Dua malam lalu.
Kelab malam itu agak terpencil di lingkungan kelas atas yang nyaman, menyamar dengan pintu rahasia. Lokasinya sudah begitu dihapal seorang teman karena pekerjaan dan kebutuhan saat ini. Mereka tiba di sebuah pintu yang tertutup rapat tanpa seorang penjaga.
“Tempus fugit ....”
Pandangan tajam seorang pria mengarang pada pintu berpelat jam pasir dengan sepasang sayap kupu-kupu yang cantik berwarna keemasan. Adrian Laksana, seorang pria yang akan selalu memperhitungkan segala hal termasuk wanita dan tempat yang ia datangi. Wajah tegasnya mengangguk perlahan, mengakui kelab ini cukup filosofis.
“Bukankah itu—menandakan waktu akan terbang ... berlalu dengan indah?”
Temannya—seorang pria yang tampilannya begitu kontras merangkul pundaknya. “Mau membuktikannya?”
Adrian berdecih. Ia melirik pria berambut biru pirus seleher di sampingnya. Sejujurnya, bukanlah kebiasaan baginya untuk membeli kesenangan; kebanyakan wanita dengan senang hati akan melebarkan kaki mereka lebar-lebar untuk dia rayu. Bukan malah memburu mereka seperti ini. Lelaki bodoh mana yang mau merelakan uang mereka dengan segala peraturan menyewa wanita daripada mendatangi mereka di tempat dan waktu yang bebas.
Temannya lantas membawanya masuk dengan menekan sandi di pintu. Adrian mengakui bahwa tempat ini cukup berkelas saat memasukinya.
“Gue yakin banget lo bakal suka tempat ini. Di sini banyak cewek cantik,” kekeh temannya.
Adrian memutar bola matanya, lalu berhenti sambil menenggelamkan satu tangan ke saku pantalon. “Kalau lo mau cari cewek cantik, di kelab-kelab yang kita sering datangi banyak, Boy.”
“Ini beda, Ian.” Pria berambut biru pirus itu mendesis sambil mendorong tubuh temannya untuk kembali berjalan.
“Memesan di sini ada tesnya,” ia bicara lagi.
“Ini kelab atau kantor apa, sih? Gue datang bukan untuk melamar kerja.” Bibir Andrian mencibir penuh decakan.
“Itu—“ Telunjuk Boy mengarah pada hidungnya. “Justru itu. Kita ibaratnya sedang melamar wanita yang akan menemani kita. Mereka yang akan menemani kita bukan sembarang orang. Mereka di sini dididik dan punya keterampilan khusus. Bahkan salah satunya bakal bikin lo nggak akan bisa bernapas dan di kemudian hari ... lo akan datang lagi dan lagi padanya.”
“Bukannya lo bilang gue tadi nggak akan bisa bernapas? Kenapa gue mesti datang lagi?”
Boy menghela napas pendek. “Tunggu sampai lo ketemu kandidat yang gue rekomendasikan buat project kita.”
Mereka kembali berjalan menelusuri koridor dengan pencahayaan rendah. Melewatkan dekor dinding yang penuh kupu-kupu.
“Lo lihat dulu gimana Miss A. Apakah dia cocok buat kita?”
Adrian mengernyit usai mendengar nama asing tercetus dari bibir Boy.
“Jadi ... namanya Miss A?”
Boy mengedikkan bahunya. “Itu cuma nama samaran.”
Mereka pun tiba pada wanita tinggi berpakaian serba hitam khas kantoran yang rapi dan rapat. Riasannya tipis. Wajahnya tegas, begitu pun suaranya.
“Hai, Venus! Kali ini gue datang bukan bawa gaun, melainkan teman.”
Venus mengeluarkan tabletnya. “Selamat datang di Tempus Fugit. Apakah Anda sudah mendaftarkan diri?” Pandangan Venus mengarah pada Adrian. Karena pria itu terlihat asing di matanya.
“Sudah,” jawab Boy.
Adrian menoleh dengan tatapan terkejut pada pria itu.
“Hei.”
“Tenang aja, Bos,” goda Boy, memijat-mijat kedua pundaknya.
Tak beberapa lama Boy membuka akun miliknya dan Adrian. Ponsel mereka terarah ke barcode.
Scan barcode success.
“Lo bilang akan ada tes?” bisik Adrian, sesaat memasukkan kembali ponselnya ke saku jas.
“Gue udah ambil hasil tes kesehatan lo bulan lalu dari si Mata Empat.” Boy tersenyum, merujuk pada asisten temannya.
Adrian kembali berdecak. Seketika itu, Venus meminta mereka mengikuti dirinya.
“Percaya sama gue, Ian. Kali ini kita bisa sukses buat project itu. Model yang gue rekomendasikan nggak akan ngecewain lo,” bisik Boy di sela-sela langkah mereka.
“Gue, sih, klop banget, selama gue mengobrol dengan dia, gue lihat gestur dan cara dia berjalan dan bersikap juga tentu aja rancangan gue selalu pas di tubuhnya. Meskipun cewek yang lainnya memakai desain yang hampir serupa, tapi entah kenapa Miss A selalu punya klik sendiri buat setiap rancangan gue. Tapi ... ya, masalahnya ada adalah ... kita nggak bisa sembarangan mendapatkan Miss A.”
Adrian tak mau dengar dulu. Ia harus bertemu dan bicara dengan Miss A. Itu lebih penting.
“Dan ...,” Boy berbisik lagi, “lo juga bisa booking dia buat ... ehem, tapi ... dia bukan tipe yang gampang dirayu apalagi ditaklukkan.”
Pandangan Adrian bergerak nakal. “Lo pernah nyoba?”
Boy memasang cengirannya, “Pengin, tapi ... kayaknya bakalan awkward.”
Adrian memelotot.
“Sinting,” desisnya.
“Lo lebih sinting. Lo kira gue nggak tahu beberapa model sempat ada main sama lo?”
Bibir Adrian menyeringai kecil. Ia tak membantah atau mengakuinya. Nyatanya, mereka dengan senang hati menyerahkan diri.
Bersambung ....
Sinar sore menelusup melalui celah tirai kaca kantor pusat Stardust. Di ruangan yang luas dan modern, Ayunda duduk kaku di hadapan dua pria yang pernah—dan masih—membolak-balikkan emosinya.Adrian Laksana duduk di seberang, tangan kirinya menopang dagu sementara mata elangnya meneliti setiap gerak-gerik Ayunda. Boy, yang duduk di sebelahnya, justru bersikap jauh lebih santai. Matanya yang jenaka memandangi Ayunda dengan semangat khasnya yang penuh ide-ide liar.“Jadi, kamu benar-benar mau ninggalin Tempus Fugit?” tanya Boy, memecah keheningan yang menegang.Ayunda melirik Adrian sebelum menjawab, “Bukan soal mau atau nggak. Tapi aku … sudah dikeluarkan.” Suaranya datar, nyaris dingin, tapi masih ada sisa luka di sana. Luka yang tak bisa dipoles kosmetik atau disamarkan dengan senyuman.Boy menganga. Ia memandang Adrian terkejut yang sungguhan. Pria itu memelototinya.“Ya. Aku dipecat oleh Rose,” jelas Ayunda gamblang.Adrian mencondongkan tubuhnya. “Dan sekarang kamu bisa mulai
Ayunda menatap layar ponselnya lama. Ada satu nama yang selama bertahun-tahun hanya ia kutuk dalam hati—Adrian Laksana, atau yang dulu ia kenal dengan panggilan Ian. Pria yang menghancurkan hidupnya, tapi kini satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya keluar dari keterpurukan ini.Ia menarik napas dalam-dalam. Lalu menekan tombol panggil.“Halo?”Suara itu. Dalam. Dingin. Tidak berubah sedikit pun.“Aku… Ayunda.”“Ya. Aku tahu.”Hening. Jantung Ayunda berdetak keras, nyaris menyakitkan.“Aku cuma mau bicara.”Klik.Telepon ditutup. Begitu saja.Tak lama, saat ponsel masih menempel di telinga Ayunda, sebuah mobil datang dan berhenti tepat di samping gadis itu. Matanya masih basah.Adrian menurunkan kaca mobil, tanpa diminta Ayunda naik tanpa bicara. Adrian hanya meliriknya singkat hingga gadis itu duduk di sampingnya.“Ke mana kita?” Ayunda bertanya pelan.“Tempat tenang. Aku nggak mau kita berteriak.”Ucapan itu sontak membuat senyum tipis terbentuk di bibir Ayund
Musik menghentak dari balik pintu merah beludru yang bertuliskan Tempus Fugit. Dunia malam belum sepenuhnya hidup, tapi para staf sudah mulai bersiap. Di balik cermin panjang ruang ganti, Ayunda—atau yang malam selalu berubah menjadi Miss A—memasang wajah yang tak lagi asing: riasan sempurna, gaun pas tubuh, dan senyum palsu yang telah ia latih bertahun-tahun.Namun malam ini, tidak ada senyum di matanya.“Miss A, kamu nggak libur minggu ini,” ucap Venus tanpa basa-basi. “Poin kamu turun drastis.”Ayunda hanya mengangguk. Ia sudah tahu. Kesalahannya minggu lalu—saat kliennya ke toilet dan membantu Snow White berujung penalti. Di dunia ini, waktu dan perhatian adalah uang. Dan ia sudah melanggar aturan emasnya.Di lorong belakang panggung, para wanita lain sibuk memoles diri—berdandan dan tertawa, tapi semuanya palsu. Persaingan di sini tajam, lebih tajam dari heels sepuluh senti yang mereka pakai.Tapi Ayunda bisa merasakan bisik-bisik yang tak pernah benar-benar berhenti sejak inside
Ayunda melangkah masuk lobi rumah sakit besar yang belakangan menampung ibunya yang sakit-sakitan. Sejak bertemu Rose, Ayunda merasa tertolong sekali. Beruntungnya dia bekerja di tempat wanita itu lantas memulai kesepakatan untuk terjun di Tempus Fugit.Dia berhasil memindahkan ibunya ke rumah sakit terbaik di kota ini dengan biaya yang cukup mahal. Tentu semua ada biayanya, dan Ayunda sadar bahwa ini memang yang harus ia lakukan demi ibunya bisa tetap hidup.“Kak Ayunda!” Adinda berseru di lorong saat dia tiba di dekat bangsal yang cukup mewah untuk ibunya. Gadis belia itu terlihat senang melihat kehadiran Ayunda.“Katanya Kakak nggak bisa datang,” Adinda mencebik.“Ah, iya. Tapi kakak hanya mampir sebentar. Ada pekerjaan lagi setelah ini.”“Kakak pakai blazer?” Adinda lebih tertarik dengan pakaian baru yang dilihat melekat pada tubuh Ayunda. “Apakah kakak bekerja di tempat lain sekarang? Itukah alasan kenapa kakak sangat sibuk belakangan ini?”Mata gadis belia itu sungguh berb
“Udah denger kabar, belum? Ketua OSIS kita yang sok perfeksionis itu ternyata nilep duit dari dana amal acara sekolah kemarin.”“Serius??”“Iya.”“Hari ini dia bahkan dipanggil kepala sekolah. Nggak tahu deh gimana, dipecat kali, atau mungkin dilaporin polisi.”“Nggak nyangka, kok bisa, ya? Jahat banget.”“Dia mungkin nggak pernah ngeliat uang sebanyak itu.”“Eh, denger-denger sih, katanya dia sengaja ngambil uang itu untuk biaya berobat ibunya di rumah sakit.”“Hahh??”“Sampai sebegitunya?”“Nggak heran, sih. Dia kelihatan kampungan, kalaupun bukan karena beasiswa dia juga nggak bisa masuk sekolah ini, kan?”***“Ayunda! Semua orang bicara yang nggak-nggak tentang kamu.”“Biar aja.”Manda kebingungan menghibur temannya yang terasa makin menjauh darinya. Dia juga makin bingung yang mana yang benar. Semua bukti dikatakan nyata oleh OSIS. “Apa semua yang mereka katakan benar begitu, Ayunda? Apa benar kamu ….”Ayunda menatap Manda agak lama, lalu tersenyum tipis. “Menurutm
“Aku sudah memberikannya pada Ayunda.” Egi kembali membela diri usai Surya terus mendesaknya.“Baiklah, baiklah, kita akhiri aja dan cari Ayunda. Masalah ini nggak bisa dibiarkan berlarut-larut,” kata Surya.“Lebih baik lo cari Ayunda dan kalian bicarakan ini secepatnya,” saran Adrian.Surya menoleh pada yang lainnya, meminta persetujuan. Mereka semua mengangguk.“Kita berdiam diri di sini aja juga nggak menghasilkan apa-apa.” Surya pun akhirnya menyetujui Adrian untuk pergi mencari Ayunda. “Oke, tapi lo harus ikut gue cari Ayunda.”“Sialan, gara-gara dia gue nggak bisa istirahat,” keluh Adrian.“Apa boleh buat. Peran lo di sekolah ini lebih dari Ayunda,” sahut Surya.Adrian pun mau tidak mau mengikuti ke mana Surya melangkah. Tujuan mereka pertama adalah kelas Ayunda, tapi gadis itu tidak ada di sana. Sementara itu, dari area gymnasium, tim lawan baru saja keluar diiringi pendukungnya. Adrian yang melihat kerumunan lawan timnya berhenti dengan cepat. Ada sesuatu yang mencuri