POV ALYA
“Nanti Papa cerita. Papa ada rapat jam sepuluh nanti,” kata Papa langsung bangkit. Sekarang, aku yang bengong.
Papa kok bisa sesantai itu? Kayak nggak ada kejadian apa-apa. Kok aku jadi semakin curiga sama Papa. Mama juga kelihatan tidak terlalu menaruh curiga sama Papa. Mama terlihat biasa aja.
“Kamu ngapain duduk aja?” tanya Mama karena aku masih terpaku di tempatku duduk.
Akhirnya, aku bangkit juga. Setelah mencium Mama, aku berpamitan. Masih kesal dengan Papa, aku memilih naik mobilku sendiri.
~~~~~~~
“Mbak Dona, Papa mana?” tanyaku pada sekretaris Papa. Aku mengenal hampir semua karyawan Papa yang lama, sebab dari kecil sudah sering datang ke kantor Papa.
Sekarang jam makan siang, Papa pasti sudah selesai meeting. Aku mau makan siang sama Papa, karena kami sepertinya harus bicara secara dewasa.
“Tapi Bapak selesai meeting, keluar. Nggak ada bilang mau kemana, malah meeting sore nanti disuruh batalkan,” jawab Mbak Dona.
Dahiku mengernyit. Kenapa Papa nggak bilang ya. Ah, ya wajarlah, Papa mungkin masih kesal sama aku. Atau, Jangan-jangan ….
“Mbak, Papa sering ya, keluar kantor pas jam kerja?” Aku terpaksa menyelidiki Papa.
“Nggak. Paling kalau mau ketemu klien,” jawab Mbak Dona.
“Hari ini, Papa ada jadwal ketemu klien?” tanyaku, karena Mbak Dona yang mengatur waktu pertemuan Papa dengan klien.
“Kayaknya nggak ada. Tadi kan, semua udah ketemu pas meeting bareng investor. Meeting sore nanti, jadwalnya sama staff marketing, tapi udah dibatalkan.”
Kan … aku jadi semakin curiga kalau Papa pasti nemui tuh perempuan. Nggak bisa dibiarin ini. Sebelum keluargaku hancur, aku harus menyelamatkan keluargaku.
“Eh, mau kemana, Al?” tanya Mbak Dona karena aku langsung saja pergi dari hadapannya. Aku sampai lupa bilang terima kasih atas info yang sudah diberi.
“Ada urusan sebentar di luar, Mbak. Makasih ya,” balasku, lalu melenggang pergi.
Awas aja perempuan ja lang! Kalau sampai kamu ganggu papaku lagi. Aku nggak akan sungkan, membuatmu malu di depan orang banyak.
~~~~~~
“Kan, Papa di rumahnya,” gumamku ketika melihat mobil Papa parkir di halaman rumah perempuan itu.
Ternyata hati nggak bisa dibohongi. Dari tadi aku langung mikir, kalau Papa pasti ke rumah perempuan itu, ternyata benar.
“Nggak bisa dibiarin,” kataku sambil keluar dari mobil.
Sengaja aku jalan mengendap-endap, supaya Papa sama perempuan itu nggak tau aku datang. Benar perempuan munafik kan? Harusnya dia tau, kalau perempuan tak boleh menerima tamu laki-laki di dalam rumah. Tadi malam saja, tak ada keluarganya yang keluar, pasti cuma dia yang tinggal di rumah itu.
Sebelum aku melabraknya, aku ingin tau, apa yang dibicarakan Papa. Namun, saat aku jalan akan melewati teras, aku melihat sandal heel. Kayak kenal sandal itu. Itu kayak … sandal Mama.
Jantungku langsung berdebar kencang. Aku memandangi sandal itu untuk memastikan aku tak salah. Apa mungkin, Papa yang belikan buat perempuan itu? Nggak mungkin itu sandal Mama. Tapi … model dan warnanya persis banget sama yang Mama punya. Tentu aku sangat mengenal sandal kesayangan Mama itu, karena hanya sandal itu yang paling sering dipakai sama Mama.
Aku melangkah mundur, bingung antara masuk atau pergi. Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau Mama di sini, berarti Mama kenal dengan wanita itu.
“Kamu sudah janji nggak akan datang lagi.” Aku mendengar suara Mama. Dahiku mengernyit mendengarnya.
Aku jadi semakin penasaran, akhirnya aku jalan mendekat ke jendela dan memastikan kalau orang di dalam tak mengetahui keberadaanku.
“Maaf, Bu. Saya tak bermaksud mengganggu kehidupan keluarga Ibu–”
“Terus kenapa kamu malah balik ke kota ini?” Mama menyela omongan wanita itu.
“Karena permintaan anak saya. Saya sendiri tidak menyangka kalau dia buka usaha di kota ini. Dia ingin, saya tinggal bersamanya,” jawab perempuan itu. Berarti dia punya anak. Kenapa tadi malam nggak kelihatan?
“Ya seharusnya kamu bisa menolak kalau sudah tau!” Suara Mama terdengar tegas. Papa terlihat diam saja. Aku kok merasa ada yang janggal.
Perempuan itu tidak langsung membalas kata-kata Mama. Siapa dia sebenarnya? Kenapa Mama terlihat memiliki kendali atas dirinya?
“Saya mengira, jarak antara rumah Ibu dan rumah kami cukup jauh, makanya akhirnya saya mau. Lagipula, saya nggak punya alasan yang kuat untuk menolak ajakan anak saya. Kami tinggal hanya berdua. Ibu saya yang dulu mengasuh dia saat kecil, juga sudah meninggal. Saya juga akan lebih tenang kalau dekat dengan anak saya.” Perempuan itu juga bicara dengan nada suara yang terdengar cukup berwibawa, namun terdengar lembut.
“Ma, kita nggak bisa mengatur kehidupan Laras lagi,” kata Papa akhirnya ikut bicara. “Dia nggak kerja sama kita lagi.”
Apa?
Perempuan itu pernah bekerja sama Papa Mama. Kapan? Kok aku nggak pernah kenal sama dia?
“Terus, kenapa Papa datangi dia? Mau mengulang kesalahan yang dulu lagi?” tanya Mama balik. Nada suara Mama terdengar menahan marah.
Aku semakin bingung. Kesalahan yang dulu? Apa maksud Mama? Apa kesalahan yang sudah Papa buat?
Aku mencoba mengingat-ingat. Setahuku, Papa nggak pernah terlibat skandal apa pun. Hubungan Papa dan Mama juga selalu baik, meski Papa bukan tipe laki-laki romantis, tapi hubungan mereka cukup harmonis. Kalau memang ada sesuatu di masa lalu yang berhubungan dengan perempuan ini, kenapa aku nggak pernah tahu?
“Ibu jangan khawatir. Saya sudah ikhlas dengan kejadian yang dulu. Saya juga sudah memaafkan apa yang pernah terjadi. Bapak tak perlu datang kalau hanya untuk minta maaf. Bagi saya … bisa melihat dia saja, sudah cukup.” Kali ini, suara wanita itu bergetar. Sepertinya menahan tangis.
Tunggu dulu. Dia? Dia siapa lagi yang dimaksud?
~~~~~~
Laras jalan keluar dari mini market. Gatot yang sengaja mengikuti, menggegas langkah kakinya.“Maaf,” seru Gatot membuat Laras reflek menoleh. Dahi Laras mengernyit melihat lelaki itu memanggil dirinya. “Saya masih merasa bersalah dengan yang tadi,” kata Gatot. Dahi Laras mengernyit, menurutnya Gatot terlalu berlebihan. Tak ada yang salah perihal yang baru saja terjadi. Biasa saja, kalau kebetulan orang mengambil benda yang sama di sebuah mini market. “Nggak papa. Nggak ada masalah,” kata Laras, lalu segera berlalu. Gatot justru merasa tertantang melihat sikap Laras. Lagipula, meski sudah berumur paruh baya, Laras masih sangat menarik. Meski tubuhnya dari atas hingga ke bawah tertutup, daya tariknya tak pudar. Laki-laki itu berlari kecil mengejar Laras. “Boleh kita berkenalan, saya Gatot,” kata pria itu sambil mengulurkan tangan. Laras melihat tangan Gatot, lalu hanya meletakkan sebelah tangannya di dada sambil sedikit menunduk. Tangannya yang satu sedang menenteng barang belanj
Ratna duduk di depan meja riasnya. Dia menatap wajahnya yang sembab. Meski kemarin dia sempat merelakan Bastian, kini hatinya terasa berat. Rasa sakit di hatinya semakin menjadi, kala mengetahui suaminya masih saja memendam rasa pada Laras. Padahal sudah sekian lama. Bukan hanya satu atau dua tahun, tetapi lebih dari dua puluh tahun. Meskipun Bastian hanya memendam rasa, tetap saja dirinya merasa dikhianati.Ratna memandangi pantulan wajahnya di cermin. Jari-jarinya mengelus pelan pipinya yang basah karena tangis semalam. Pipi yang mulai menua karena usia. Di balik sorot matanya yang lelah, ada bara dendam yang mulai menyala.“Kalau aku terus diam, mereka akan menginjak-injak harga diriku,” gumamnya pelan. Tangannya meraih kotak perhiasan kecil yang ada di laci meja rias. Namun bukan kalung atau cincin yang dia cari. Di bawah tumpukan perhiasan itu, terselip sebuah kartu nama tua, nama seseorang dari masa lalunya. Seseorang yang dulu pernah berdiam di hatinya. Seseorang yang kini mun
“Tetap dipaksa nikah sama Axel,” jawab Alya sambil menghempaskan dengan lembut bobot tubuhnya di atas ranjang. Kedua kakinya dinaikkan dan duduk bersila di atas ranjangnya. “Hmm, ya sudahlah. Berarti memang jodohnya,” kata Reza. Dahi Alya mengernyit mendengarnya. “Abang nggak mau perjuangin?”“Perjuangin apa?” “Ya Audi.”“Untuk apa?” Alya menghela nafas. Tak tahu, apa Reza benar-benar tak mengerti maksudnya, atau hanya sekedar pura-pura saja. “Memang Abang nggak ada gitu, getar-getar perasaan sama Audi?” Reza yang menelepon Alya di teras rumahnya, berdiri lalu duduk di tembok pembatas teras yang hanya setinggi pinggangnya saja. Dia duduk sambil menatap bintang di langit yang kelam. “Ya biasa aja,” katanya.“Padahal aku pikir Abang mulai naksir sama dia.” “Belum bisa secepat itu.” Sesaat keadaan menjadi hening. Dia tau, apa yang Reza maksudkan. Sama seperti dirinya, yang belum bisa benar-benar melupakan Reza sebagai kekasih. Namun, perasaannya dipaksa harus menerima kenyataan
Audi melihat papanya dengan mata berkaca-kaca. Dia tak mungkin melawan, tetapi hatinya menolak untuk menerima. Akhirnya, Audi memutuskan keluar dari kamar rawat Axel. Sampai di luar, langkahnya tergesa keluar dari rumah sakit. Air matanya sudah mulai menggenang. Dia tak peduli, saat banyak mata yang memperhatikan dirinya. Sampai di luar, Audi langsung memesan taksi online. Beruntung, taksi yang dipesan cepat datang. Begitu masuk ke dalam taksi dan driver memastikan lokasi tujuan, tangis Audi pecah. Si driver hanya bisa melihat dari kaca spion. Dia mengira Audi baru ditimpa kemalangan karena baru keluar dari rumah sakit. Sepanjang jalan Audi tak bicara. Hanya suara isak tangisnya yang sesekali masih terdengar. Tujuannya kali ini, ke rumah Alya. Begitu sampai, Audi mencoba untuk bersikap biasa saja. Dia tak mau terlihat habis menangis di depan keluarga Alya. Setelah memencet bel, Ratna yang buka. “Assalamualaikum, Tante,” sapa Audi mencoba sambil memamerkan senyumnya. “Waalaikumsa
Sepanjang jalan Axel terus menggerutu. Dia kesal, malu juga tak tau harus menjawab apa kalau nanti orang tuanya bertanya. Pastinya Audi akan mengatakan pada orang tuanya kalau dia tak mau menikah dengan Axel. “Kurang ajar kamu Reza!” teriaknya sambil memukul setir mobilnya sendiri. Mobil melaju kencang menerobos jalanan malam yang lengang. Lampu-lampu jalanan berkelebatan seperti bayangan malam yang menakutkan. Kedua tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, napasnya memburu."Kamu sudah hancurin semuanya, Reza," gumamnya, suaranya berat, penuh dendam. "Kali ini, giliran aku yang akan ngambil semuanya darimu."Axel melihat hapenya, perhatiannya terbelah, antara hape dan jalan. Dia mencari kontak Naura. Beberapa kali melakukan panggilan, tetapi panggilannya justru ditolak. Hal itu membuat Axel geram.Lelaki itu membanting ponselnya ke kursi penumpang sambil mendengus kasar.“Si al, si al, si al!” makinya terus menerus Ia semakin menginjak pedal gas, kecepatannya naik drastis, menyusu
Wajah tunangan Audi tampak menjadi pucat ketika Reza mengatakan kenal dengan dirinya. Audi melihatnya. Audi merasa kalau pernah ada masalah antara Reza dan lelaki yang akan menjadi calon pendamping hidupnya itu. “Bagaimana kabarmu, Axel?” tanya Reza sambil mendekat.Pemuda pemilik mata elang itu mengulurkan tangannya, tetapi tubuh Axel terasa kaku hingga tak menyambut uluran tangan Reza. Reza hanya tersenyum sinis seraya menggenggam angin. Audi memandang wajah tunangannya itu. “Apa kalian pernah ada masalah?” tanyanya. “Eh ….” Axel agak bingung menjawab pertanyaan Audi. Mimik wajah Axel tak bisa berbohong, dia panik, tetapi berusaha untuk disembunyikan.“Harusnya tidak.” Reza yang menjawab pertanyaan Audi. Kini ketiga pasang mata mengarah pada Reza. “Kami dulu bersahabat, sangat dekat. Bukan sebentar, tapi dari sejak masa masih kuliah,” jelas Reza. “Dulu?” tanya Alya dengan dahi mengerut. “Berarti sekarang, nggak lagi?” “Dia yang jadi musuh dalam selimut,” kata Reza dengan tenan