Dina segera masuk ke kamar mandi dinyalakannya shower, berharap dengan dinginnya air yang mengalir mampu menjernihkan otaknya, tapi Bukannya otaknya yang menjadi dingin, air matanyalah yang mengalir, dia tidak menyesali takdir yang telah ditetapkan tuhan untuknya, yang paling dia sesali adalah hatinya yang tak bisa menerima kenyataan ini.
Derasnya air dari shower tak mampu menyembunyikan air matanya yang mengalir berambah deras. Dina membekap mulutnya sendiri. Berusaha meredam segala sesak di dada. Tak ingin terlambat ke kantor Dina segera menyelesaikan ritual mandinya, memandang wajahnya dari cermin. "Pasti aku akan terlihat menyedihkan," gumam Dina pelan. Ditepuk-tepuknya wajahnya supaya terlihat lebih berwarna. Hidupnya memang sedang tidak baik-baik saja, tapi dia tak mau ada orang yang merasa kasihan padanya. Sekian lama hidup di panti asuhan bukan berarti dia mengharapkan rasa kasihan orang lain. "Aku hampir saja mendobrak pintu kamar mandi kalau kamu tidak segera keluar dari sana." "Kenapa Mas di sini?" Bukannya menjawab Angga malah mendekati sang istri membimbingnya untuk duduk di meja rias dan membantunya mengeringkan rambut. Kebiasaan yang memang sering mereka lakukan setelah mandi, intensitas pertemuan yang tergolong sangat minim membuat mereka harus bisa memanfaatkan waktu yang ada. "Ini kamar kita kalau kamu lupa." "Mas pasti tahu benar apa maksudku," Dina berkata tajam. Dia hanya takut Angga mengetahuinya baru saja menangis, meski hanya anak panti dia tak akan mau menjatuhkan harga diri mencintai laki-laki yang memandangnya hanya sekedar tanggung jawab meski laki-laki itu suaminya sendiri. "Bagaimana anak-anak?" Dina mendengus tahu sekali suaminya sedang mencoba menghindari pertanyaanya. "Baik, Mas bisa lihat sendiri kan." "Maksudnya, kenapa hari ini mereka diam saja?" Dina memandang sang suami dari cermin begitu juga sebaliknya mereka saling bertatapan dalam diam, seolah dari pancaran mata saja mereka bisa memahami satu sama lain. Dina segera memutus kontak mata itu lalu berkata, "Bukankah, Mas, ayahnya kenapa tidak bertanya sendiri." Dina melihat Angga sedikit terkejut dengan keberaniannya berkata begitu, selama ini Dina hanya menurut saja apa yang dikatakan Angga tak pernah sekalipun membantah atau berkata ketus. "Kamu kenapa?" Dina hanya menatap suaminya datar tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa rasanya sangat malas berhadapan dengan sang suami. Angga yang paham kalau istrinya sedang merajuk segera memeluknya erat, bibirnya bahkan sudah berlabuh di puncak kepala sang istri yang barusan dia keringkan. “Ayo bicara sebentar, siang ini aku ada rapat penting, jadi tidak bisa ditinggal.” “Memangnya, Mas, langsung kerja hari ini?” Dina memandang suaminya penasaran. Kalau dilihat dari sikap Angga tadi yang begitu perhatian pada Keira, Dina mengira paling tidak Angga akan libur kerja sampai bulan madu mereka berakhir, tapi ternyata sama saja suaminya memang gila kerja. Dina masih memandang suaminya itu, dia hanya berpikir apa dulu saat berumah tangga dengan istri pertamanya, Angga juga sudah gila kerja dan tak terlalu perduli dengan keadaan di rumah. Jujur saja Dina lelah lima tahun mereka menikah tapi mereka tetap seperti orang asing. ‘Setidaknya, Keira lebih beruntung ada acara bulan madu setelah menikah, dulu dia boro-boro, Angga datang ke pernikahannya sendiri saja sudah syukur, bahkan selama seminggu pernikahan, Dina belum bertemu lagi dengan suaminya. Momen mereka pergi berdua hanya untuk kondangan saja itu pun kalau anak-nak tidak merengek ingin ikut. “Iya, aku ada rapat penting, kamu saja yang tidak masuk kerja.” “Kenapa aku? Bukan aku kan yang baru saja menikah,” Dina menjawab dengan sinis. “Bukan itu maksudku, Din. Kenapa kamu jadi marah?” “Istri mana yang tidak marah kalau suaminya menikah lagi,” jawab Dina ketus, tapi dia jadi tak tega melihat wajah suaminya yang dipenuhi rasa bersalah. “Din, apa sangat berat untukmu menerima keputusanku ini, aku tak mungkin menelantarkan Keira, ayahnya meninggal karena kesalahanku.” “Tapi tidak harus dengan menikahinya, apa Mas juga akan menikahinya andai dia sudah tua dan berwajah buruk?” tantang Dina. “Jadi apa maumu?” sejenak Dina tertegun, dia memang ingin semua kembali seperti sedia kala tapi meminta sang suami menceraikan Keira saat usia pernikahan mereka baru sehari tentu sangat tidak manusiawi, apalagi sekarang Keira sendiri dan cacat. Akhirnya wanita itu hanya memalingkan muka menolak menjawab pertanyaan suaminya. Angga merengkuh tubuh istrinya, membiarkan wanita yang sudah memberinya seorang anak itu untuk bersandar nyaman di dadanya. Setidaknya hanya itu yang bisa dia berikan untuk saat ini. “Maaf karena aku mengambil keputusan sepihak, mungkin kamu benar kalau dia sudah tua dan berwajah buruk tentu aku akan berpikir dua kali untuk menikahinya, tapi sungguh aku tidak akan sedikit pun tertarik padanya andai dia tidak terlibat dalam kecelakaan itu.” “Jadi, Mas memang mengakui kalau tertarik padanya?” kata Dina pedih, “Apa Mas juga pernah sedikit saja tertarik padaku?” “Din, kita ini bahas apa? tentu saja aku tertarik padamu kamu istri dan ibu yang baik, karena itu aku minta pengertianmu untuk membantu Keira di rumah ini, dia masih baru dan anak-anak juga tidak terlalu bisa menerimanya, kasihan–“ “Lalu siapa yang mengasihani aku?” “Din! Bisakah kamu dengerin aku ngomong dulu jangan cuma berpikiran buruk saja,” Dina terkejut untuk pertama kali Angga membentaknya. Wanita itu diam mematung masih tak percaya. Hatinya begitu sakit, meski begitu Dina adalah anak panti yang sudah biasa dihina dan dicaci maki, karena itu dengan tegar dia memandang sang suami. Angga yang menyadari kesalahannya langsung menggenggam lembut tangan Dina. Dina tak menolak tapi juga tidak membalas, hanya menatap datar sang suami. “Dina, aku hanya kasihan dengan nasibnya apalagi sekarang dia istriku juga, jadi aku hanya minta tolong padamu, untuk membantu menjaganya sampai dia benar-benar sembuh.” Angga menghela nafas sejenak, “Dan soal anak-anak kamulah yang lebih tahu, aku tahu aku ayah dan suami yang buruk untukmu, jadi tolong bantu aku setidaknya menjadi suami yang baik untuk Keira.” Dina hanya menatap sang suami datar, dia tak ingin bicara apapun, terlalu sakit hati dengan penjelasan sang suami. Apakah sebaiknya dia pergi saja sekarang? Tapi itu akan membuatnya seperti pengecut dia tak bisa meninggalkan anak-anaknya sendirian, mereka tidak pantas menderita karena keputusan tanpa otak papanya. ‘Mungkin selama ini Angga hanya menganggapku pelayan pribadinya saja sekaligus pengasuh anak-anaknya,’ batin Dina pedih. “Bukankah ini waktunya, Mas untuk mendekati anak-anak, selama ini aku yang selalu mengurus mereka dan Mas tidak mau tahu.” “Aku memperhatikan mereka,” bantah Angga. “Benarkah? Apa Mas tahu makanan yang disukai dan tidak disukai Aksa? Di kelas apa sekarang Arsyi belajar? Atau apakah Ara sudah bisa naik sepeda dengan benar? Apa Mas Angga tahu semua itu?” Angga tersurut, dia memang tidak tahu itu semua, selama ini dia berpikir semua itu urusan Dina jadi dia tidak ingin ikut campur, dia hanya memberi uang untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, pulang ke rumah memeluk mereka sejenak dia pikir itu cukup tapi ternyata tidak. Dina benar dia bahkan tak mengenal anak-anaknya sendiri. Mendapati suaminya diam saja Dina segera membalikkan tubuhnya, dia sudah sangat telat, Ara juga pasti tak sabar menunggunya. Persetan dengan suaminya."Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S