Aku sengaja ingin berangkat lebih pagi ke kantor. Semalam, aku sudah pulang cepat. Walaupun perusahaan itu milik orang tuaku, aku harus profesional.
Saat keluar dari kamar, aku tak melihat kedua orang tuaku. “Papa sama Mama mana, Bi?” tanyaku sama Bi Nani. “Dari tadi belum keluar dari kamar, Non,” jawab Bi Nani. Dahiku mengernyit. Segera aku jalan ke kamar Mama Papa. Masih lagi akan mengetuk pintu, pintu kamarnya terbuka. Mama yang keluar, dengan wajah sembab dan mata yang bengkak. Mama sepertinya terlalu banyak menangis. “Mama nggak papa?” tanyaku. Mama hanya menggeleng, tanpa senyum. Dia jalan melewatiku, dan langsung ke dapur. Aku hanya bisa melihat Mama dengan tatapan nanar. Entah kenapa, hatiku sakit melihat Mama seperti ini. Ingin rasanya bilang sama Mama, kalau sakit, katakan aja, Ma. Jangan diam saja. Seperti ada luka lama yang kembali robek, dan pasti rasanya sangat menyakitkan. Rasa sakit Mama ini, membuatku jadi semakin ingin tau, siapa Laras itu. Kenapa dia bisa membuat Mama sesakit ini, padahal kalau dari pembicaraan kemarin, terlihat Mama bisa mengintimidasi dia? “Ma, Alya pergi ya.” Akhirnya aku permisi juga sama Mama sambil mendekatinya. Tak ada basa basi sama sekali. Entah kenapa, aku mendadak seperti orang asing di depan Mama. Aku mengulurkan tangan, hendak menyalami Mama, tetapi Mama hanya menyambutnya saja. Dia terlihat sangat dingin. Tidak ada pertanyaan sama sekali, kenapa aku pergi secepat ini. Ah, sudahlah. Aku hanya melihat Mama sebentar, lalu gegas pergi. Mungkin aku lebih baik naik motor aja. Biar lebih cepat. ~~~~~~ Sampai di rumah perempuan itu, aku melihat dia sedang menyapu halaman. Kala melihatku, dia berhenti bahkan terpaku. Aku jalan mendekatinya, dengan langkah penuh wibawa, agar dia tahu, kalau aku lagi mode serius datang ke rumahnya. “Saya perlu bicara dengan Anda,” kataku dengan tegas. Aku berusaha setenang mungkin, agar tahu, apa hubungannya perempuan ini dengan keluargaku sebenarnya. Pasti ada sesuatu di masa lalu yang membuat Mama merasa sedih. Dan hatiku bilang, perempuan ini mungkin dulu pernah berusaha memporak porandakan keluarga kami. Dia tampak tertegun sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Silahkan,” ucapnya lirih. Aku melirik ke dalam rumahnya yang sederhana. “Kita bicara di dalam,” kataku. Dia lalu menyingkir, memberi isyarat agar aku masuk lebih dulu ke rumahnya. Rumah ini terasa tenang, tapi juga menyimpan sesuatu yang tak terlihat. Aku menatapnya tajam. “Apa hubungan Anda dengan Papa?” tanyaku tanpa basa-basi setelah berada di dalam rumahnya. “Saya sudah bilang, kalau dulu saya pernah bekerja di rumah orang tua kamu,” jawabnya. “Bukan itu. Saya yakin, Anda pasti ada hubungan lebih dari sekedar hubungan kerja, dengan orang tua saya.” “Maaf. Saya sudah tak mau lagi mengingat soal yang dulu. Kalau kamu ingin tau, tanyakan saja pada mereka.” Aku mengepalkan tangan. Ternyata dia wanita yang cukup keras kepala. “Kalau Papa sama Mama mau cerita, saya nggak mungkin datang lagi!” Aku berbicara dengan ketus. “Apa jangan-jangan benar, kalau Anda pelakor yang suka menggoda suami orang?” Dia memandangku tak berkedip. Mungkin ingin menepis dugaanku, tetapi belum menemukan kata-kata yang pas. “Benar kan, pasti Anda dulu pernah menjadi perusak rumah tangga Mama sama Papa saya, makanya Mama sampai memberi peringatan sama Anda agar tidak lagi datang pada kehidupan mereka?” Aku mulai menyerangnya dengan kata-kata. “Semua tidak seperti yang kamu pikirkan! Kamu jaga bicara kamu, atau nanti kamu akan menyesal!” Dia bicara dengan sorot mata yang tajam padaku. Aku menyilangkan tangan di dada, menatapnya dengan tajam. “Menyesal? Menyesal karena apa? Kalau memang Anda bukan seperti itu, kenapa harus takut menjelaskan semuanya?” Wanita itu menarik napas panjang, seperti sedang menahan sesuatu di dadanya. Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tetapi sepertinya ia ragu. “Saya tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apa pun pada kamu. Saya tidak pernah ingin menyakiti ibumu.” Aku tertawa sinis. “Omong kosong! Anda pasti pernah melakukan sesuatu yang sangat buruk di masa lalu.” Dia menggigit bibirnya, lalu mengalihkan pandangan. Hening sejenak menyelimuti ruangan itu. “Apa Papa saya pernah mencintai Anda?” tanyaku pelan, namun menusuk. Perempuan itu mendongak, kali ini ekspresinya lebih jelas, seperti ekspresi kesedihan, dan entah apa lagi yang tersimpan dalam matanya. “Sudah kubilang, tanyakan langsung pada orang tuamu. Aku sudah berjanji tak akan cerita, jangan buat aku melanggar janji." Aku mengepalkan tangan. “Kenapa Anda begitu keras kepala?” Dia menghela napas. “Karena terkadang, kebenaran bukan sesuatu yang harus kamu dengar. Ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan tetap menjadi sebuah rahasia, karena hanya akan menyakiti bila kamu tahu kebenarannya.” Aku tercekat. Kata-katanya terasa seperti peringatan. Aku menatapnya lekat-lekat. Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu. Dan aku bersumpah, aku akan mencari tahu semuanya. Aku tak akan berhenti, sampai semuanya terungkap. Bagaimana caranya agar dia mau buka mulut? Dia meminta aku bicara sama Mama juga Papa. Tapi mereka juga seakan-akan mengunci mulut rapat-rapat. Rahasia apa yang mereka simpan sampai aku sama sekali tak boleh tahu? Tiba-tiba saja, Papa sudah berdiri di ambang pintu. Kami terlalu serius bicara, sampai tak mendengar suara mobil Papa. “Alya, sebaiknya kamu pulang. Tak usah mencari tahu, sesuatu yang tak perlu kamu ketahui,” kata Papa dengan tegas. Papa sepertinya tahu kalau aku mendesak perempuan ini untuk bicara. “Nggak. Sampai Alya tahu, apa hubungan perempuan ini sama Papa juga Mama.” Aku juga bersikeras. Kehadiran Papa justru akan mempermudah aku untuk mengetahui rahasia mereka. Jangan panggil namaku, kalau tak berhasil mengetahui semuanya. Hari ini, pokoknya aku harus tahu. ~~~~~“Jun, apa kita tak bisa memulai lagi?” tanya Cindy. Alis Arjuna menaut, begitu juga Axel yang menguping. Setahu mereka, Cindy cewek yang matre, tapi kenapa sekarang minta balikan sama Arjuna yang jelas sudah jatuh miskin. “Aku tahu, kamu pasti nggak yakin kan, aku mau balik sama kamu?” tanya Cindy yang seperti mengerti isi hati Arjuna. Dari sudut ruangan, Axel yang sedang pura-pura main HP langsung pasang telinga. Matanya melirik ke arah Cindy, lalu ke Arjuna. Dalam hati, Axel mendengus. Wah, mulai lagi nih drama.“Cin, saat ini aku sedang berusaha bisa memperbaiki hubunganku sama Alya. Jadi aku minta sama kamu, tolong jangan ganggu aku lagi. Aku juga udah nggak punya apa-apa. Kamu akan hidup susah kalau sama aku. Lebih baik kamu pulang sekarang. Kamu berhak mendapat yang lebih baik dari aku,” kata Arjuna dengan tegas. Seperti tak memberi kesempatan pada Cindy untuk membujuknya. Cindy sampai terperanjat, begitu juga Axel. Wanita itu akhirnya berdiri. Dengan wajah memerah karena ma
Pagi yang berkabut di pinggiran kota.Arjuna berdiri di depan kontrakan kecil dengan termos besar di pangkuannya. Di sebelahnya, sebuah gerobak dorong sederhana dari papan kayu bekas yang ia cat sendiri bertuliskan, KOPI ABANG ARJUNA.Axel yang ikut membantunya menata gelas-gelas plastik di rak kecil sambil berseru, “Jun, kalau kita sukses, lo ganti nama jadi Arjuna Brew deh!”Arjuna tersenyum kecil. “Gue nggak mikir sejauh itu, Lex. Yang penting, hari ini bisa makan, besok bisa bertahan.”Dengan dorongan dari Axel, Arjuna mendorong gerobak kopinya ke arah terminal kecil. Tempat orang lalu-lalang, dan semoga ... tempat rezeki mereka.Axel bisa saja kembali pada kedua orang tuanya, tetapi dia lebih memilih menemani sepupunya di masa terpuruk. Apalagi kedua orang tuanya juga mengalami guncangan ekonomi yang sama. Karena selama ini, hidup mereka memang bergantung dari perusahaan.~~~~~Di dekat terminal pagi itu.Suara klakson angkot bersahut-sahutan, dan para sopir terlihat menggeliat d
Tak lama setelah Arjuna keluar dari ruang rawat, Reza datang membawa makanan untuk Alya. Saat melihat Arjuna masih berdiri di depan pintu, ia langsung naik pitam.“Ngapain kamu di sini?”“Aku cuma mau lihat anakku.”“Anak? Kamu pikir setelah semua yang kamu lakuin, kamu pantas disebut Ayah?”Arjuna menahan diri. Tapi Reza tak tahan, tin ju melayang ke wajah Arjuna.Alya yang mendengar keributan langsung keluar.“Bang Reza! Jangan!”Reza masih menghardik Arjuna. “Kamu tuh bukan laki-laki. Menikahi Alya karena ada maksud untuk membuat perusahaanmu bangkit. Dasar, penipu!”Alya berusaha melerai, tapi wajah Arjuna sudah berda rah. “Aku terima. Mungkin ini hukuman yang pantas buat aku,” ucap Arjuna pelan.Alya berdiri di antara keduanya, napasnya memburu karena panik dan marah. Ia menatap Reza dengan sorot kecewa.“Bang Reza, cukup! Ini rumah sakit, jangan bikin keributan!” katanya tegas.Reza mendengus, masih mengepalkan tangan. Arjuna berdiri, mengusap da rah dari sudut bibirnya. Ia men
Arjuna datang ke rumah sakit sendirian. Dia sudah tau kalau Alya hari ini melahirkan. “Sus, ruangan bersalin dimana?” tanya Arjuna pada perawat di ruang receptionist. “Bapak lurus aja, belok kanan, di situ ruangan bersalinnya, Pak,” kata perawat tersebut.“Makasih, Sus,” ucap Arjuna. Lelaki itu melangkah dengan cepat, meski jantungnya terus berdebar. Khawatir kalau Alya justru akan menolak kehadiran dirinya. Meski mereka sudah berpisah, tetapi anak yang dilahirkan Alya, tetaplah anaknya. Langkah kakinya seketika terhenti ketika melihat Reza, dan Gatot yang duduk di depan ruang bersalin. Hatinya ragu, apakah dia meneruskan niatnya atau tidak. “Aku mau menemui anakku,” katanya pada diri sendiri. Merasa yakin bisa menghadapi Gatot fan Reza, Arjuna kembali melangkah setelah menarik nafas dalam. Gatot yang melihat kedatangan Arjuna langsung berdiri, memasang wajah serius. Reza pun ikut berdiri, menatap Arjuna tanpa senyum.“Kamu mau apa kesini?” tanya Reza dingin.“Aku cuma mau lihat
Beberapa minggu kemudian. Gedung tinggi Vantara Group tampak megah seperti biasa. Nadine baru saja masuk ruangannya ketika sekretaris pribadinya datang dengan wajah panik.“Bu Nadine, kita dapat somasi. Dari firma hukum yang mewakili Alya dan Angkasa Group.”“Somasi?” Nadine mengerutkan kening. Ia membuka dokumen yang dibawa sekretarisnya. Matanya melebar membaca isi surat itu.Somasi ini menyatakan bahwa Vantara Group, atas perintah langsung dari Nadine Ardianto, diduga terlibat dalam tindakan sabotase, manipulasi data keuangan, pelanggaran kerahasiaan perusahaan, dan pencucian uang melalui PT Saka Muda, dengan bukti rekaman digital, laporan audit independen, serta pengakuan dari salah satu mantan komisaris PT Saka Muda yang kini bekerja sama dengan pihak berwenang.Nadine melempar dokumen itu ke meja.“Ini perang,” gumamnya dingin.Di sisi lain, Alya berdiri di podium kecil dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan di salah satu hotel besar.Wartawan, investor, pengamat bis
Alya menatap layar laptopnya dengan dada sesak. Tatapannya terpaku pada sosok Dimas Gunawan, pria yang selama ini dikenal sebagai pilar keuangan perusahaan. Lelaki dengan sikap kalem, tutur kata halus, dan penuh wibawa. Tak ada tanda-tanda kalau laki-laki itu akan berkhianat. Rasanya Alya sampai tak tahu harus percaya pada siapa. Dia sangat kecewa. Dikhianati seseorang yang begitu ia percaya.Ia segera meraih ponselnya dan mengetik cepat pesan untuk Kayra.[Siapkan ruangan rapat rahasia. Hanya kita berdua, pengacara, dan satu orang staf IT. Aku butuh rekaman CCTV lengkap dari tiga hari terakhir. Dan mulai sekarang, pantau semua aktivitas Dimas Gunawan. Jangan sampai dia tahu]~~~~~Kayra, dua staf IT pilihan, dan pengacara perusahaan duduk di dalam ruangan bersama dengan bos mereka, Alya. Di layar besar, mereka memutar ulang beberapa rekaman dari berbagai sudut gedung.“Ini dia,” ujar salah satu staf IT sambil memperbesar tampilan video. “Ini rekaman dari dua hari sebelum kebakaran.”