POV ALYA
Papa menarik tanganku dengan kasar sampai ke mobil, terpaksa aku ikut karena Papa menarikku sangat kuat. Sempat aku melihat Audi yang kebingungan, lalu gegas menuju motornya.
Papa membuka pintu, dan mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil.
“Diam di dalam!” bentak Papa.
Sebenarnya aku masih marah. Saking marahnya, dadaku rasa bergemuruh. Mungkin lebih baik aku ikut Papa pulang sekarang. Aku tandai wajah wanita itu, awas aja kalau dia berani lagi ganggu Papa. Aku nggak akan tinggal diam. Aku pasti akan buat perhitungan sama dia.
Sebelum masuk ke mobil, aku masih sempat melihat Papa melihat wanita itu. Wanita itu mengusap pipinya yang basah, tetapi tatapannya fokus padaku. Aku tahu, meski kaca jendela mobil memakai kaca film. Dia malah abai dengan tatapan Papa.
“Maafkan Alya,” kata Papa padanya, perempuan itu balik badan, dan langsung jalan masuk ke rumahnya, mengabaikan tatapan sinis para tetangga.
Audi memberi kode padaku, kalau dia jalan lebih dulu.
Papa masuk dan menutup pintu mobil dengan keras. Aku tahu, Papa pasti marah padaku. Tapi, bodo amat lah. Aku nggak mungkin tinggal diam kalau ada perempuan lain yang mau merusak kebahagiaan keluargaku.
“Buat apa Papa minta maaf sama dia?” tanyaku dengan nada ketus pada Papa. “Seharusnya dia yang minta maaf!”
“Diam! Papa nggak pernah mendidik kamu jadi anak yang kurang ajar sama orang tua!” hardik Papa.
“Tapi Papa juga selalu ngajarin Alya, untuk mempertahankan apa yang menjadi milik Alya!” sengitku tak mau kalah. “Alya nggak mau, perempuan itu menghancurkan keluarga kita!”
“Dia perempuan baik-baik! Bukan yang kayak kamu pikirkan!”
“Nggak ada perempuan baik-baik yang mau jadi selingkuhan!” tangkisku.
“Kamu semakin kurang ajar! Kamu akan menyesal!”
“Nggak akan! Selama dia masih ganggu Papa, Alya nggak akan pernah tinggal diam!”
“Kamu–” Papa tak meneruskan kata-katanya, tetapi aku tau, dia sangat marah karena aku terus membantahnya.
Aku diam. Bukan karena takut, tetapi karena mengatur emosiku sendiri.
Sepanjang jalan, tak ada lagi yang bicara. Papa hanya diam, kelihatan sekali kalau wajahnya suntuk dan marah padaku.
Sampai di rumah, aku langsung saja masuk tanpa mengucap salam. Kuabaikan Mama yang sedang duduk di ruang keluarga.
Aku masuk ke kamar, dengan membanting pintu kamar.
“Alya kenapa, Pa?” Aku mendengar Mama bertanya pada Papa.
Tak kudengar jawaban dari Papa. Aku hanya mendengar suara pintu dibuka, lalu ditutup kembali. Pasti Papa masuk ke kamarnya.
Aku duduk dengan wajah kesal di atas ranjang. Papa yang selama ini jadi idolaku, ternyata sama aja dengan cowok lain.
Sampai sekarang aku belum menemukan lelaki yang tepat untuk menjadi pasangan, meski sekedar pacaran. Sebab, aku menjadikan Papa sebagai model laki-laki idaman.
Ganteng, mapan, sayang keluarga, berkharisma, begitulah penilaianku terhadap Papa. Hingga sulit bagiku menemukan laki-laki sepertinya. Laki-laki yang kukenal, kebanyakan redflag. Ya, meskipun Papa juga nggak terlalu romantis dan manis dalam bersikap sama Mama, paling tidak, Papa setia. Begitulah penilaianku selama ini.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sendiri. Aku masih marah, bahkan sangat kecewa sama Papa.
Pikiranku berkecamuk. Apa aku harus memberi tahu Mama? Mama pasti akan sangat hancur, kalau tau apa yang sudah dilakukan oleh Papa.
Ponselku bergetar di atas meja. Aku meraihnya dengan cepat. Audi.
[Kamu nggak papa?] pesan dari Audi.
Aku langsung membalas pesannya dengan cepat.
[Menurut kamu?]
[Ya aku masih kesel lah]
[Aku mau cari tau soal perempuan itu]
Tak lama, Audi membalas pesanku.
[Aku temani]
Aku enggan membalas lagi. Kuletakkan saja hapeku di dekat bantal.
Tok tok tok
Pintu kamarku diketuk.
“Al.” Mama yang memanggil.
Dengan malas, aku bangkit dan membukakan pintu untuk Mama.
“Kamu kenapa sama Papa?” tanya Mama begitu pintu terbuka.
“Mama tanya Papa aja,” jawabku.
Rasanya tak tega kalau aku yang bicara sama Mama. Aku juga ingin tahu, apa Papa bisa jujur sama Mama kalau ditanya.
“Papa lagi mandi. Mama ingin tahu versi kamu dulu,” desak Mama.
Nggak. Aku nggak akan kasih tau Mama dulu. Aku tak bisa melihat Mama sedih dan terluka. Biar aku aja yang urus perempuan itu, tanpa melibatkan Mama.
Aku menghela napas dan berusaha tersenyum, meski terasa dipaksakan.
"Gak ada apa-apa, Ma. Alya cuma capek," jawabku singkat.
Mama menatapku, jelas tidak percaya. Aku tahu Mama cukup peka, tapi aku juga tahu kalau Mama tipe yang nggak akan memaksa kalau aku belum siap bicara.
"Kalau ada apa-apa, cerita sama Mama, ya?" katanya lembut.
Aku mengangguk kecil. "Iya, Ma."
Mama masih menatapku sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan beranjak pergi. Begitu pintu tertutup, aku langsung menjatuhkan diri ke kasur, menatap langit-langit dengan perasaan penuh amarah.
~~~~~
Pagi hari, wajahku masih ditekuk kala melihat Papa. Aku masih kesal dengannya. Aku yakin, Papa pasti nanti mau nemui perempuan itu. Pasti mau minta maaf. Cowok kan gitu kalau lagi jatuh cinta.
Kalau aja bukan karena janjiku yang mulai hari ini akan kerja di kantor Papa, aku malas sarapan bareng.
“Ada apa sebenarnya?” Suara Mama memecah keheningan di meja makan.
Dari pertanyaan Mama, aku yakin, Papa juga nggak cerita sama Mama.
Aku bangkit, untuk menghindari Mama.
“Alya, duduk!” tegas Mama. Jiwa pemimpinnya seketika meronta kalau sudah begini. “Berapa kali Mama bilang. Jangan pernah meninggalkan masalah tanpa menyelesaikannya terlebih dahulu.”
Aku menarik nafas dalam, dan terpaksa duduk lagi. Papa diam saja, tampak tenang, seperti tak ada kejadian apa-apa.
“Sekarang cerita, ada apa sebenarnya?” tanya Mama lagi.
“Mama tanya sama Papa,” kataku tetap bersikeras tak mau memberitahu Mama.
“Mama mau kamu yang jawab,” kata Mama. Tatapannya langsung ke mataku. Kalau sudah begini, sulit sekali menghindar dari Mama.
“Papa selingkuh!” sungutku sambil melirik sinis pada Papa.
Mama melihat Papa. Anehnya, kenapa Papa terlihat sangat tenang? Papa sama sekali tidak menepis tudinganku. Berarti benar, yang kulihat semalam.
~~~~~~~~
Laras jalan keluar dari mini market. Gatot yang sengaja mengikuti, menggegas langkah kakinya.“Maaf,” seru Gatot membuat Laras reflek menoleh. Dahi Laras mengernyit melihat lelaki itu memanggil dirinya. “Saya masih merasa bersalah dengan yang tadi,” kata Gatot. Dahi Laras mengernyit, menurutnya Gatot terlalu berlebihan. Tak ada yang salah perihal yang baru saja terjadi. Biasa saja, kalau kebetulan orang mengambil benda yang sama di sebuah mini market. “Nggak papa. Nggak ada masalah,” kata Laras, lalu segera berlalu. Gatot justru merasa tertantang melihat sikap Laras. Lagipula, meski sudah berumur paruh baya, Laras masih sangat menarik. Meski tubuhnya dari atas hingga ke bawah tertutup, daya tariknya tak pudar. Laki-laki itu berlari kecil mengejar Laras. “Boleh kita berkenalan, saya Gatot,” kata pria itu sambil mengulurkan tangan. Laras melihat tangan Gatot, lalu hanya meletakkan sebelah tangannya di dada sambil sedikit menunduk. Tangannya yang satu sedang menenteng barang belanj
Ratna duduk di depan meja riasnya. Dia menatap wajahnya yang sembab. Meski kemarin dia sempat merelakan Bastian, kini hatinya terasa berat. Rasa sakit di hatinya semakin menjadi, kala mengetahui suaminya masih saja memendam rasa pada Laras. Padahal sudah sekian lama. Bukan hanya satu atau dua tahun, tetapi lebih dari dua puluh tahun. Meskipun Bastian hanya memendam rasa, tetap saja dirinya merasa dikhianati.Ratna memandangi pantulan wajahnya di cermin. Jari-jarinya mengelus pelan pipinya yang basah karena tangis semalam. Pipi yang mulai menua karena usia. Di balik sorot matanya yang lelah, ada bara dendam yang mulai menyala.“Kalau aku terus diam, mereka akan menginjak-injak harga diriku,” gumamnya pelan. Tangannya meraih kotak perhiasan kecil yang ada di laci meja rias. Namun bukan kalung atau cincin yang dia cari. Di bawah tumpukan perhiasan itu, terselip sebuah kartu nama tua, nama seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang dulu pernah berdiam di hatinya. Seseorang yang kini mun
“Tetap dipaksa nikah sama Axel,” jawab Alya sambil menghempaskan dengan lembut bobot tubuhnya di atas ranjang. Kedua kakinya dinaikkan dan duduk bersila di atas ranjangnya. “Hmm, ya sudahlah. Berarti memang jodohnya,” kata Reza. Dahi Alya mengernyit mendengarnya. “Abang nggak mau perjuangin?”“Perjuangin apa?” “Ya Audi.”“Untuk apa?” Alya menghela nafas. Tak tahu, apa Reza benar-benar tak mengerti maksudnya, atau hanya sekedar pura-pura saja. “Memang Abang nggak ada gitu, getar-getar perasaan sama Audi?” Reza yang menelepon Alya di teras rumahnya, berdiri lalu duduk di tembok pembatas teras yang hanya setinggi pinggangnya saja. Dia duduk sambil menatap bintang di langit yang kelam. “Ya biasa aja,” katanya.“Padahal aku pikir Abang mulai naksir sama dia.” “Belum bisa secepat itu.” Sesaat keadaan menjadi hening. Dia tau, apa yang Reza maksudkan. Sama seperti dirinya, yang belum bisa benar-benar melupakan Reza sebagai kekasih. Namun, perasaannya dipaksa harus menerima kenyataan
Audi melihat papanya dengan mata berkaca-kaca. Dia tak mungkin melawan, tetapi hatinya menolak untuk menerima. Akhirnya, Audi memutuskan keluar dari kamar rawat Axel. Sampai di luar, langkahnya tergesa keluar dari rumah sakit. Air matanya sudah mulai menggenang. Dia tak peduli, saat banyak mata yang memperhatikan dirinya. Sampai di luar, Audi langsung memesan taksi online. Beruntung, taksi yang dipesan cepat datang. Begitu masuk ke dalam taksi dan driver memastikan lokasi tujuan, tangis Audi pecah. Si driver hanya bisa melihat dari kaca spion. Dia mengira Audi baru ditimpa kemalangan karena baru keluar dari rumah sakit. Sepanjang jalan Audi tak bicara. Hanya suara isak tangisnya yang sesekali masih terdengar. Tujuannya kali ini, ke rumah Alya. Begitu sampai, Audi mencoba untuk bersikap biasa saja. Dia tak mau terlihat habis menangis di depan keluarga Alya. Setelah memencet bel, Ratna yang buka. “Assalamualaikum, Tante,” sapa Audi mencoba sambil memamerkan senyumnya. “Waalaikumsa
Sepanjang jalan Axel terus menggerutu. Dia kesal, malu juga tak tau harus menjawab apa kalau nanti orang tuanya bertanya. Pastinya Audi akan mengatakan pada orang tuanya kalau dia tak mau menikah dengan Axel. “Kurang ajar kamu Reza!” teriaknya sambil memukul setir mobilnya sendiri. Mobil melaju kencang menerobos jalanan malam yang lengang. Lampu-lampu jalanan berkelebatan seperti bayangan malam yang menakutkan. Kedua tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, napasnya memburu."Kamu sudah hancurin semuanya, Reza," gumamnya, suaranya berat, penuh dendam. "Kali ini, giliran aku yang akan ngambil semuanya darimu."Axel melihat hapenya, perhatiannya terbelah, antara hape dan jalan. Dia mencari kontak Naura. Beberapa kali melakukan panggilan, tetapi panggilannya justru ditolak. Hal itu membuat Axel geram.Lelaki itu membanting ponselnya ke kursi penumpang sambil mendengus kasar.“Si al, si al, si al!” makinya terus menerus Ia semakin menginjak pedal gas, kecepatannya naik drastis, menyusu
Wajah tunangan Audi tampak menjadi pucat ketika Reza mengatakan kenal dengan dirinya. Audi melihatnya. Audi merasa kalau pernah ada masalah antara Reza dan lelaki yang akan menjadi calon pendamping hidupnya itu. “Bagaimana kabarmu, Axel?” tanya Reza sambil mendekat.Pemuda pemilik mata elang itu mengulurkan tangannya, tetapi tubuh Axel terasa kaku hingga tak menyambut uluran tangan Reza. Reza hanya tersenyum sinis seraya menggenggam angin. Audi memandang wajah tunangannya itu. “Apa kalian pernah ada masalah?” tanyanya. “Eh ….” Axel agak bingung menjawab pertanyaan Audi. Mimik wajah Axel tak bisa berbohong, dia panik, tetapi berusaha untuk disembunyikan.“Harusnya tidak.” Reza yang menjawab pertanyaan Audi. Kini ketiga pasang mata mengarah pada Reza. “Kami dulu bersahabat, sangat dekat. Bukan sebentar, tapi dari sejak masa masih kuliah,” jelas Reza. “Dulu?” tanya Alya dengan dahi mengerut. “Berarti sekarang, nggak lagi?” “Dia yang jadi musuh dalam selimut,” kata Reza dengan tenan