"Tinggalkan rumah ini, atau aku akan menyeretmu keluar dengan tidak terhormat!" Teriakku kasar pada gundik suamiku ini.Wajah Mas Naufal memerah, ia terlihat sangat marah dengan sikapku. Mungkin karena ia sangat mencintai wanita yang tengah berseteru denganku ini. Namun aku sungguh tak perduli, jika ia memang memilih wanita ini. Aku akan mundur. Untuk apa aku mempertahankan sebuah hubungan yang pada akhirnya hanya akan menyakitiku? Bukankah lebih baik aku melepaskannya saja? Toh mungkin ini sudah menjadi garis takdir Tuhan, bahwasannya aku harus berpisah dengan Mas Naufal dengan cara seperti ini.Mungkin sikap dan caraku selama ini menjadi istrinya tak menjadikannya puas memiliku, sehingga dia masih bersikeras untuk mendua dariku. Padahal selama ini aku sudah berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik dan penurut baginya. Namun entah kenapa dia masih saja bersikap seperti itu."Zia! Tidak seharusnya kamu bersikap sekeras ini." Teriak Mas Naufal.Aku menatapnya nanar setelah ia me
Aku terkekeh pelan dan melenggang masuk kedalam kamar. Namun lagi-lagi aku tak akan percaya begitu saja dengan perkataan Kirani."Kenapa kamu bicara begitu? Bahkan aku sama sekali belum menyentuhmu, memang kamu hamil sama siapa?" tanya Mas Naufal lirih, tapi aku masih mendengarnya karena memang"Menyesal aku punya suami bodoh sepertimu. Jika aku tidak berbohong, mana mungkin istri tuamu itu mengijinkanku tinggal di rumah ini." Umpat Kirani marah lalu berlalu masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu keras.Untuk kesekian kalinya aku tertawa puas dengan pertunjukan ini. Bagaimanapun juga aku tidak boleh kalah dengan ular berbisa sepertinya.Mereka bisa mengelabuhiku, tapi mereka tidak akan bisa mengalahkanku. Mana mungkin aku kalah dengan mereka? Tuhan pun pasti tak akan merestui langkahnya.***"Ra, carikan aku informasi tentang Kirani sekarang juga. Dan pastikan itu adalah data yang akurat, ya," ucapku pada Aira pada sambungan telepon.Aira memang seorang yang sangat bisa aku a
Pov Naufal"Mas kita harus gimana setelah ini? Orang tuaku kini telah tahu yang sebenarnya, Mbak Zia benar-benar telah murka. Tidak menutup kemungkinan dia juga akan melaporkanmu dengan tuduhan memalsukan data-data pernikahan," cecar Kirani ketika kami sedang perjalanan pulang dari kediaman orang tuanya.Tak hanya dia, saat ini pun aku sedang kebingungan. Pikiranku berkecamuk, rasa ingin marah seakan sudah di ubun-ubun. Namun aku sadar, marah pun tak akan menyelesaikan masalah."Sudahlah, diam. Berikan aku waktu untuk berfikir, kepalaku serasa mau meledak," bentakku yang berhasil membungkam mulutnya yang tak berhenti mengoceh sedari tadi.Sifat Zia dan Kirani benar-benar bertolak belakang. Jika Zia lebih memilih banyak diam tapi langsung bertindak, tapi Kirani sangat banyak bicara yang kadang membuatku sangat tak nyaman. Pikiranku kacau, setelah kutahu bahwa Zia tak main-main dengan ancamannya. Ia telah berbuat nekat hingga mendatangi rumah orang tua Kirani dan membeberkan semuanya.
Pov Nauval IISetelah tak mendapati Zia di kamar dan setiap sudut ruangan di rumah, tanpa menunggu lama lagi aku lantas keluar dan menuju halaman belakang. Di sana merupakan tempat favorit Zia sedari pertama kali kami pindah ke rumah ini. Di sana lah Zia menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengurus beberapa tanaman bunga kesukaannya. Ya, istriku itu memang sangat menyukai bunga bahkan sebelum kami menikah.Dan benar saja, perkiraanku memang tak meleset, ia tengah menyiangi rumput yang meninggi di antara bunga-bunga miliknya. Peluh menetes deras di dahinya. Namun meski begitu, hal itu tak membuatnya terlihat buruk, justru membuatnya semakin mempesona. Wajah ayu Zia masih terlihat meski ia sedang dalam keadaan seperti itu. Andai aku tak gelap mata, Smsebenarnya istriku sudah lebih dari cukup untuk memuaskan mata dan hatiku. Dia memiliki wajah yang cantik, tubuh yang putih dan sangat pandai merawatku. Namun, pesona Kirani juga sangat memabukkanku. Dia sangat pandai membuaiku dalam segala
Kuhempaskan tubuhku keatas ranjang kamar setelah mengusir gundik tak tahu diri itu. Biar saja, aku memang sengaja meluapkan emosi yang sudah tak bisa kubendung lagi. Entah setelah itu Mas Naufal mengantarnya entah kemana, aku sungguh tak peduli lagi. Yang kurasakan kini hanyalah sebuah rasa puas karena telah memberi pelajaran kepada wanita seperti dia.Wanita seperti Kirani harus paham jika aku bukan seorang istri yang mudah terkalahkan oleh seorang gundik sepertinya. Enak saja, dia mau langsung masuk ke dalam kehidupan suamiku sedangkan saat susah saja bersamaku.Dua jam berlalu dan kudengar suara deru mobil Mas Naufal memasuki pekarangan rumah. Aku lantas menarik selimut dan pura-pura tidur. Pikiranku menerawang jauh setelah sebelumnya aku berhasil menemukan kediaman Kirani dan mengatakan kebenarannya pada kedua orang tuanya."Maaf, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang lelaki paruh baya yang sepertinya adalah ayah Kirani.Aku tersenyum manis pada mereka, lalu mengeluarkan
Belum sempat aku sampai di rumah, aku memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah swalayan untuk membeli beberapa perlengkapan yang telah habis. Baru setelah itu aku pulang ke rumah tapi tak menemukan keberadaan Mas Naufal dan Kirani. Dadaku bergemuruh, mungkinkah mereka tengah liburan? Mengingat bahwa hari ini adalah akhir pekan, mungkin bisa saja mereka sedang liburan.Aku memutuskan untuk mengurus tanaman hiasku yang sempat terabaikan karena masalahku dan Mas Naufal. Menyiangi rumputnya dan mengganti beberapa pot yang telah rusak. Hingga sampai akhirnya Mas Naufal pulang dan mencariku.Awalnya aku tak mengira jika dia mencariku hanya untuk membicarakan tentang kedua orang tua Kirani. Sepertinya beberapa saat yang lalu mereka pergi ke rumah Kirani dan mendapat wejangan dari kedua orang tuanya. Syukurlah, ternyata pengorbananku untuk jauh-jauh mendatangi kediaman Kirani berbuah hasil juga. Dan semoga saja usahaku untuk memisahkan mereka berhasil.Aku benar-benar tak akan rela jika Ma
"Hamil? Kamu hamil anak siapa? Anak kodok? Bahkan Mas Naufal belum menyentuhmu barang sesenti pun. Iya kan?" ucapku telak. Membuat wajahnya pias. Dia fikir aku bisa di kelabuhi, tapi dia lupa jika aku lebih ulung darinya.Kirani mendelik kearahku, lalu membusungkan dada seakan menantangku. Sudah jelas dia bersalah, tapi justru menantang seperti itu. Menjengkelkan sekali."Siapa bilang? Dia sudah menyentuhku, dan kini aku tengah hamil anaknya," ucapnya tak mau kalah, tapi hal itu justru membuatku tertawa."Oh, ya? Baiklah, kita tunggu saja kapan anak kodokmu itu akan lahir," jawabku sembari menyeringai. Dengan keras kepalanya dia mengatakan demikian, dia seakan ingin menguasai Mas Naufal seutuhnya.Tanpa tahu malu dia menerobos masuk dan langsung menyambar makanan yang tersedia di meja makan. Mas Naufal pun juga hanya diam membisu mendengar pertengkaran kami. Sungguh pria seperti itu tidak pantas untuk menjadi suami dari dua istri."Mas, uangku habis. Nanti transfer, ya?" ungkap Kirani
Tak kudapatkan lagi balasan darinya setelah itu, mungkin dia takut untuk bermain-main lagi denganku karena jika sampai aku tak memberinya uang maka ia tak akan bisa menghidupi gundiknya itu. Biarkan saja, setidaknya sekarang dia tahu jika aku ini tak sebodoh yang ia kira.Tak berselang lama sebuah pesan singkat masuk kembali ke dalam ponselku. Namun disana tertera nomor baru yang masih asing untukku.Gegas aku membukanya dan membaca pesan yang baru saja masuk itu.[Jangan karena kamu menguasai semua pendapatan Mas Naufal, lantas kamu bisa memisahkannya dariku. Apapun yang terjadi dia juga sah sebagai suamiku]Aku memutar bola mata malas. Tanpa tertera nama pun bisa kupastikan bahwa itu adalah nomor gundik tak tahu diri itu.Kita lihat saja wahai gundik. Siapa yang akan menang pada akhirnya. Mungkin sekarang kamu bisa tertawa atas kemenangan hati suamiku, tapi besok aku lah yang akan berganti menertawakanmu atas kecerobohanmu yang sudah berani mengusik hidupku.Bukan karena aku terlalu