Share

Kebohongan

Aku tersenyum licik. Membayangkan apa yang akan Mas Naufal lakukan tanpa dompet dan seluruh kartu kreditnya ini.

Sepertinya malam ini aku bisa tidur nyenyak, karena telah menang telak dari Mas Naufal. Ia tak akan bisa berkutik tanpa dompet dan seluruh isinya. Kecuali jika gundiknya itu yang membayar semua tagihan hotel. Aku menyeringai.

Baru saja aku ingin memejamkan mataku, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu depan pelan. Aku menajamkan pendengaranku, jika itu Mas Naufal ia akan langsung masuk ke dalam rumah karena satu kunci rumah telah di bawanya. Lalu, itu siapa?

Aku turun dari atas ranjang dan berjalan mengendap untuk melihat siapa yang telah mengetuk pintu rumahku selarut ini. Kulirik jam yang tertempel di dinding. Pukul sepuluh malam.

Jantungku hampir saja keluar dari tempatnya, ketika aku melihat sosok suami idamanku tengah berdiri dengan gundiknya. Kuacungi jempol pada kedua manusia itu. Berani sekali Mas Naufal membawa wanita jalang itu ke rumah kami.

Aku mengacak sedikit rambutku, dan menyipitkan mataku agar terlihat seperti orang yang sedang bangun tidur. Lalu membukakan pintu untuknya.

"Mas Naufal, katanya tidak pulang," ucapku pura-pura bodoh.

Wajahnya terlihat sangat pucat, begitupun dengan gundiknya itu. Sepertinya ia takut jika aku curiga dengannya.

"Dompetku hilang, Dek. Jadi tidak bisa pergi, jadi aku memutuskan untuk membatalkan acara dan pulang saja,"

"Lalu? Dia siapa?"

Mas Naufal melirik Kirani sekilas, lalu mendekat kearahku dan merangkul pundakku yang memakai piyama panjang.

"Dia Kirani, sepupu jauhku. Tadi aku bertemu dengannya di stasiun. Katanya dia baru saja di PHK, dan tidak tahu harus kemana. Jadi aku memutuskan untuk mengajaknya ke rumah. Bolehkan kalau sementara dia tinggal di rumah ini, Dek?" ucap Mas Naufal setengah memohon.

Aku memandang Kirani dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jika di lihat, ia tampak begitu polos. Tapi mengapa wanita sepolos dia bisa merebut suami orang? Aneh!

"Boleh. Tapi tidak lama, kan?

Lewat ekor mataku, aku bisa melihat bibir Kirani mengerucut.

"Em ... Iya, tidak akan lama," jawab Mas Naufal ragu-ragu.

Aku lantas menyuruh Mas Naufal mengantarkan Kirani ke dalam kamar tamu yang ada di seberang kamarku dan Mas Naufal. Memang sengaja aku tak mengikuti mereka sampai di kamar tamu, karena aku ingin menguji Mas Naufal. Sampai di mana keberaniannya.

Lima menit, sepuluh menit, hingga dua puluh menit. Mas Naufal tak juga masuk ke dalam kamar, aku lantas berdiri dan keluar untuk memastikan keberadaannya. Kamar Kirani terlihat tertutup rapat. Mungkinkah Mas Naufal ada di dalam? Tapi, seberani itukah dia?

Ketika aku mengendap untuk mendengarkan apakah Mas Naufal ada di dalam sana, terdengar samar-samar suara dari arah dapur. Aku lantas membatalkan rencana semula dan berbelok ke arah dapur.

"Mas, gara-gara kamu, nih. Jam segini aku belum makan, mana harus tinggal serumah sama istrimu. Bisa mati berdiri aku kalau sampai dia tahu kalau aku ini juga istrimu," ucap Kirani marah pada Mas Naufal. Aku memilih bersembunyi di balik tembok dapur agar mereka tak mengetahui keberadaanku.

"Ya mana aku tahu, dompetku tiba-tiba saja hilang. Lagian kamu juga boros banget, semua uang yang aku berikan tak pernah ada sisa, jadi dalam keadaan seperti ini kita pasti kalang kabut,"

"Pokoknya aku harus cepat keluar dari sini, belikan aku rumah baru." Rengek Kirani tak tahu malu.

"Nanti aku usahakan, ya. Tapi yang kecil saja, jangan seperti kemarin. Ujung-ujungnya disita lagi, karena aku tak mampu membayar,"

Kirani menghela nafas panjang, lalu melipat kedua tangannya di atas dadanya.

Aku terkekeh tanpa suara ketika mendengar obrolan mereka. Rasakan sendiri, berani macam-macam di belakangku. Apalagi ketika melihat Mas Naufal membuat mie instan untuk gundiknya itu. Sungguh lucu, seumur hidup bersamaku. Tak sekalipun ia mau menyentuh barang-barang dapur. Dan kini, ia diperalat oleh gundiknya.

Tak menunggu lama aku pun segera masuk kembali ke dalam kamar, agar Mas Naufal tak mencurigaiku.

Satu jam berlalu, barulah Mas Naufal masuk ke dalam kamar lalu naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya di sampingku. Aku memilih tidur memunggunginya agar ia tak tahu bahwa aku masih terjaga. Beberapa menit kemudian aku mendengar dengkuran halus dari mulutnya, menandakan bahwa ia telah tertidur pulas.

Dengan sangat hati-hati aku mengambil dompet Mas Naufal yang ada di dalam tas kerjaku, lalu mengeluarkan seluruh uang cash dan kartu-kartunya. Memasukkan semua barang itu ke dalam kantung plastik dan menyimpannya di dalam lemari bajuku, lalu meletakkan dompet itu kembali ke dalam tas dan menyusulnya untuk tidur juga.

***

"Dek, aku pinjam uang dong. Bensinku habis," ucap Mas Naufal saat kami tengah sarapan.

Kulihat Kirani diam membisu menikmati roti tawar dan selai cokelatnya.

Aku lantas membuka tas kerja dan mengeluarkan dua lembar uang merah lalu menyerahkan padanya.

"Masa cuma segini, Dek. Mana cukup?"

"Hanya beli bensin, kan? Itu sudah lebih dari cukup, Mas. Nanti siang aku akan mengurus semua kartu-kartu dan identitasmu yang hilang. Jika sudah sampai akan aku kirimkan ke kantormu." Kataku sembari berdiri dan menuju dapur untuk menyimpan piring kotorku.

Aku lantas berpamitan pada Mas Naufal untuk pergi ke kantor terlebih dahulu. Sedang Kirani berangkat bersama Mas Naufal. Biarlah, yang penting aku tak mengeluarkan banyak uang untuk mereka berdua. Sejauh yang aku tahu, Kirani hanyalah seorang pegawai toko biasa. Jadi gajinya tak akan cukup untuk membiayai hidupnya yang sok mewah itu.

***

Aku tetap menyuruh Vina untuk mengawasi setiap gerak-gerik Mas Naufal. Tapi tentunya pekerjaan itu tak luput dari bayaran, memang tak ada yang gratis di dunia ini.

[Bu, Pak Naufal pergi meninggalkan kantor. Beliau bilang ingin makan siang]

Sebuah pesan singkat Vina kirimkan padaku. Aku lalu melirik arlojo yang terpasang di pergelangan tanganku. Pukul setengah dua belas siang. Memanh waktu yang pas untuk makan siang.

Aku lantas mengecek GPS yang terpasang pada ponsel Mas Naufal, untuk mengetahui di mana Mas Naufal berada.

Perumahan Citra.

Senyum licik tersungging di bibirku. Aku lantas memacu pedal gasku untuk segera menyusul Mas Naufal di sana. Kebetulan perumahan itu sangat dekat dengan sebuah restoran jepang kesukaanku.

Kulihat Mas Naufal tengah berbincang dengan pemilik perumahan itu dengan Kirani. Aku mengamatinya dari kejauhan, menunggu waktu yang tepat untuk menghampirinya.

Saat aku rasa waktunya sudah tepat, aku pura-pura jalan ke arah restoran dan melihat mereka berdua yang tengah bernegosiasi dengan pemilik rumah.

"Mas Naufal!" Teriakku dari jarak kurang lebih seratus meter.

Mereka sontak menoleh ke arahku. Wajah Mas Naufal dan Kirani terlihat sangat pucat, namun hal itu menjadi hiburan tersendiri untukku.

"Kenapa ada di sini, Mas?"

"Mau cari rumah?" tanyaku beruntun.

Mas Naufal celingukan, wajahnya pias.

"I ... Iya, Dek. Untuk Kirani."

Aku memicingkan mata.

"Kirani? Bukankah dia hanya sepupu jauh? Kenapa kamu yang mencarikan rumah? Biarkan dia tinggal bersama kita sementara waktu, Mas. Sampai dia bisa beli rumah sendiri,"

"Lagi pula memang kamu punya uang? Bukankah semua uang dan kartumu hilang? Baru saja aku mengurusnya. Lagian kamu juga harus ingat bahwa kita harus berhemat untuk masa depan kita," ucapku tak henti membuat nyali Mas Naufal menciut seketika.

Ia menghela nafas panjang, lalu mengajak Kirani untuk mengikutiku masuk ke dalam restoran jepang.

Yes! Akhirnya satu rencana busuk mereka bisa aku gagalkan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status