Tiba di rumah. Dava menghentikan laju mobilnya di teras depan, dia keluar dari mobil lebih dulu, lalu berjalan ke belakang mobil, mengeluarkan koper dari bagasi."Habis ini kamu harus istirahat, ya." Dava bicara seraya menutup kembali pintu bagasi, lalu menyerahkan kunci mobil kepada security untuk memarkirkan mobilnya di garasi."Iya, akhir-akhir ini aku capek. Mungkin karna terlalu sibuk menyembuhkan luka," terdapat nada sindiran dari kalimat yang diucapkan.Dava diam sebentar, lalu mengikuti langkah kaki Hanum dari belakang, berjalan masuk ke dalam rumah. Saat akan naik ke lantai atas, Hanum langsung menghentikan langkah kakinya."Kenapa?" tanya Dava."Nara nggak pernah tidur di kamar aku, kan?" Balik bertanya. Pandangannya terus menatap ke atas. Di dalam kepalanya saat ini hanya ada bayangan Nara dan Nara. Sahabat baiknya saat masih kuliah, berubah seratus delapan puluh derajat setelah Hanum menikah dengan Dava, pria yang digadang-gadang disukai oleh Nara jauh sebelum bertemu deng
Hanum melihat isi pesan yang dikirim oleh Nani kepada Dava. Dia menutup laptopnya, berdiri, lalu pergi. Dava tau istrinya saat ini sedang kesal karena pesan yang dikirim sang ibu. Tanpa membalas pesan, Dava memasukkan handphonenya ke dalam saku celana, lalu mengejar Hanum."Tunggu, Num."Hanum terus berjalan seolah tidak mendengar. Dia kesal sang mertua masih saja ikut campur permasalahan di keluarganya. Sudah membuat putranya menikah lagi secara paksa, sekarang masalah waktu saja masih ikut campur. Menerima dipoligami saja sudah sulit, ditambah menerima sikap Nani.Jangan berharap bisa hidup dengan tenang selama hidup berumah tangga masih diganggu oleh salah satu keluarga. Terutama orang tua yang selalu ikut campur, yang tadinya bukan masalah saja bisa menjadi masalah, masalah kecil saja bisa menjadi besar, apa lagi masalah besar? Celakalah."Tunggu sebentar, Sayang." Terus mengikuti langkah kaki sang istri dari belakang. Menaiki anak tangga menuju lantai dua."Kamu balesin dulu aja
Sudah terlanjur berada di situasi tidak enak, sudah terlanjur tertakdir menjadi seorang istri yang dituntut patuh kepada suami, sepanjang suami tidak meminta ia mendustakan agamanya, sepanjang suami tidak melakukan penistaan terhadap agamanya. Dava tidak melakukan itu dan walaupun dia sudah melakukan kesalahan dengan menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya, Dava memiliki alasan kuat."Jangan biarkan Nara mengambil kesempatan dalam kesempitan, Num. Kenyataannya kalian bertiga sudah berada dalam lingkaran yang sama, jangan sampai lu kalah karena mengikuti hawa nafsu."Kalimat yang Gina utarakan melalui pesan terakhir, sehingga Hanum bersedia memakai baju tidur super seksi pemberian dari Gina."Apakah aku terlihat aneh?" tanya Hanum masih berdiri di ujung pintu akses menuju balkon yang sudah dalam posisi terbuka."Nggak. Kamu cantik, kok.""Aku terpaksa pakai baju ini loh, Mas. Bukan karena kamu, cuma menghargai pemberian Gina aja. Nggak enak kan kalau aku nggak mau pakai. Sekali lagi i
Kejadian semalam sungguh luar biasa. Dava merasa dirinya harus berterima kasih kepada Gina, karena semua terjadi berkat dirinya yang menghadiahi Hanum baju tidur seksi, juga ramuan cinta yang membuat Hanum memintanya melakukan lagi dan lagi bahkan Dava sendiri merasa aneh dan tentunya ia merasa sangat puas."Siang, Pak." Nara mengetuk pintu untuk yang kesekian kalinya karena tidak mendapat jawaban. Suami sekaligus atasannya itu saat ini sedang senyam-senyum sendiri seperti orang kasmaran."Mas Dava!" Kali ini ia memanggil seraya menutup kembali pintu ruangan, lalu berjalan menuju meja kerja Dava dengan anggun."Ra? Kenapa?" Dava membetulkan posisi duduknya menjadi tegak. Bolpoin yang sempat ia jatuhkan di atas meja, diambilnya lagi."Pagi-pagi bengong. Kenapa sih?" Nara berdiri di depan meja kerja Dava sambil menenteng buku agenda."Nggak kok, siap yang bengong," jawab Dava masih menyunggingkan senyum dari sudut bibirnya.Nara diam, menatap wajah Dava dengan tatapan menyelidiki. Sebet
Nara: Pesta? Pesta apa, Bu?Dava yang saat ini sedang minum pun melihat ke arah Nara, dalam hati ia berkata, "Ah, Ibu. Pasti ibu ngajak Nara juga deh." Selesai minum, ia meletakkan gelasnya di atas meja.Nara: Ikut?Dia mengulang ajakan Nani.Nani: Iya ikut.Nara: Mas Dava nggak ngajakin.Nara terus melihat ke arah Dava yang saat ini sedang mengambil satu jenis menu makanan, lalu dituangkan ke atas piringnnya.Nani: Kan ada ibu yang ajak.Nara: Nggak deh, Bu. Takut Mas Dava keberatan, kan nanti ada Hanum juga.Nani: Nggak, Dava nggak akan keberatan. Coba deh sekarang kamu tanya, boleh nggak kamu ikut ke pasar sama ibu?Mendapatkan perintah dari sang mertua, Nara pun menyampaikan pertanyaan seperti yang diperintahkan. "Mas Dava, ibu bilang malam ini ada pesta.""Iya, kenapa emangnya?" Dava merespon tanpa melihat ke arah Nara, tangannya sibuk mengaduk-aduk makanan di atas piring."Ibu ngajak aku ke pesta, boleh aku ikut?""Aku datang sama Hanum, kamu tau apa resikonya?""Ya udah kalau a
Pertanyaan sepele tetapi cukup mengguncang jiwa Dava terutama Hanum. Pertanyaan yang selalu dilontarkan setiap kali berkumpul dengan siapa pun. Mau itu saudara atau teman-teman.Tidak ingin terlihat tidak baik-baik saja, Dava pun menjawab apa adanya. "Belum, Pak. Allah belum menitipkannya.""Oh, nggak apa-apa ya, Pak Dava. Waktu masih panjang untuk kalian berjuang. Baru tiga tahun pernikahan, banyak yang sudah sepuluh tahun menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak, tetapi mereka tetap Istikomah, berdoa, dan berusaha." Pria itu menepuk bahu Dava."Iya, Pak. Kami berdua juga ini lagi usaha, kok.""Semoga berhasil ya, Pak. Percayalah, tidak ada usaha yang sia-sia di mata Tuhan, walaupun sampai sekarang doa kita belum dikabulkan, Tuhan pasti sedang menyiapkan kado lebih indah dari yang kita harapkan.""Aamiin, semoga aja ya, Pak.""Yang penting selalu romantis ya, Pak Dava. Jangan sampai gara-gara keturunan, kita malah melakukan hal yang tidak-tidak, apa lagi sampai harus menduak
"Nara berhenti!" titah Dava mengikutinya dari belakang. Dia terus mengejar berjalan melewati koridor yang entah akses menuju ke mana.Nara tidak perduli, dia terus berjalan sambil membawa segelas minuman beralkohol tinggi di tangannya."Nara, please buang minuman itu!""Apa perduli kamu?""Minuman itu berbahaya buat tubuh kamu."Nara berhenti saat melewati pintu yang mana pada daun pintu tersebut terdapat gambar tangga. Iya, pintu itu adalah akses tangga darurat. Nara masuk ke dalam sana, Dava pun mempercepat langkahnya juga ikut masuk ke dalam sana. Saat ia akan menuruni anak tangga, Nara menahan dengan menarik tangan Dava."Aku di sini."Dengan deru napas yang memburu setelah berlari, Dava berdiri di depan Nara."Kamu tuh ngapain sih, Ra?" seru Dava dengan dahi mengerut."Ngapain apaan? Aku nggak ngapa-ngapain. Yang seharusnya nanya itu aku, bukan kamu. Kamu ngapain ngikutin aku sampai ke sini?""Kamu nggak sadar atas apa yang udah kamu lakuin? Ngapain kamu minum minuman beralkohol?
Terkejut atas pertanyaan Viola, Dava pun diam, lalu Hanum menyenggol bahunya. "Kenapa diem? Kamu habis ketemu sama Nara di belakang?""Ng-nggak, kok," jawabnya terbata. "Kamu tanya sendiri aja sama orangnya."Tidak perlu ditanyakan pun Nara sudah mendengarnya. "Nggak ko, Num. Aku habis keluar Nerima telepon, nggak tau Pak Dava habis dari mana." Tidak seperti Dava, Nara menjawab pertanyaan Hanum dengan lugas."Iya, kan?" ucap Dava.Walau ada sedikit rasa curiga, Hanum pun memilih percaya dari pada harus berdebat. "Ya udah.""Kita pergi ke sana, yuk! Aku mau nyapa temen sekolah aku. Kamu mau ikut?" ajak Dava."Oke, kita ke sana. Nafas aku terasa sesak ada di sini." Hanum menjawab sambil melihat ke arah Nara dengan tatapan membunuh."Ayo."Hanum melingkarkan tangan pada lengan Dava, mereka berjalan ke sisi lain meninggalkan Nani dengan Nara. Lebih tepatnya menghindar dari mereka berdua.***Satu Minggu berlalu, sore ini Dava pulang ke rumah Nara dan dari sejak kemarin Hanum mempersiapkan