“Duh, aku sudah memberimu poin sangat banyak, loh. Poinmu sangat tinggi malam lalu, kan? Ya, meskipun kemarin kamu nggak membuatku puas. Aku hargai usaha dan namamu yang besar itu, Miss A.”
Ayunda mendelik. Adrian lantas tersenyum miring.
“Kenapa kamu menyambutku seperti itu? Itu nggak membuatku senang, loh.”
Ayunda sungguh geram. Ia bisa bertingkah biasa pada semua pria yang sebenarnya ia benci. Namun, Adrian adalah spesies laki-laki yang sangat berbeda. Sejak dulu, ia sangat—tidak pernah bisa simpati pada lelaki itu.
“Kamu mau aku melakukan apa?” Akhirnya, Ayunda berkata begitu.
Adrian bangkit dari sofa dan menghampirinya lebih dekat.
“Sapa aku dengan imut?”
Senyum pria itu kembali mengembang. “Entahlah, apakah kamu melakukan itu pada klienmu?”
Ayunda menahan kesal. Ia bisa melakukan itu. Ia sudah terbiasa bermuka dua sekarang. Satu sisi begitu muak, sisi lainnya menyukai sikapnya yang menjijikkan.
“Kamu mau aku melakukannya?”
Sekejap, Ayunda tersenyum; memperlihatkan gigi-giginya yang kecil diikuti taring di kedua sudut bibir. Gerakan itu diikuti mata yang menatap penuh binar kepalsuan.
“Selamat malam, Tuan. Apa kamu mau minum? Bernyanyi? Atau ... kita mengobrol saja?” imbuh Ayunda dengan nada mengayun.
Adrian terdiam. Satu detik, dua detik, sampai akhirnya tawa pria itu meledak. Sungguh terbahak-bahak. Ayunda tentu kesal bukan main. Ia kembali menahan dirinya di tempat.
“Hahaha ... kamu lucu sekali, Ayun—ehm, maksudku ... Miss A.” Adrian menunduk sesaat memegang perutnya kemudian menghalau tawanya dengan satu tangan di udara. Matanya menyipit sampai Ayunda melihat setitik air mata mencuat dari kedua sudutnya.
“Sial, kenapa gue ketawa sampai mau nangis?” ujar Adrian, berusaha untuk meredam tawanya, membuat Ayunda mengepalkan kedua tangannya.
“Ha-ha. Sepertinya kamu puas sekali menertawakan aku.” Kini Ayunda memasang wajah datar.
“Aaah,” seru Adrian gemas, “kenapa kamu nggak seperti ini saat SMA? Pasti kamu bisa dapat pacar dibanding harus selalu bersikap kaku dan tegas pada kami saat itu.”
Ayunda mendelik. “Kamu meledekku, ya?”
“Kamu ini .... Kenapa bisa begini, sih? Sejak pertama kali ketemu bikin terkejut aja.”
Ayunda menarik napas pendek.
“Ayolah, Miss A. Kita udah lama banget nggak ketemu.”
Adrian lantas mengulurkan tangannya dan meminta wanita itu untuk mendekat.
“Anggaplah ini reuni,” sambung Adrian. “Kamu nggak pernah datang saat reuni—“
“—Berhenti membicarakan soal masa lalu,” potong Ayunda, tegas. Dirinya yang lama kembali. “Sekarang katakan apa maumu? Kamu mau bersenang-senang di sini sambil mengejekku terus-menerus? Ha-ha. Karena itu kamu kembali memamerkan uangmu untuk membeli semua waktuku?”
Adrian menenglengkan kepalanya sejenak. “Apa itu pelanggaran?”
Mata Ayunda memicing. “Kamu memang benar-benar nggak pernah menghargai perempuan.”
Kening Adrian jelas mengerut. Ia menarik lengannya dan mengibaskannya di udara. Merasa tak terima dengan apa yang baru saja terlontar dari mulut Ayunda.
“Kamu bicara apa?” Adrian maju selangkah demi selangkah lebih dekat dengan Ayunda yang kini menatapnya sambil mendongak. Tatapan keduanya penuh tantangan.
“Sebelum bicara begitu, apa nggak sebaiknya kamu berkaca pada dirimu sendiri? Kenapa kamu ada di sini? Kamu di sini, itulah alasannya. Kenapa kamu ada di sini dan semua pria berengsek termasuk aku bisa memperlakukan dirimu seperti ini—membeli semua waktumu. Aku bertanya padamu kemarin. Kenapa? Kenapa kamu harus di sini, Ayunda?”
Ayunda menatap Adrian sengit saat nama aslinya disebut.
“Itu bukan urusanmu. Kalau kamu bertanya sekali lagi, aku nggak akan segan-segan melaporkanmu—“
“—Baiklah, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa itu sudah menjadi risikomu bekerja di sini. Bertemu dengan para pria yang sebenarnya kamu benci termasuk aku,” bisik Adrian.
Ayunda menggigit bibirnya. Adrian benar soal itu.
“Berat sekali, kan?” Adrian kembali menatapnya dengan pandangan tajam. Wanita itu diam saja. Adrian lantas melanjutkan, “Jika kamu merasa begitu, kenapa kamu masih ada di sini?”
Ayunda masih terdiam. Hanya deru napas mereka yang saling berbalas sampai akhirnya, Adrian menilik wajah Ayunda yang baru ia sadari dirias lebih lembut dari malam sebelumnya.
“Sayang sekali, kupikir kita bisa bicara lebih banyak soal apa yang ingin aku bagi bersamamu. Aku menyia-nyiakan uangku malam ini.”
Adrian menghela napas panjang lalu menatap langit-langit. Ayunda menilik pria itu yang agak marah dan sedang meredam emosinya. Ia jarang begitu dulu. Pria itu akan berteriak-teriak dan meledeknya kembali atau yang paling menyebalkan membuatnya malu di depan umum.
“Kalau begitu, kamu bisa komplain di bagian slotmu saat ini. Aku akan keluar dan mengatakan pada Venus bahwa kamu kecewa pada pelayananku. Permisi.”
Ayunda mundur lalu berbalik. Seketika ia hendak menarik kenop pintu, Adrian berseru, “Siapa yang memintamu keluar?”
Tangan Ayunda menggantung di udara.
“Berbalik.”
Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengikuti apa yang diperintahkan. Adrian masih dalam sesinya, mungkin sebaiknya ia mengikuti prosedur sampai berakhirnya sesi panjang ini.
Namun, ini terlalu panjang. Kenapa juga harus seperti ini? Apakah Adrian nggak pernah bosan mengerjai dirinya?
“Aku sudah katakan mauku kemarin,” kata Adrian lagi, seakan-akan menjawab pertanyaan yang ada di kepala Ayunda saat ini.
“Apa perlu aku mengulanginya lagi?”
Keduanya kembali bersitatap. Kali ini sama sengitnya.
“Kamu,” cetus Adrian. “Aku mau kamu, Miss A.”
Mata Ayunda menyalang. “Berengsek. Kenapa semua pria berengsek sepertimu selalu saja—“
“—Hah. Bicaramu jadi lebih kasar sejak mundur dari jabatan ketua OSIS, ya?” Adrian mengusap telinga kirinya. “Telingaku sampai berdenyut mendengar suaramu.”
Ayunda melirik daun telinga kiri pria itu yang tidak lagi memakai anting-anting.
“Berhenti membahas mengenai aku—“
“—Tapi aku mau kamu. Serius,” sergah Adrian. “Jadi, berhenti membuatku marah.”
Ayunda menggertakkan giginya. Adrian benar-benar menyebalkan!
“Kalau kamu mau ingin tidur denganku, lakukan segera.”
“Hahaha.” Adrian kembali tertawa. Kali ini lebih singkat.
“Tantangan kemarin bahkan aku melewatkannya. Itu ‘kan benteng yang kamu buat? Kamu pintar sekali. Itu nggak semudah yang aku bayangkan. Lagi pula, bukankah kamu juga nggak ingin tubuhmu ... disentuh?”
Adrian memelankan suaranya diujung kalimat, sesaat pandangannya menyadari tampilan Ayunda saat ini. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Riasan lembutnya, rambutnya bahkan tidak terlalu banyak hiasan, hanya dibuat gelombang di bagian ujung-ujungnya lalu ... gaun itu ....
“Coba berputar,” kata Adrian.
Ayunda mengernyit.
“Ber-pu-tar!” Adrian lantas memaksa wanita itu memutar tubuhnya dengan gerakan cepat sampai akhirnya Ayunda kehilangan keseimbangan dan—
Bruk!
“Aduh, Ian! Apaan, sih?!”
Adrian terkekeh memegang pinggangnya. “Oh, kamu ingat panggilanku?”
Ayunda mendelik dan lekas menjauhkan diri dari Adrian yang masih memegang pinggangnya. “Minggir.”
“Sopan sedikit, dong. Aku, kan, tuanmu sampai tengah malam nanti.”
“Lagian kenapa harus aku, sih? Kenapa kamu booking aku semalaman?”
“Karena kamu Ayunda! Karena kamu—aku nggak bisa tidur, karena kamu juga—Boy bikin aku ketemu kamu!”
Teriakan kalimat itu membuat Ayunda bungkam dalam pikirannya. Keningnya kembali mengernyit. “B-boy?”
Adrian menghela napas panjang lalu mengangguk.
“Jangan bilang kamu kenal Boy?”
Namun, senyum Adrian tampaknya begitu meyakinkan.
“Iya. Boy yang merekomendasikan kamu padaku,” sahut Adrian santai.
“Re-rekomendasi apa?”
“Itu.” Adrian menunjuk tubuh Ayunda.
Wanita lantas menilik tubuhnya. “Berengsek. Kalian berdua sama aja.”
Bersambung ....
Mereka tidak langsung bicara lagi setelah itu. Hanya ada denting sendok di gelas anggur, suara-suara samar dari meja lain, dan jazz Nina Simone yang seperti menyelinap masuk ke dada.Ayunda menarik napas pelan, lalu memainkan lipatan serbet di pangkuannya.“Kamu tahu nggak,” ujarnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan, “waktu kamu bilang kamu suka aku dulu … aku ngerasa takut.”Adrian menoleh, keningnya berkerut lembut. “Takut?”Ayunda mengangguk pelan. “Karena aku pikir, kalau aku percaya kamu, aku bisa kalah. Dan aku benci kalah. Apalagi … kalah sama perasaan sendiri.”Adrian tersenyum miring. “Padahal kamu udah sering bikin aku kalah dalam debat, hukuman, dan kecurian tempat parkir.”“Lagian,” lanjut Ayunda tanpa menggubris lelucon itu, “kamu terlalu bebas. Terlalu … acak. Aku nggak tahu harus naruh kepercayaan itu di mana.”“Sekarang kamu tahu?”Ayunda menatapnya. Wajah Adrian masih sama seperti dulu—t
Restoran itu tersembunyi di lantai atas sebuah gedung tua yang telah disulap menjadi ruang makan bergaya art deco, dengan pencahayaan temaram dan musik jazz lembut yang mengalun pelan. Bukan tempat yang biasa dikunjungi oleh publik figur untuk makan malam bisnis—dan mungkin itu alasan Adrian memilihnya.Ayunda datang tepat waktu, mengenakan dress hitam sederhana yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Wajahnya hanya dipoles tipis, tapi sorot matanya tampak lebih hidup malam itu. Ada gemetar di tangannya ketika ia membuka pintu kaca.Adrian sudah menunggunya di dalam, duduk santai dengan jas abu dan kemeja putih yang digulung di lengan. Ia berdiri ketika melihat Ayunda datang, lalu tersenyum kecil.“Pakaiannya bukan buat wawancara, kan?” seloroh Ayunda, mencoba meredakan ketegangan.“Dan kamu bukan lagi model kampanye yang harus aku evaluasi,” balas Adrian dengan nada yang sama ringan.Mereka duduk. Sesaat hanya suara pisau dan garpu dari
Senja di pelataran rumah sakit berwarna jingga tembaga. Warna yang tak disukai Rose. Ia selalu berpikir warna itu pertanda peralihan yang tak pasti—seperti hidupnya setelah Liam pergi.Hari ini, seperti kunjungan sebelumnya, ia berdiri di balik tiang beton besar di area taman rumah sakit. Tempat favorit pasien yang masih bisa berjalan atau sekadar menghirup udara sore. Dari situ, ia bisa melihatnya.Liam duduk di bangku paling pojok, mengenakan sweater rajut yang terlalu besar dan celana kain abu yang tampak baru. Wajahnya tenang, matanya kosong tapi bahagia. Sesekali tertawa pelan, berbicara dengan seseorang.Rose menggigit bibirnya sendiri. Di tangannya, seikat bunga aster ungu dan secarik surat bersampul hitam.Ia tidak pernah datang langsung. Hanya menitipkan bunga itu di resepsionis. Tapi malam ini, langkahnya nyaris terbawa maju—sebelum hatinya tercekat.Seorang gadis duduk di samping Liam. Usianya sekitar belasan tahun. Wajahnya po
Rose berdiri di depan gedung GAIA. Dari seberang gedung ini, ia memandangi papan iklan digital yang mengganti wajahnya beberapa bulan lalu dengan wajah baru: Ayunda Betari. Miss A. Gadis yang dulu diam-diam menjadi staf wanita malam di lantai kelab miliknya. “Berani sekali dia kembali dengan nama asli,” gumamnya dingin. Dia menggeser layar ponselnya, membuka grup internal Tempus Fugit. Salah satu mantan klien mengirim pesan: “Itu dia, kan? Miss A? Sekarang di Stardust? Gila sih naiknya.” Rose menarik napas tertahan. Ia lantas berbalik dan masuk ke dalam gedung. Sebelum masuk ke ruangannya, ia mengambil beberapa dokumen yang diangsurkan sekretarisnya dan sebuah majalah. “Bu Mirna meminta Anda untuk segera ke ruang rapat, Bu. Ini mengenai majalah MOST.” Rose memandang majalah yang baru diterimanya. Wajah wanita itu sungguh membuat hatinya muak.
Pagi itu, sebuah paket berbungkus rapi dengan segel hitam mengilap tergeletak di depan pintu rumah Ayunda. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan kecil berwarna perak di pojok kanan bawah: MOST — The Woman Issue.Ayunda sempat ragu membukanya, tapi rasa penasaran segera mengalahkan ketakutan. Dengan hati-hati, ia mengupas plastiknya dan mengangkat majalah tebal bercover glossy.Matanya membelalak.Di sana, tepat di halaman depan, dengan latar monokrom minimalis dan judul besar “She Rises Without Permission,” adalah fotonya sendiri. Ayunda Betari. Bukan Miss A. Bukan bayangan masa lalu. Tapi dirinya, yang baru—yang nyata.Ia mengenakan blazer putih dengan wajah menatap langsung ke kamera. Sorot matanya tegas, sedikit dingin, tapi justru itulah yang membuat sampul itu hidup.Tangannya bergetar ketika ia membalik halaman demi halaman. Tulisan dalam majalah itu memuat kisah singkat tentang wajah baru Stardust, bagaimana ia tidak berasal dari agensi mana pun, dan bagaimana keberaniannya me
Boy nyaris tertawa keras usai mendengar kabar mengejutkan soal Adrian Laksana yang ditolak Miss A di masa SMA. “Oh, ya ampun! Ternyata mereka teman semasa SMA?!” Boy menahan diri. Ia melangkah pelan, di saat yang bersamaan Amanda keluar dari pantry dan hampir menabraknya. “Boy?” Amanda memelototinya curiga. “Ngapain kamu?” “Dari balik pintu pantry, dengar kisah cinta masa SMA seseorang yang dramatis banget,” kata Boy dengan seringai nakal. “Nguping, ya?” Amanda berbisik sambil melirik ke arah pintu yang tertutup rapat di belakang punggungnya. Ayunda masih ada di sana dan hendak menelepon adiknya, jadi ia keluar sebentar. “Ehem. Menguping dengan penuh rasa ingin tahu demi riset visual karakter,” jawab Boy santai, lalu mendekat. “Jadi … bener tuh, Adrian pernah ditolak Miss—maksud gue … Ayunda?” Amanda melipat tangan di dadanya, lalu mengangguk pelan. “Waktu SMA. Dan dia cukup konyol buat berani ngakuin perasaannya ke ketua OSIS yang tiap minggu nyita rompi basketnya.” B