POV ALYA
"Al, itu Papa kamu kan?" tanya Audi ketika kami baru saja akan naik motor setelah nongkrong di cafe langganan sejak masa kuliah.
Aku spontan menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Audi. Seorang pria yang sangat familier baru saja keluar dari sebuah toko kue ternama. Dia membawa kotak kue dan berjalan menuju mobilnya. Benar saja, itu cinta pertamaku.
"Iya, itu Papa," ujarku senang. Aku langsung berseru memanggilnya, "Pa! Papa!"
Namun, Papa sudah masuk ke dalam mobil dan mobilnya mulai bergerak. Papa sepertinya tidak mendengar panggilanku. Aku menghela napas kecewa, padahal aku sudah berteriak memanggilnya, sampai urat leherku terasa tegang.
"Yaah .…"
Audi menatapku sekilas sebelum menyerahkan helm padaku. "Ya udahlah, sama aku aja. Kan kita satu tujuan," katanya.
Aku ragu sejenak sebelum akhirnya menerima helm dan naik ke boncengan.
"Rumah kamu kan lebih dekat. Kalau aku sama Papa, kamu nggak perlu nganter aku dulu," ujarku. Harusnya tadi aku bawa mobil aja, atau motif sendiri.
Audi hanya terkekeh sambil menyalakan motor. "Kan aku yang ajak kamu jalan tadi. Ya aku harus tanggung jawab nganterin kamu pulang. Lagian, kita bisa aja ketemu Papa kamu di jalan kalau kita cari jalan pintas. Kan tujuannya sama. Papa kamu pasti mau pulang juga."
Aku mengangguk kecil, lalu membiarkan Audi melajukan motornya. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol santai, menikmati angin yang berhembus. Aku merasa lebih baik meskipun tadi sempat kecewa. Namun, ketika kami hampir sampai di daerah rumahku, Audi tiba-tiba menunjuk ke depan.
"Itu mobil Papa kamu," katanya.
Aku langsung menoleh dan melihat mobil Papa berbelok ke arah yang berlawanan dari arah mau ke rumah.
"Loh, Papa mau ke mana?" gumamku.
"Mungkin cari jalan alternatif?" tebak Audi.
Aku mengernyit. "Buat apa? Nggak macet kok. Audi mengedikkan bahu. "Kita ikuti aja yuk."
Dia melihatku lewat spion. "Buat apa? Kamu curiga sama Om Bas?"
"Bukan curiga, cuma penasaran," kataku ringan. "Siapa tau kita nemu jalan baru ke rumah."
Dia mendengus, akhirnya mengangguk setuju. "Oke, kita ikuti."
Kami menjaga jarak agar tidak mencolok dan tidak diketahui sama Papa. Mobil Papa terus melaju, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rumah minimalis yang tampak asri. Aku mengernyit. Rumah siapa ini?
"Kita di sini aja," kataku pada Audi.
Audi tampak ingin mendekat, tetapi aku menggeleng. Aku ingin mengamati dulu.
Aku melihat Papa keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumah sambil membawa kotak kue yang tadi dibawa. Papa mengetuk pintu, lalu seorang wanita paruh baya dan berhijab membuka pintu. Aku tidak mengenalnya. Wajahnya sangat asing, tetapi ada sesuatu yang berdesir di hatiku melihatnya.
Wanita itu tampak enggan menerima kedatangan Papa. Bahkan dia menolak kotak kue yang diberikan Papa. Aku melihat Papa berbicara dengan wajah yang tampak menghiba? Sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku menelan ludah. Ada yang aneh. Papa orangnya keras, tak pernah senyum kala di rumah. Sorot matanya juga selalu tajam. Tetapi, kali ini aku seperti melihat orang lain.
Wanita itu ragu sejenak, lalu menggeleng pelan sebelum mulai menutup pintu. Namun, yang membuat dadaku bergetar bukanlah itu.
Itu adalah tatapan seorang yang sedang jatuh cinta. Aku sudah cukup dewasa untuk memahami.
Aku tertegun. Rasanya tak percaya kalau Papa sampai tega mengkhianati Mama. Meskipun Papa agak dingin, tetapi hubungan orang tuaku cukup harmonis. Walaupun watak Papa keras, tetapi Mama lebih banyak mengalah. Makanya rumah tangga mereka awet dan tidak pernah aku melihat mereka bertengkar.
"Al, ini aneh sih," bisik Audi, suaranya terdengar sama terkejutnya denganku.
Aku mengepalkan tangan. Tanpa pikir panjang, aku turun dari motor dan berjalan cepat ke arah rumah itu.
"Al! Mau ngapain?" seru Audi panik, tapi aku tak menghiraukannya. Beraninya Papa menduakan mamaku. Itu pasti selingkuhan Papa yang membuat Papa bersikap dingin sama Mama selama ini!
Papa menoleh dan matanya membelalak saat melihatku.
"Alya?" Suaranya jelas menunjukkan kalau dia terkejut.
Aku berhenti di depan mereka, menatap Papa tajam.
"Papa ngapain di sini?" tanyaku, suaraku bergetar.
Wanita di ambang pintu tampak tergagap. Tatapannya bergantian antara aku dan Papa. Sesuatu dalam matanya membuat hatiku semakin tidak tenang.
“Ternyata gini ya, model pelakor zaman sekarang!” kataku dengan sinis pada perempuan itu. Dia sampai terperanjat melihatku. Sorot matanya yang teduh tak akan menipuku.
“Sok syar’i padahal cuma kedok! Munafik!” makiku lagi.
“Alya! Jaga bicaramu!” Papa menghardikku. Kali ini, sorot mata tajamku beralih ke Papa.
“Nggak bisa!” Aku menaikkan nada suaraku. Audi sampai mematung melihatku. Mungkin heran karena aku tak biasa bersikap seperti ini.
“Papa udah mengkhianati Mama! Alya nggak terima! Apa kurangnya Mama dibanding wanita ini? Mama jauh lebih cantik, lebih modis daripada wanita yang modelnya kampungan ini!” Aku sengaja mencerca wanita itu agar Papa bisa buka mata.
Aku akui, wajah wanita memiliki aura yang berbeda, sangat teduh dan bersahaja, tetapi tetap saja jauh lebih cantik mamaku.
“Heh, kamu apa nggak malu! Udah tua bukannya banyakin ibadah, malah tambah dosa!” cecarku lagi pada wanita itu. Masih untung aku masih mengingat dia seusia dengan mamaku. Kalau tidak, aku pasti sudah menarik hijabnya, dan mencakar wajahnya yang sok polos itu.
“Jaga bicara kamu, Alya! Pulang!” Lagi, Papa menghardikku.
Matanya menatapku nyalang, tampak merah menahan marah juga malu karena ternyata keributan yang aku ciptakan, mengundang tetangga sekitar rumah pelakor ini untuk menonton kami.
“Papa juga pulang! Ingat, di rumah ada istri Papa yang nunggu!” Aku tak kalah sengit. Jujur saja, rasa hormatku berkurang sama Papa.
Ekor mataku bisa melihat para tetangga wanita itu mulai berbisik-bisik. Biar saja dia malu, biar dia kapok mengganggu rumah tangga orang lain.
Wanita itu menangis tanpa suara. Cih, begitu lah kalau sudah ketahuan, sok mau playing victim, seolah-olah dia korban.
~~~~~
Hening. Tak ada yang menjawab. Hanya terdengar suara deru nafas Ratna yang berusaha meredam emosinya. “Ma … tolong lupakan masalah yang sudah lalu. Alya sedih, kalau lihat Mama seperti ini terus. Alya ngerti perasaan Mama, tapi mau sampai kapan, Mama terus merasa tak dicintai sama Papa,” kata Alya dengan suara lembut. Ratna terdiam, tak tahu entah kenapa tiba-tiba emosinya kembali meledak. “Arjuna dan Papa beda, Ma. Papa memang salah, karena mencintai wanita lain selain Mama. Tapi percaya dong, Ma, kalau Papa itu juga masih mencintai Mama. Alya yakin, Papa juga sedang berusaha, mengembalikan cintanya supaya utuh kembali untuk Mama seorang.” Memang apa yang dikatakan Alya benar adanya. Bastian sangat berusaha mengembalikan cintanya seperti dulu. Sejak dia berjanji pada Ratna, dia berusaha untuk meluangkan waktu lebih banyak bersama Ratna. Namun, rasa cemburu Ratna masih tersisa, hingga membuatnya sulit untuk percaya. Atau memang, orang yang sudah mulai lanjut usia seperti dirinya s
Setelah Arjuna dan Bastian pergi, Ratna datang ke kamar Alya, sebelumnya diketuk pintu.“Kenapa?” tanya Ratna seraya mendekat. Dipegang dahi Alya, suhunya tak begitu panas meski terasa hangat di telapak tangan Ratna.“Nggak tau, Ma. Badan Alya lemas. Pandangan rasanya berputar-putar, juga mual,” kata Alya dengan suara lemah. “Kita ke dokter yuk,” ajak Ratna. Alya menggeleng. “Apa kamu mau terus berbaring dan membiarkan Arjuna memegang kendali perusahaan?” tanya Ratna. Alya kembali menggeleng. “Ya udah, kita sekarang ke dokter. Biar tau kamu kenapa. Siapa tau, tekanan darah kamu rendah,” kata Ratna. Akhirnya, Alya mengangguk pasrah. Ratna segera keluar untuk meminta supir agar segera bersiap-siap, lalu membantu Alya memakai baju yang bersih meskipun dia tak mandi. Hanya sekedar mencuci wajah agar terlihat lebih segar.Ratna membantu Alya berjalan perlahan menuju mobil. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Alya menyandarkan kepala di bahu ibunya. Ada sesuatu yang menenangkan dari pe
“Tapi ingat, kamu jangan sampe jatuh cinta sama dia,” kata suara dari sebrang.“Tenang aja, dia bukan tipe aku. Biarpun pelayanannya cukup memuaskan. Awalnya jinak-jinak merpati, lama-lama ganas. Mana masih segel lagi hahahaha,” tawa Arjuna begitu renyah hingga membangunkan Alya yang masih terlelap. Pandangan Alya masih kabur, tangannya meraba-raba sebelahnya. Merasa hanya menyentuh bantal, Alya melebarkan matanya. “Sayang …,” panggilnya. Arjuna sangat terkejut mendengar Alya memanggilnya. “Dia bangun. Nanti aku hubungi lagi,” bisiknya, lalu segera memutuskan sambungan telepon. “Ya, Sayang!” sahutnya, lalu segera masuk kembali. “Darimana?” tanya Alya.“Ada yang telpon tadi. Aku takut ganggu kamu, makanya keluar,” jawab Arjuna berbohong, lalu naik kembali ke atas ranjang. Alya menatap wajah Arjuna, mencoba membaca gerak-gerik suaminya itu. Matanya masih menyimpan sisa kantuk. Entah kenapa, ada yang terasa ganjil.“Oh,” sahut Alya pendek. “Kirain kamu kemana.”Arjuna tertawa keci
Arjuna dengan lantang mengucap ijab kabul tanpa terbata-bata. Ucapan syukur seketika menggema setelah saksi mengatakan pernikahan itu telah sah. Alya tampak sangat terharu. Tatapannya seketika tertuju ke arah Ratna, Ratna tampak mengusap matanya dengan tisu, lalu beralih ke Laras yang duduk tak jauh di belakang Ratna.Laras tersenyum kecil saat tatapan Alya mengarah kepadanya. Ia hanya mengangguk pelan, seolah ingin mengatakan, “Ibu di sini, Nak. Ibu doakan kebahagaian untuk pernikahanmu.” Tetapi, air matanya tak bisa dibendung. Fia merasa sangat terharu, akhirnya bisa mneyaksikan pernikahan putrinya.Gatot mengelus pelan punggung Laras. “Sudah. Jangan menangis. Hari ini hari bahagia,” bisiknya.Namun Laras tak mampu menjawab. Ia hanya menggenggam tisu di tangannya, sambil sesekali diusapkan di matanya. Hal itu ternyata tak luput dari perhatian Handoko yang duduk di dekat mempelai sebagai saksi pernikahan. Hatinya bertanya-tanya, siapa sosok wanita yang kelihatan paling terharu diban
Malam harinya, Bastian duduk sendiri di bangku belakang rumah mereka, memandangi taman belakang yang mulai ditata untuk resepsi nanti. Ratna menyusulnya dari belakang, membawa dua cangkir teh. Salah satunya ia sodorkan pada Bastian.“Papa marah?” tanya Ratna lirih. Dia dan Bastian harus menjaga keharmonisan jelang hari pernikahan Alya, agar keluarga mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna. Bastian menerima teh itu, lalu menatap istrinya sekilas. “Nggak. Cuma Papa lagi memikirkan, kapan Mama bisa berdamai dengan masa lalu itu.”Ratna menghela napas panjang, menyandarkan diri di sandaran bangku. “Mama nggak akan berdamai, kalau Papa sendiri masih tak bisa melupakan Laras. Benar-benar melupakan, bukan cuma bicara.”Bastian melihat istrinya. “Kita sudah tua, Ma. Anak kita beberapa hari lagi akan jadi istri orang. Dan kita mungkin akan segera jadi Kakek Nenek. Kenapa Mama masih saja cemburu?” “Karena Mama juga tau, sampai sekarang Papa belum bisa melupakan Laras,” Mata Ratna seray
Gatot sangat terkejut setelah mendengar cerita Laras tentang Alya. Cerita yang tidak diceritakan oleh Ratna. “Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa mengakui putriku. Biarpun dia tak tinggal bersamaku, tapi aku ingin sekali menghadiri acara pernikahannya, walaupun cuma jadi tamu undangan.” Akhir cerita Laras dengan tatapan yang menerawang.Laki-laki paruh baya di hadapannya menarik nafas dalam, setelah mendengar cerita Laras. Terbit rasa iba dan rasa yang tak biasa di hatinya. Bahkan lebih kuat dari rasa yang pernah hadir untuk Ratna.“Kalau begitu, aku akan membantu mewujudkan apa yang kamu inginkan. Sini, KTP sama KK,” kata Gatot.Laras menyeka air matanya. “Untuk apa?” “Untuk mengurus pernikahan kita,” jelas Gatot. ~~~~~~~Dua minggu kemudian, Laras dan Gatot resmi menjadi suami istri. Sementara hari pernikahan Alya juga tinggal menghitung hari. Gatot dan Ratna janji bertemu di sebuah cafe dekat dengan sekolah mereka dulu.“Kenapa kamu tak cerita semua sama aku?” tanya Gatot.“