Ratna duduk di depan meja riasnya. Dia menatap wajahnya yang sembab. Meski kemarin dia sempat merelakan Bastian, kini hatinya terasa berat. Rasa sakit di hatinya semakin menjadi, kala mengetahui suaminya masih saja memendam rasa pada Laras. Padahal sudah sekian lama. Bukan hanya satu atau dua tahun, tetapi lebih dari dua puluh tahun. Meskipun Bastian hanya memendam rasa, tetap saja dirinya merasa dikhianati.Ratna memandangi pantulan wajahnya di cermin. Jari-jarinya mengelus pelan pipinya yang basah karena tangis semalam. Pipi yang mulai menua karena usia. Di balik sorot matanya yang lelah, ada bara dendam yang mulai menyala.“Kalau aku terus diam, mereka akan menginjak-injak harga diriku,” gumamnya pelan. Tangannya meraih kotak perhiasan kecil yang ada di laci meja rias. Namun bukan kalung atau cincin yang dia cari. Di bawah tumpukan perhiasan itu, terselip sebuah kartu nama tua, nama seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang dulu pernah berdiam di hatinya. Seseorang yang kini mun
“Tetap dipaksa nikah sama Axel,” jawab Alya sambil menghempaskan dengan lembut bobot tubuhnya di atas ranjang. Kedua kakinya dinaikkan dan duduk bersila di atas ranjangnya. “Hmm, ya sudahlah. Berarti memang jodohnya,” kata Reza. Dahi Alya mengernyit mendengarnya. “Abang nggak mau perjuangin?”“Perjuangin apa?” “Ya Audi.”“Untuk apa?” Alya menghela nafas. Tak tahu, apa Reza benar-benar tak mengerti maksudnya, atau hanya sekedar pura-pura saja. “Memang Abang nggak ada gitu, getar-getar perasaan sama Audi?” Reza yang menelepon Alya di teras rumahnya, berdiri lalu duduk di tembok pembatas teras yang hanya setinggi pinggangnya saja. Dia duduk sambil menatap bintang di langit yang kelam. “Ya biasa aja,” katanya.“Padahal aku pikir Abang mulai naksir sama dia.” “Belum bisa secepat itu.” Sesaat keadaan menjadi hening. Dia tau, apa yang Reza maksudkan. Sama seperti dirinya, yang belum bisa benar-benar melupakan Reza sebagai kekasih. Namun, perasaannya dipaksa harus menerima kenyataan
Audi melihat papanya dengan mata berkaca-kaca. Dia tak mungkin melawan, tetapi hatinya menolak untuk menerima. Akhirnya, Audi memutuskan keluar dari kamar rawat Axel. Sampai di luar, langkahnya tergesa keluar dari rumah sakit. Air matanya sudah mulai menggenang. Dia tak peduli, saat banyak mata yang memperhatikan dirinya. Sampai di luar, Audi langsung memesan taksi online. Beruntung, taksi yang dipesan cepat datang. Begitu masuk ke dalam taksi dan driver memastikan lokasi tujuan, tangis Audi pecah. Si driver hanya bisa melihat dari kaca spion. Dia mengira Audi baru ditimpa kemalangan karena baru keluar dari rumah sakit. Sepanjang jalan Audi tak bicara. Hanya suara isak tangisnya yang sesekali masih terdengar. Tujuannya kali ini, ke rumah Alya. Begitu sampai, Audi mencoba untuk bersikap biasa saja. Dia tak mau terlihat habis menangis di depan keluarga Alya. Setelah memencet bel, Ratna yang buka. “Assalamualaikum, Tante,” sapa Audi mencoba sambil memamerkan senyumnya. “Waalaikumsa
Sepanjang jalan Axel terus menggerutu. Dia kesal, malu juga tak tau harus menjawab apa kalau nanti orang tuanya bertanya. Pastinya Audi akan mengatakan pada orang tuanya kalau dia tak mau menikah dengan Axel. “Kurang ajar kamu Reza!” teriaknya sambil memukul setir mobilnya sendiri. Mobil melaju kencang menerobos jalanan malam yang lengang. Lampu-lampu jalanan berkelebatan seperti bayangan malam yang menakutkan. Kedua tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, napasnya memburu."Kamu sudah hancurin semuanya, Reza," gumamnya, suaranya berat, penuh dendam. "Kali ini, giliran aku yang akan ngambil semuanya darimu."Axel melihat hapenya, perhatiannya terbelah, antara hape dan jalan. Dia mencari kontak Naura. Beberapa kali melakukan panggilan, tetapi panggilannya justru ditolak. Hal itu membuat Axel geram.Lelaki itu membanting ponselnya ke kursi penumpang sambil mendengus kasar.“Si al, si al, si al!” makinya terus menerus Ia semakin menginjak pedal gas, kecepatannya naik drastis, menyusu
Wajah tunangan Audi tampak menjadi pucat ketika Reza mengatakan kenal dengan dirinya. Audi melihatnya. Audi merasa kalau pernah ada masalah antara Reza dan lelaki yang akan menjadi calon pendamping hidupnya itu. “Bagaimana kabarmu, Axel?” tanya Reza sambil mendekat.Pemuda pemilik mata elang itu mengulurkan tangannya, tetapi tubuh Axel terasa kaku hingga tak menyambut uluran tangan Reza. Reza hanya tersenyum sinis seraya menggenggam angin. Audi memandang wajah tunangannya itu. “Apa kalian pernah ada masalah?” tanyanya. “Eh ….” Axel agak bingung menjawab pertanyaan Audi. Mimik wajah Axel tak bisa berbohong, dia panik, tetapi berusaha untuk disembunyikan.“Harusnya tidak.” Reza yang menjawab pertanyaan Audi. Kini ketiga pasang mata mengarah pada Reza. “Kami dulu bersahabat, sangat dekat. Bukan sebentar, tapi dari sejak masa masih kuliah,” jelas Reza. “Dulu?” tanya Alya dengan dahi mengerut. “Berarti sekarang, nggak lagi?” “Dia yang jadi musuh dalam selimut,” kata Reza dengan tenan
“Ya Mama juga nggak yakin. Tapi kan, kamu yang menjalani, jadi kamu berhak menolak. Jangan asal terima saja,” kata Ratna.“Kita lihat nanti aja. Siapa tau kan, calon yang dipilihkan Kakek memang baik,” balas Alya. Ratna berhenti mengunyah dan melihat saja Alya.“Apa kamu bisa secepat itu move on?” tanya Ratna yang seperti tak percaya. “Kalau jadiannya aja bisa cepat banget, kenapa move on nya nggak bisa cepat, Ma. Lagian, Bang Reza itu kan, bukan nyakiti Alya. Hikmahnya, Alya jadi punya Abang,” jawab Alya seperti tak ada beban. Ratna masih menatap putrinya, mencoba membaca ekspresi di balik senyum tipis yang ditampilkan Alya. Tetapi, seperti biasa, gadis itu terlalu pandai menyembunyikan isi hatinya.“Jangan cuma karena kamu ingin terlihat kuat, kamu jadi membohongi perasaan sendiri,” ucap Ratna pelan, hampir seperti gumaman.Alya tertawa kecil. “Mama nggak usah khawatir. Alya nggak sekuat itu kok. Cuma … daripada terus mikirin hal yang udah lewat, mending Alya fokus ke hal yang bi