika dirinya sudah berpindah tempat ke dalam mobil dan berbaring di atas pangkuan Marcel.Wanita itu buru-buru bangkit lantas menggeser tubuhnya menjauh dari Marcel."Nona! Anda sudah bangun? Bisakah aku minta tolong kepadamu?" tanya Peter tanpa mengalihkan fokusnya dalam mengemudi.Raya hanya diam tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Peter. Gadis itu lebih memilih untuk menikmati pemandangan ke luar jendela."Nona! Aku mohon! Tuan Marcel sedang tidak sehat. Bisakah kau periksa
Suasana kembali berubah hening. Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Raya, sedangkan Marcel pria itu jadi merasa sangat bersalah atas apa yang telah diucapkannya barusan."Maaf," lirih Marcel.Namun Raya masih tetap diam, asyik dengan pikirannya sendiri."Apa kau tidak lapar?" tanya Marcel melirik ke arah gadis di sampingnya.Raya tidak menjawab. Gadis itu justru mengalihkan pandangan matanya keluar jendela.Marcel tidak kurang akal, mencari cara agar suasana tetap mencair."Berapa lama perjalanan yang harus kita tempuh untuk sampai ke rumahmu?" Marcel kembali bertanya. "Mungkin memakan waktu sekitar tujuh sampai 8 jam," jawab Raya tanpa mengalihkan pandangannya."Tujuh sampai delapan jam?" gumam Marcel sedikit terkejut.Saat ini waktu sudah menunjukkan jam 11 malam, Marcel berpikir mungkin mereka akan bermalam di jalan nanti.Jika tahu begini mungkin Marcel akan memilih menggunakan helikopter pribadinya daripada harus menggunakan mobil, apalagi kondisinya sedang tidak baik-b
Tangis haru menyelimuti keluarga Hutama menyambut kepulangan Raya pagi itu. Tak terkecuali, Hanum. Ibu tiri yang sangat menyayangi Raya selama ini.Wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih melihat penampilan Raya yang terlihat pucat dan kurus, meski baru beberapa hari gadis itu menghilang."Kamu kemana, sayang? Mengapa kamu menghilang di hari pernikahan kamu? Apa yang terjadi, Nak? Apa ada yang menyakitimu?"Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut bu Hanum. Wanita itu tidak kuasa melihat Raya yang menangis pilu dalam pelukannya."Sudah, Bu. Sebaiknya bawa Raya ke kamarnya dulu untuk membersihkan diri dan beristirahat. Anak kita butuh waktu untuk menenangkan diri," ujar pak Hutama, mengusap bahu dua perempuan yang sangat di sayanginya itu.Bu Hanum mengangguk, sembari mengusap air mata di wajahnya."Ayo, sayang. Kita ke kamar dulu. Ibu akan siapkan makanan dan teh hangat buat kamu."Wanita paruh baya itu kemudian menuntun Raya untuk ke kamarnya. Menyiapkan air hangat di bathtub unt
Raya keluar dari apartemen dengan air mata yang bercucuran. Gadis itu sudah tidak sanggup lagi melihat pergumulan panas antara Rafka dan Jesica, dan suara desahan mereka yang saling bersahutan. Apalagi mendengar pembicaraan mereka yang ternyata sudah bermain api di belakangnya selama ini.Rafka dan Jesica diam-diam telah menjalin hubungan di belakangnya. Bahkan mereka sering melakukan hubungan suami istri tanpa sepengetahuan Raya. Sungguh! Hatinya benar-benar sakit tiada terperi. Ternyata orang yang selama ini sangat dia cintai tega melakukan semua itu kepadanya, termasuk kakaknya sendiri."Mengapa semua ini harus terjadi kepadaku! Mengapa!" Raya berteriak seorang diri di pinggir sebuah danau. Gadis itu mengeluarkan semua keluh kesahnya dengan berteriak seorang diri di tempat yang cukup sepi itu."Apa salah dan dosaku, Tuhan. Mengapa mereka tega melakukan ini di belakangku?" rintih Raya sambil menangis pilu."Masa depanku sudah hancur! Dan kini orang yang sangat aku cintai menghian
Satu bulan kemudianSiang ini, Marcello dan Celina melangsungkan pernikahan. Akad nikah di laksanakan di kediaman Celina, sedang resepsi pernikahan akan di selenggarakan di sebuah hotel bintang lima.Perasaan bahagia terlukis indah di wajah kedua mempelai setelah Marcel selesai mengucapkan ijab qobul.Celina langsung bergelayut manja di lengan Marcel, ketika sanak saudara dan para tamu menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat."Aku sangat bahagia sekali, sayang. Setelah sekian lama menunggu akhirnya kau menepati janjimu menikahiku," ucap Celina dengan binar bahagia di matanya.Kini mereka sedang berada di kamar Celina, untuk beristirahat sejenak menunggu malam resepsi tiba.Marcel tersenyum. Mencium kening Celina yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Bagaimana aku tidak akan menikahimu, jika kau adalah wanita yang sangat aku cintai, Celina."Pria itu memeluk pinggang ramping di sampingnya, sedikit menunduk mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibir penuh milik istrinya.Begit
"Raya."Wanita itu menengadah, menatap tidak berkedip pria yang berdiri di depannya."Raya," lirih Marcel. Perasaan rindu tiba-tiba saja membuncah di dadanya.Tangis Raya semakin pecah. Terdengar begitu pilu dan menyayat hati. Wanita itu perlahan berdiri, dengan tubuh yang semakin gemetar.Wajah rapuh dan penuh luka itu membuat Marcel ingin segera membawanya ke dalam pelukannya.Pria itu perlahan mendekat dengan tubuh yang juga gemetar, memberanikan diri memangkas jarak di antara mereka."Raya, apa kau baik-baik saja?"Raya menegakkan kepalanya, menatap dalam manik mata pria di depannya. Wanita itu diam seribu bahasa, hanya sorot matanya yang seolah ingin menyampaikan kepedihan hatinya kepada Marcel.Marcel mengulurkan tangannya, mencoba meraih pundak gadis itu, namun Raya segera menepisnya."Biarkan aku mati!"Nada putus asa itu begitu terdengar jelas di telinga Marcel, menghadirkan rasa bersalah yang kembali merajam hatinya."Kau tidak boleh mati, kau harus tetap hidup.""Apa perdu
Tangis pilu itu kembali terdengar nyaring di telinga Marcel. Membuat hati pria itu kembali di rundung rasa sesal.Namun, sesal itu tidak akan cukup mengobati luka dan penderitaan Raya selama ini.Marcel merengkuh tubuh wanita muda itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggungnya dengan lembut, membiarkan Raya terus memukul punggungnya hingga merasa lelah sendiri."Kita akan menikah," kata Marcel dengan lembut. Jemarinya bergerak lembut, menyusut air mata pada wajah rapuh di hadapannya.Namun Raya menggeleng lemah."Aku datang bukan untuk meminta tanggung jawabmu. Aku hanya ingin kau tau jika aku ... a-aku ...."Raya berbicara terbata-bata, hingga tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya."Aku tau. Dia tumbuh di sini," kata Marcel. Tangannya bergerak lembut mengusap perut yang masih rata itu.Tanpa di duga, Raya menghambur ke dalam pelukan Marcel. Bahkan wanita itu melingkarkan tanganny di pinggang pria yang kemarin sangat di bencinya itu.Kemarin? Lalu sekarang?"Kau membuat hidupku ha
Marcel menunggu dengan perasaan gelisah di depan pintu ruang kerja ayahnya.Tidak hanya gelisah karna memikirkan apa yang sedang dikatakan ayahnya kepada Raya, tapi juga gelisah karena sebentar lagi acara resepsi pernikahannya akan dimulai dan Celina sudah berulang kali menelponnya sejak tadi. Untung saja ponselnya di pegang oleh Peter, dan sang asisten tentu sangat pandai memberikan alasan kepada wanita itu.CeklekSuara pintu dibuka dari dalam dan muncullah Raya dari balik pintu dengan wajah menunduk.Marcel bergegas menghampiri wanita itu dengan wajah cemas."Apa kau baik-baik saja? Apa ayahku mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaanmu?" tanya Marcel dengan harap-harap cemas."Aku baik-baik saja. Tidak ada hal penting yang dibicarakan oleh ayah beliau hanya memberiku hadiah kalung ini," jawab Raya sambil menunjukkan kalung yang dipakainya.Marcel menyipitkan kedua matanya, mengamati kalung itu dengan seksama. Dalam hati pria itu bertanya seorang diri, "Bukankah itu kalung penin