Share

Pagi Pertama

Penulis: Ajeng padmi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-05 00:02:50

Pagi itu seperti biasa Dina sudah ribut mengurus semua keperluan anak-anak dan suaminya, kalau kalian berpikir menjadi istri bos itu enak kalian harus bepikir ulang saat berhadapan dengan Angga dan anak-anaknya. Mereka hanya mau Dina yang mengurus semuanya, mulai menyiapkan pakaian maupun memasakkan sarapan. 

“Aksa jangan main game terus, ayo selesaikan makanmu.” Aksa anak pertama Angga dengan almarhum istrinya, langsung memasang muka cemberut tapi menurut  dengan meletakan ponselnya dan mulai memakan sarapannya. “Arsyi, makannya cepetan keburu siang.”

Ditinggal sang ibu saat masih berumur tujuh tahun dan lima tahun membuat dua orang anak Angga seperti kehilangan Arah mereka yang terbiasa bersama sang mama harus rela dipisahkan oleh maut  dan Dinalah yang selama ini membantu mereka mengatasi kesedihan, bukan sebagai ibu karena Dina sudah memberitahukan kalau dia hanya teman dan sahabat untuk dua anak yang beranjak remaja itu.

Dina memang tidak berkeinginan untuk menggantikan mama mereka, sejak awal dia sudah memberitahukan bahwa dia bukan ibu kandung mereka walaupun begitu dia tetap menyayangi mereka layaknya anak sendiri, lagi pula waktu yang dihabiskan Dina dengan kedua anak itu lebih banyak dari pada saat dengan papanya. 

“Bunda telur dadarku diambil kak Aksa,” lapor Arsyi. 

“Bohong Bunda itu tadi Arsyi nggak mau lalu aku ambil.” 

Dina menghela nafas, beginilah rutinitasanya setiap pagi ada saja ulah anak-anak itu. 

“Aksa dan Arsyi mau telur dadar lagi biar, Bunda minta Mbak Dar buatkan?” serempak kedua anak itu mengangguk. 

Dina segera memanggil mbak Dar yang masih sibuk di dapur, tidak seperti rumah orang kaya kebanyakan yang pelayannya berjajar di belakang majikannya untuk setiap saat melayani. Dina malah mengatur mereka untuk menyelesaikan pekerjaannya masing-masing, urusan di meja makan Dina yang akan melayani semuanya. 

Angga pertama melihat itu sempat protes tapi Dina dengan keras kepala menjawab bahwa ini bagian dari tugasnya dengan begini mereka akan merasa lebih dekat dan kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang. 

“Wah pagi-pagi sudah ramai saja, apa Papa ketinggalan sesuatu?” serempak mereka semua menoleh kepada Angga yang baru saja keluar kamar sambil mendorong kursi roda Keira. Mereka berdua sudah rapi dan wangi. 

Dina memandang penampilannya sendiri yang masih mengenakan piyama dan rambut dicepol asal, dan yang pasti belum sempat mandi. Dia hanya meringis pantas saja suaminya langsung ingin menikahi Keira yang cantik dan masih muda, dia pasti sudah bosan melihatku yang kucel ini. Batinnya pedih.

Entah kenapa Aksa dan Arsyi terlihat tidak terlalu antusias melihat papanya, mereka berdua bahkan langsung menunduk pura-pura sibuk dan tidak menanggapi sapaan papanya.

 Dina yang melihat itu hanya bisa meringis bingung, dia memang belum pernah bicara dengan anak-anak soal papanya yang akan menikah lagi. kemarin dia berpikir suaminyalah yang harus bicara pada mereka tapi sepertinya dia juga harus ikut bicara. 

Dina melirik suaminya yang membopong Keira untuk dipindahkan ke kursi makan, suatu hal yang lumrah memang, tapi tidak untuk Dina, hatinya semakin sakit melihat perhatian suaminya pada istri mudanya itu. 

“Bun, mana telur dadarnya?” 

“Iya sebentar.” Dina segera berjalan ke dapur meminta telur dadar yang sedang digoreng mbak Dar, tak dia perdulikan suaminya yang memandang tak suka pada Aksa dan Arsyi yang mengabaikannya. 

“Ini telur dadar kalian, jangan berebut, Bunda sudah minta buatkan banyak.” Dina memberi peringatan pada dua anak itu. 

“Iya, Bunda.” 

“Baik, Bunda.” 

Dina cukup puas dengan jawaban kedua anak itu, paling tidak mereka akan makan dengan tenang. 

“Aku ke kamar dulu, Mas?” tanpa menunggu jawaban Angga, Dina berjalan ke kamarnya tapi belum juga lima langkah Angga sudah kembali memanggilnya terpaksa dia kembali lagi ke meja makan.

“Iya?” 

“Mau ke mana?” 

“Ke kamar. Mandi,” jawab Dina singkat. Mungkin suaminya tak mendengarnya tadi.

“Kamu kok nggak ambilin Mas makan dulu, sudah siang ini.” 

Dina menghela nafasnya, suaminya ini benar-benar ya, sudah disediain di depan mata tinggal ambil juga. 

“Kan ada Keira, kamu bisa ambilkan makan Mas Angga, Kei?” tanya Dina pada istri muda suaminya itu. 

“Keira belum tahu selera makanku, lagi pula dia masih sakit kasihan.”

Hah! Kasian dia bilang, memangnya siapa yang dari tadi pagi sudah mengurus semuanya sampai dia masih seperti gembel begini. 

Dengan kesal Dina mengambil dua piring dan mengisinya sama banyak lalu meletakkanya di hadapan sang suami dan Keira. 

“Sudah kan aku mau mandi sudah siang.” 

Dina langsung berlalu secepatnya dari sana,tak diperdulikannya pandangan tak suka Angga, memangnya karena siapa ini semua terjadi. Batinnya kesal.

***

Sebenarnya kalau dipikir-pikir Keira bukan gadis yang picik dan jahat, beberapa kali dia menunggui gadis itu di rumah sakit bergantian dengan Angga, dan mereka terlibat percakapan yang menyenangkan, bahkan Keira juga sudah menolak ide Angga untuk menjadikannya istri, tapi Angga tetap kukuh untuk bertanggung jawab dengan menjaga Keira seumur hidup, andai saja dia tidak masuk dalam rumah tangganya mungkin Dina bisa bersikap lebih manis. 

Dina hanya belum terbiasa dengan keadaan ini rasa insecure selalu menghantuinya, apalagi Keira meski harus duduk di kursi roda dia tetap saja gadis yang masih muda dan sangat cantik, Dina yakin dulu pasti banyak laki-laki yang mendekatinya.

Dina tidak langsung ke kamarnya dia perlu menengok anaknya sebentar, Aralah selama ini yang menjadi pegangannya, gadis kecil itu seolah pengingat bagi Dina bahwa dia harus menjadi wanita yang kuat dan dapat bertahan dalam situasi ini. 

“Ara sudah mandi, Mbak?” tanya Dina pada asisten rumah tangga yang biasanya membantu Dina menjaga Ara kalau dia sedang sibuk yang kebetulan baru keluar dari kamar putrinya itu. 

“Sudah cantik, Bu, Non Aranya mau diajak kerja hari ini?” 

“Iya, Mbak, mumpung nggak ada tugas di luar. Oh ya tolong sekalian suapin Ara juga, saya mau mandi dulu.” 

“Baik, Bu.”

Dina memang bekerja di kantor yayasan yang khusus mengurus anak-anak berkebutuhan khusus, sebenarnya Angga sudah meminta Dina berhenti bekerja dan fokus menjadi ibu rumah tangga saja, tapi Dina menolak. Bukan gaji yang dia kejar tapi hanya keinginan untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung.

 Bahkan dia sering memberikan gajinya lagi pada anak-anak itu karena dia merasa sudah cukup dengan uang bulanan dari Angga. 

Dan sekarang keputusan itu dirasa sangat tepat, setidaknya dia tidak jadi gila karena terkurung di rumah seharian bersama Keira. 

“Ara boleh ikut Bunda hari ini?” tanya Ara dengan semangat. 

“Tentu saja, tapi di sana Ara tidak boleh nakal dan tidak boleh bertengkar dengan teman-teman.” 

“Siap, Bunda.” 

“Ok, sekarang Ara makan dulu sama Mbak, Bunda mau mandi setelah itu kita berangkat.” 

Ara segera berlari ke ruang makan dan Dina melanjutkan langkahnya menuju kamar, dia ingin secepatnya pergi dari rumah ini, setidaknya dengan bekerja dia sedikit melupakan masalahnya di rumah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Kedua   Exp Angga-Dina: Cinta Sederhana

    "Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih

  • Wanita Kedua   Exp Angga-Dina: Kejutan

    “Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Sehangat Mentari

    Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Tak Terduga

    Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Malam Panjang

    Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama

  • Wanita Kedua   Exp Brian: Teman?

    Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status