Share

Bab 7. Tempus Fugit

Dua malam lalu.

Kelab malam itu agak terpencil di lingkungan kelas atas yang nyaman, menyamar dengan pintu rahasia. Lokasinya sudah begitu dihapal seorang teman karena pekerjaan dan kebutuhan saat ini. Mereka tiba di sebuah pintu yang tertutup rapat tanpa seorang penjaga.

“Tempus fugit ....” 

Pandangan tajam seorang pria mengarang pada pintu berpelat jam pasir dengan sepasang sayap kupu-kupu yang cantik berwarna keemasan. Adrian Laksana, seorang pria yang akan selalu memperhitungkan segala hal termasuk wanita dan tempat yang ia datangi. Wajah tegasnya mengangguk perlahan, mengakui kelab ini cukup filosofis.

“Bukankah itu—menandakan waktu akan terbang ... berlalu dengan indah?”

Temannya—seorang pria yang tampilannya begitu kontras merangkul pundaknya. “Mau membuktikannya?”

Adrian berdecih. Ia melirik pria berambut biru pirus seleher di sampingnya. Sejujurnya, bukanlah kebiasaan baginya untuk membeli kesenangan; kebanyakan wanita dengan senang hati akan melebarkan kaki mereka lebar-lebar untuk dia rayu. Bukan malah memburu mereka seperti ini. Lelaki bodoh mana yang mau merelakan uang mereka dengan segala peraturan menyewa wanita daripada mendatangi mereka di tempat dan waktu yang bebas.

Temannya lantas membawanya masuk dengan menekan sandi di pintu. Adrian mengakui bahwa tempat ini cukup berkelas saat memasukinya.

“Gue yakin banget lo bakal suka tempat ini. Di sini banyak cewek cantik,” kekeh temannya.

Adrian memutar bola matanya, lalu berhenti sambil menenggelamkan satu tangan ke saku pantalon. “Kalau lo mau cari cewek cantik, di kelab-kelab yang kita sering datangi banyak, Boy.”

“Ini beda, Ian.” Pria berambut biru pirus itu mendesis sambil mendorong tubuh temannya untuk kembali berjalan.

“Memesan di sini ada tesnya,” ia bicara lagi.

“Ini kelab atau kantor apa, sih? Gue datang bukan untuk melamar kerja.” Bibir Andrian mencibir penuh decakan.

“Itu—“ Telunjuk Boy mengarah pada hidungnya. “Justru itu. Kita ibaratnya sedang melamar wanita yang akan menemani kita. Mereka yang akan menemani kita bukan sembarang orang. Mereka di sini dididik dan punya keterampilan khusus. Bahkan salah satunya bakal bikin lo nggak akan bisa bernapas dan di kemudian hari ... lo akan datang lagi dan lagi padanya.”

“Bukannya lo bilang gue tadi nggak akan bisa bernapas? Kenapa gue mesti datang lagi?”

Boy menghela napas pendek. “Tunggu sampai lo ketemu kandidat yang gue rekomendasikan buat project kita.”

Mereka kembali berjalan menelusuri koridor dengan pencahayaan rendah. Melewatkan dekor dinding yang penuh kupu-kupu.

“Lo lihat dulu gimana Miss A. Apakah dia cocok buat kita?”

Adrian mengernyit usai mendengar nama asing tercetus dari bibir Boy.

“Jadi ... namanya Miss A?”

Boy mengedikkan bahunya. “Itu cuma nama samaran.”

Mereka pun tiba pada wanita tinggi berpakaian serba hitam khas kantoran yang rapi dan rapat. Riasannya tipis. Wajahnya tegas, begitu pun suaranya.

“Hai, Venus! Kali ini gue datang bukan bawa gaun, melainkan teman.”

Venus mengeluarkan tabletnya. “Selamat datang di Tempus Fugit. Apakah Anda sudah mendaftarkan diri?” Pandangan Venus mengarah pada Adrian. Karena pria itu terlihat asing di matanya.

“Sudah,” jawab Boy.

Adrian menoleh dengan tatapan terkejut pada pria itu.

“Hei.”

“Tenang aja, Bos,” goda Boy, memijat-mijat kedua pundaknya.

Tak beberapa lama Boy membuka akun miliknya dan Adrian. Ponsel mereka terarah ke barcode

Scan barcode success.

“Lo bilang akan ada tes?” bisik Adrian, sesaat memasukkan kembali ponselnya ke saku jas.

“Gue udah ambil hasil tes kesehatan lo bulan lalu dari si Mata Empat.” Boy tersenyum, merujuk pada asisten temannya.

Adrian kembali berdecak. Seketika itu, Venus meminta mereka mengikuti dirinya.

“Percaya sama gue, Ian. Kali ini kita bisa sukses buat project itu. Model yang gue rekomendasikan nggak akan ngecewain lo,” bisik Boy di sela-sela langkah mereka.

“Gue, sih, klop banget, selama gue mengobrol dengan dia, gue lihat gestur dan cara dia berjalan dan bersikap juga tentu aja rancangan gue selalu pas di tubuhnya. Meskipun cewek yang lainnya memakai desain yang hampir serupa, tapi entah kenapa Miss A selalu punya klik sendiri buat setiap rancangan gue. Tapi ... ya, masalahnya ada adalah ... kita nggak bisa sembarangan mendapatkan Miss A.”

Adrian tak mau dengar dulu. Ia harus bertemu dan bicara dengan Miss A. Itu lebih penting. 

“Dan ...,” Boy berbisik lagi, “lo juga bisa booking dia buat ... ehem, tapi ... dia bukan tipe yang gampang dirayu apalagi ditaklukkan.”

Pandangan Adrian bergerak nakal. “Lo pernah nyoba?”

Boy memasang cengirannya, “Pengin, tapi ... kayaknya bakalan awkward.”

Adrian memelotot.

“Sinting,” desisnya.

“Lo lebih sinting. Lo kira gue nggak tahu beberapa model sempat ada main sama lo?”

Bibir Adrian menyeringai kecil. Ia tak membantah atau mengakuinya. Nyatanya, mereka dengan senang hati menyerahkan diri. 

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status