LOGIN“Nyonya, akhirnya pulang.”
Bi Uti menatap Savita lega. Savita hanya membalas ucapan itu dengan anggukan.
Sepanjang perjalanan, Savita hanya melamun hingga tidak sadar tadi gang rumahnya terlewat beberapa meter yang membuat dia akhirnya berjalan kaki sedikit lebih jauh.
“Nya, saya lihat berita mengenai Tuan Besar.” Bi Uti berkata pelan. Ada keraguan terdengar di suaranya. Bi Uti menatap Savita iba. “Nyonya sudah dengar belum?” tanya Bi Uti pelan.
“Ya, Bi.” Savita membalas pertanyaan itu. Matanya berkaca-kaca ketika dia berusaha menyembunyikan dukanya. “Mahendra sudah pulang, Bi?” tanyanya.
Bi Uti menggeleng. “Tuan belum pulang, Nya. Kaivan juga belum.”
Savita menghela napas pelan. Setidaknya masih ada kelegaan di dalam dirinya walau sedikit. Dilangkahhkan kakinya masuk ke dalam rumah denga
“Pa?”Layar menghitam. Pembicaraan terputus sampai di situ karena ponsel yang digunakan Savita ternyata mati kehabisan baterai.Savita menghela napas memikirkan apa yang dikatakan Bagas tadi siang sebelum dia pergi ke pengadilan agama untuk mengurus semua surat perceraiannya.Diletakkan ponsel milik Citra itu di meja lalu diisi dayanya. Dia berada di dalam kamar milik orang tuanya. Tidak ada yang berani masuk ke kamar itu termasuk Mahendra.“Savita? Tante boleh masuk?”Terdengar ketukan di pintu kamar itu lalu pintu terbuka. Savita sedang duduk di atas tempat tidur ketika Ami masuk seraya tersenyum tipis padanya. Di tangannya terdapat camilan berupa pisang goreng dan teh manis.“Tante bawa cemilan. Mau?”Savita bangkit menghampiri Ami. “Nggak usah repot-repot, Tante. Nanti aku ke dapur.”
“Akhirnya.”Savita meletakkan tasnya di ata tempat tidur. Dia masih berada di rumah keluarganya. Savita mendadak leluasa jika di rumah orang tuanya sendiri. Berbeda jika sudah di rumahnya. Dia tidak bisa bergerak seolah-olah ada kaki dan tangan yang memantaunya dari kejauhan.“Kukirim Siti ke rumah orang tuamu untuk bantu kamu.”TIba-tiba Mahendra mengatakan itu padanya pada pagi hari ketika Savita membantu Ami untuk membuatkan sarapan di dapur. Rumah keluarganya masih ramai kedatangan saudara dan kerabat. Mereka datang silih berganti untuk sekedar menunjukkan rasa simpatinya.Savita ingin menolak karena menurutnya tidaklah penting Siti di dalam rumah orang tuanya. Rumah itu sudah ada asisten rumah tangga yang bekerja walau datang dan pergi.Akan tetapi, dia tahu, jika dia menolak, nantinya Mahendra akan mengamuk padanya ketika sampai rumah mereka sendiri.
“Mamamu orang baik, Savita.”Begitulah yang dikatakan para kerabat dan tetangga yang mengantar kepergian Citra untuk terakhir kalinya.Mahendra selalu ada di sisi Savita. Pria itu menunjukkan pada saudara dan kerabat bahwa dia suami yang penyayang dan selalu melindunginya. Hingga Bagus dan Ami yang termasuk saudara dekat pun sangat percaya dan meminta Mahendra untuk menjaga Savita.Savita tidak bisa berkata apa pun karena Mahendra benar-benar tidak menunjukkan kekerasan di depan umum ataupun di rumah Citra. Pria itu benar-benar menjaga sikapnya dengan baik pada semua orang.Walau begitu, ponsel Savita tidak sepenuhnya diberikan oleh Mahendra pada wanita itu. Savita hanya boleh memegang ponsel itu ketika bersama dengan Mahendra. Selebihnya Mahendra selalu membawanya.“Saya cuma mau Savita nggak mikir yang aneh-aneh, Tante, kalau pegang HP.”
“Pak. Bagaimana kondisi Bu Savita?”“Pak Mahendra, bagaimana dengan kesehatan Bu Savita?”“Pak, apakah Anda sudah menemui Pak Bagas?”Berbagai pertanyaan itu muncul ketika Mahendra keluar dari kediaman keluarga Arrazka tanpa Savita. Savita meminta untuk tetap tinggal di rumah orang tuanya sambil menerima beberapa tamu keluarga atau tetangga yang datang melayat.Mahendra tersenyum. Dia berdiri tegak di depan para reporter yang mencari berita. “Savita saat ini kondisinya seperti yang saya bilang tadi, masih nggak stabil. Dia terpukul sekali.”Mahendra mengatakan itu dengan raut wajah sedih dan perhatian yang sungguh dia buat-buat.“Pak Mahendra, bisa dijelaskan kronologi meninggalnya Bu Citra?”“Pak, bagaimana kabarnya Kaivan?”Mahendra masih tersen
“Kenapa Anda ke rumah sakit, Bu Savita?”Mahendra melangkah maju dengan posisi tubuhnya di depan Savita. Pria itu berusaha melindungi Savita dari serangan apa pun. Itu membuat Savita sejenak melupakan sikap pria itu padanya. Itu mengingatkannya saat Mahendra selalu menjadi pahlawan untuknya.“Sudah, sudah,” kata Mahendra tegas.Kerumunan sedikit hening.“Urusan hukum Papa Bagas bukan urusan istri saya,” lanjut Mahendra. Suaranya tenang, Namun, ada nada keras di sana. “Savita berduka. Tolong hormati itu, ya. Tanyakanlah ketika nanti kami sudah membaik.”Reporter wanita mengangkat mikrofon lebih dekat pada Mahendra. Matanya menatap pria itu penasaran.“Pak Mahendra,” panggilnya, “ada isu kalau Bu Savita selama ini tahu aliran dana yang—”“Fitnah,” ucap
“Savita?”Suara Mahendra disertai ketukan pintu di kamar membuat Savita segera duduk di atas tempat tidurnya. Dia menyeka air matanya. Kedua matanya bengkak. Dia ingin sekali melihat Citra. Sudah lama dia tidak berkomunikasi dengan Mamanya tersebut.“Mau apalagi dia?” gumam Savita setengah menggerutu. “Enggak cukup dia hancurkan semuanya?” tambahnya lalu berdiri dari duduknya.“Savita? Kamu tidur?”Mahendra mengetuk pintu lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Hanya dalam waktu satu jam, pria itu sudah datang lagi ke depan pintu kamar Savita setelah sebelumnya mengatakan akan istirahat.“Iya, sebentar!”Savita menjawab dengan sedikit lebih keras. Dibuka pintu kamar itu perlahan. Savita memandang Mahendra dengan kedua mata bengkaknya.“Ada apa?” tanya Savita masih menatap Mahendra.Diperhatikannya Mahendra yang memakai pakaian serba hitam.“Kutunggu di ruang tamu,” ucap Mahendra tanpa mau dibantah.“Ke mana?”Savita tidak mengerti jalan pikiran Mahendra. Pria itu tiba-tiba saja me







