Sudah terlanjur berada di situasi tidak enak, sudah terlanjur tertakdir menjadi seorang istri yang dituntut patuh kepada suami, sepanjang suami tidak meminta ia mendustakan agamanya, sepanjang suami tidak melakukan penistaan terhadap agamanya. Dava tidak melakukan itu dan walaupun dia sudah melakukan kesalahan dengan menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya, Dava memiliki alasan kuat."Jangan biarkan Nara mengambil kesempatan dalam kesempitan, Num. Kenyataannya kalian bertiga sudah berada dalam lingkaran yang sama, jangan sampai lu kalah karena mengikuti hawa nafsu."Kalimat yang Gina utarakan melalui pesan terakhir, sehingga Hanum bersedia memakai baju tidur super seksi pemberian dari Gina."Apakah aku terlihat aneh?" tanya Hanum masih berdiri di ujung pintu akses menuju balkon yang sudah dalam posisi terbuka."Nggak. Kamu cantik, kok.""Aku terpaksa pakai baju ini loh, Mas. Bukan karena kamu, cuma menghargai pemberian Gina aja. Nggak enak kan kalau aku nggak mau pakai. Sekali lagi i
Kejadian semalam sungguh luar biasa. Dava merasa dirinya harus berterima kasih kepada Gina, karena semua terjadi berkat dirinya yang menghadiahi Hanum baju tidur seksi, juga ramuan cinta yang membuat Hanum memintanya melakukan lagi dan lagi bahkan Dava sendiri merasa aneh dan tentunya ia merasa sangat puas."Siang, Pak." Nara mengetuk pintu untuk yang kesekian kalinya karena tidak mendapat jawaban. Suami sekaligus atasannya itu saat ini sedang senyam-senyum sendiri seperti orang kasmaran."Mas Dava!" Kali ini ia memanggil seraya menutup kembali pintu ruangan, lalu berjalan menuju meja kerja Dava dengan anggun."Ra? Kenapa?" Dava membetulkan posisi duduknya menjadi tegak. Bolpoin yang sempat ia jatuhkan di atas meja, diambilnya lagi."Pagi-pagi bengong. Kenapa sih?" Nara berdiri di depan meja kerja Dava sambil menenteng buku agenda."Nggak kok, siap yang bengong," jawab Dava masih menyunggingkan senyum dari sudut bibirnya.Nara diam, menatap wajah Dava dengan tatapan menyelidiki. Sebet
Nara: Pesta? Pesta apa, Bu?Dava yang saat ini sedang minum pun melihat ke arah Nara, dalam hati ia berkata, "Ah, Ibu. Pasti ibu ngajak Nara juga deh." Selesai minum, ia meletakkan gelasnya di atas meja.Nara: Ikut?Dia mengulang ajakan Nani.Nani: Iya ikut.Nara: Mas Dava nggak ngajakin.Nara terus melihat ke arah Dava yang saat ini sedang mengambil satu jenis menu makanan, lalu dituangkan ke atas piringnnya.Nani: Kan ada ibu yang ajak.Nara: Nggak deh, Bu. Takut Mas Dava keberatan, kan nanti ada Hanum juga.Nani: Nggak, Dava nggak akan keberatan. Coba deh sekarang kamu tanya, boleh nggak kamu ikut ke pasar sama ibu?Mendapatkan perintah dari sang mertua, Nara pun menyampaikan pertanyaan seperti yang diperintahkan. "Mas Dava, ibu bilang malam ini ada pesta.""Iya, kenapa emangnya?" Dava merespon tanpa melihat ke arah Nara, tangannya sibuk mengaduk-aduk makanan di atas piring."Ibu ngajak aku ke pesta, boleh aku ikut?""Aku datang sama Hanum, kamu tau apa resikonya?""Ya udah kalau a
Pertanyaan sepele tetapi cukup mengguncang jiwa Dava terutama Hanum. Pertanyaan yang selalu dilontarkan setiap kali berkumpul dengan siapa pun. Mau itu saudara atau teman-teman.Tidak ingin terlihat tidak baik-baik saja, Dava pun menjawab apa adanya. "Belum, Pak. Allah belum menitipkannya.""Oh, nggak apa-apa ya, Pak Dava. Waktu masih panjang untuk kalian berjuang. Baru tiga tahun pernikahan, banyak yang sudah sepuluh tahun menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak, tetapi mereka tetap Istikomah, berdoa, dan berusaha." Pria itu menepuk bahu Dava."Iya, Pak. Kami berdua juga ini lagi usaha, kok.""Semoga berhasil ya, Pak. Percayalah, tidak ada usaha yang sia-sia di mata Tuhan, walaupun sampai sekarang doa kita belum dikabulkan, Tuhan pasti sedang menyiapkan kado lebih indah dari yang kita harapkan.""Aamiin, semoga aja ya, Pak.""Yang penting selalu romantis ya, Pak Dava. Jangan sampai gara-gara keturunan, kita malah melakukan hal yang tidak-tidak, apa lagi sampai harus menduak
"Nara berhenti!" titah Dava mengikutinya dari belakang. Dia terus mengejar berjalan melewati koridor yang entah akses menuju ke mana.Nara tidak perduli, dia terus berjalan sambil membawa segelas minuman beralkohol tinggi di tangannya."Nara, please buang minuman itu!""Apa perduli kamu?""Minuman itu berbahaya buat tubuh kamu."Nara berhenti saat melewati pintu yang mana pada daun pintu tersebut terdapat gambar tangga. Iya, pintu itu adalah akses tangga darurat. Nara masuk ke dalam sana, Dava pun mempercepat langkahnya juga ikut masuk ke dalam sana. Saat ia akan menuruni anak tangga, Nara menahan dengan menarik tangan Dava."Aku di sini."Dengan deru napas yang memburu setelah berlari, Dava berdiri di depan Nara."Kamu tuh ngapain sih, Ra?" seru Dava dengan dahi mengerut."Ngapain apaan? Aku nggak ngapa-ngapain. Yang seharusnya nanya itu aku, bukan kamu. Kamu ngapain ngikutin aku sampai ke sini?""Kamu nggak sadar atas apa yang udah kamu lakuin? Ngapain kamu minum minuman beralkohol?
Terkejut atas pertanyaan Viola, Dava pun diam, lalu Hanum menyenggol bahunya. "Kenapa diem? Kamu habis ketemu sama Nara di belakang?""Ng-nggak, kok," jawabnya terbata. "Kamu tanya sendiri aja sama orangnya."Tidak perlu ditanyakan pun Nara sudah mendengarnya. "Nggak ko, Num. Aku habis keluar Nerima telepon, nggak tau Pak Dava habis dari mana." Tidak seperti Dava, Nara menjawab pertanyaan Hanum dengan lugas."Iya, kan?" ucap Dava.Walau ada sedikit rasa curiga, Hanum pun memilih percaya dari pada harus berdebat. "Ya udah.""Kita pergi ke sana, yuk! Aku mau nyapa temen sekolah aku. Kamu mau ikut?" ajak Dava."Oke, kita ke sana. Nafas aku terasa sesak ada di sini." Hanum menjawab sambil melihat ke arah Nara dengan tatapan membunuh."Ayo."Hanum melingkarkan tangan pada lengan Dava, mereka berjalan ke sisi lain meninggalkan Nani dengan Nara. Lebih tepatnya menghindar dari mereka berdua.***Satu Minggu berlalu, sore ini Dava pulang ke rumah Nara dan dari sejak kemarin Hanum mempersiapkan
"Tunggu, Gin!" Hanum meminta Gina jangan dulu membalas pesan Dava.Jari Gina langsung berhenti mengetik, lalu bertanya, "Kenapa?""Nara chat gue, Gin. Lu liat deh dia bilang apa." Hanum menunjukkan pesan dari Nara."Loh, dia kok bilang kayak gitu? Itu artinya mas Dava nggak lagi sama Nara," ucap Gina setelah selesai membaca."Nah iya, kan? Coba deh gue yang chat dia."Hanum mulai mengetik pesan yang akan ia kirim kepada Dava yang berisi,Hanum: Kamu di mana, Mas?Pesan yang Hanum kirim memang berhasil terkirim, bahkan sudah terbaca oleh Dava. Setelah menunggu beberapa menit, Hanum kembali mengirim pesan yang berisi,Hanum: Jawab aku, Mas. Kamu di mana sekarang?Tidak seperti pesan pertama, pesan kedua yang Hanum kirim malah tidak berhasil terkirim."Nggak terkirim, Gin. Coba deh gue telepon."Hanum coba menghubungi nomor suaminya melalui sambungan telepon, tetapi gagal karna ada suara operator yang menjawab. Memberikan keterangan kalau nomer yang dia hubungi sedang di luar jangkauan.
Setelah berada di kamar, Hanum menangis sejadi-jadinya. Dia menjatuhkan dirinya di balik pintu, bersandar sambil menutup wajah dengan tangannya."Aku nggak kuat, Ya Allah. Aku nggak bisa seperti ini, aku nggak sanggup." Terus menangis meraung meratapi nasib rumah tangganya yang hancur berantakan hanya karena keegoisan mertua.Mendengar suara suara mesin mobil menyala, Hanum berlari ke atas balkon, menyaksikan mobil suaminya berlalu pergi meninggalkan rumah. Air mata yang sudah jatuh sejak tadi, tidak bisa berhenti mengalir. Hanum kembali menjatuhkan tubuhnya, menangis meraung sambil duduk di lantai balkon.Tidak lama setelah itu seseorang mengetuk pintu kamar, lalu pintu tersebut terbuka. Tanpa dipersilahkan, orang itu masuk ke dalam kamar, lalu menghampiri Hanum."Hanum," panggil Gina sambil berjalan masuk."Gina?"Kondisi Hanum saat ini sangat kacau. Gina berlari menghampiri Hanum, lalu membawa ia ke dalam pelukannya."Gina. Sakit banget, Gin. Hati gue sakit banget." Terus Hanum men